PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Maret 21, 2016

Nasihat untuk (lawan) AHOK







Dulu, ketika Gus Dur menyebut DPR tak ubahnya seperti Taman Kanak-kanak (TK), dan tentu saja para anggota DPR yang terhormat itu sebagai siswanya, ia tidak pernah menjelaskan secara spesifik dan rakyat pun sejauh ini tidak pernah mengetahui perilaku seperti apa dan bagaimana para yang dimaksud sehingga cap atau stempel itu disematkan pada anggota DPR itu. Pengalaman dan kisah nyata masa kanak-kanak berikut ini barangkali
dapat menjadi ilustrasi sekaligus membantu untuk mendapatkan gambaran bagaimana jiwa kerdil dan sifat-sifat buruk (dapat) menghinggapi dunia anak-anak seraya membuktikan bahwa tidak semua dunia kanak-kanak identik dengan kenakalan. Kejadiannya pada tahun 1960-an di sebuah kampung, meski terletak di wilayah pesisir utara Jawa namun kondisi alam dan budayanya benar-benar menggambarkan perdesaan yang terpencil dengan suasana tenang dan tenteram, mungkin dilatarbelakangi usia kemerdekaan Indonesia yang masih terbilang muda. Hampir setiap hari selepas sekolah anak-anak dengan usia rata-rata 8-12 tahun dari berbagai sudut desa datang berenam kadang lebih berkumpul di tempat-tempat untuk bermain bersama. Berbagai macam jenis permainan yang mereka lakukan, di samping permainan tradisional pada musim kemarau mereka biasa main layang-layang atau kelereng. Berbeda seperti biasanya, kali ini mereka sedang demam dan gandrung permainan bulu tangkis. Dengan peralatan sangat sederhana dan seadanya mereka membuat sendiri raket dari kayu papan dan jaringnya dari seutas tali yang dibentangkan. Sambil menonton mereka berdiri mengelilingi lapangan dan rela menunggu mendapat giliran untuk bermain. Kecuali satu orang anak yang ditakuti teman-temannya karena perawakannya yang lebih tinggi dan besar tampak mendominasi permainan dan tidak mau bergiliran --namun sialnya, dalam tiap permainan apa saja dia selalu kalah. Lucunya setiap kali kalah dia membuat peraturan baru yang tentu saja kawan-kawannya tidak berani membantah alias terpaksa menurut saja, Dan dalam permainan bulu tangkis kali ini pun demikian. Mula-mula dia mengajak bermain “lob”, tetapi dia kalah melulu. Lalu dia mengajak main “net” sambil berkata: “Saiki main “luthikan” we, ah..!!” (maksudnya: Sekarang main “netting” saja, ah..!). Lawan mainnya tidak berani membantah dan menuruti saja. Tapi lagi-lagi dia tidak mampu menguasai bola dan kalah lagi. Lalalu aturan main dia ubah lagi, dia mengajak main smash dengan berkata: “Saiki main smash-smashan we, ah..!” (maksudnya mengajak main smash), dan hasilnya dia kalah lagi dan kalah lagi.
Kelakuan itu mirip para anggota DPR jelang Pilpres 2014 lalu dengan secara diam-diam mengesahkan Undang-undang MD3. Bahkan masih segar di ingatan guna memastikan kemenangan siasat busuk itu diikuti dengan kampanye hitam melalui tabloid Obor Rakyat yang menghebohkan itu. Tak cukup hanya itu, berbagai siasat yang tidak lucu dilancarkan bak orang kalap, lebih-lebih ketika menyadari bahwa kekalahan semakin di ambang kenyataan. Itu dulu, saat menghadapi pesaing bermental pemenang (bukan pecundang) berwatak tenang menghanyutkan yang kini menduduki singgasana nomor satu di negeri ini.
Sekarang ketika mereka harus menghadapi si “pendekar mabok” (gelar yang pernah disematkan kepada Gus Dur) petahana DKI, nafsu dan watak kanak-kanak mereka lagi-lagi muncul dengan “siasat andalannya” untuk mengubah aturan main dengan rencana mereka untuk merevisi UU Pilkada. Yang jelas, masa kecil AHOK tidak pernah bertemu atau berkawan dengan kawan berperawakan tinggi besar seperti di sebuah desa di wilayah pesisir utara Jawa itu. Jadi dia tenang-tenang saja, karena dia seperti yakin sosok tinggi besar itu bakal jadi pecundang dan kalah lagi dikarenakan jiwanya yang kerdil.


Simak Juga:




Posting Komentar