PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Februari 10, 2016

Cara Membentuk Karakter Anak



Firmansyah, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia termuda dan visiting profesor di manca negara







Sosok laki-laki muda yang berkulit bersih dan berambut rapi ini sempat membuat banyak orang tercengang. Pasalnya, di usia 32 tahun ia mengukir prestasi: menjadi dekan termuda sepanjang sejarah Universitas Indonesia (UI)dan sebagai pegawai BHMN pertama yang menjabat posisi dekan.

Cara Mendidik Anak Sukses


Terpilihnya Firmanzah sebagai Dekan Fakultas Ekonomi (FE) UI periode 2009-2013 ini
menjadi perbincangan hangat sekaligus memunculkan banyak pujian. Maklum, kandidat lainnya tak kalah hebat. Ia mampu menggungguli Prof. Sidharta Utama Ph.D. CFA dan Arindra A. Zainal, Ph.D. Sebelum masuk tiga besar kandidat, ia harus bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi, sebut saja Dr. Ir. Nining Indrayono Soesilo M.A. (kakak kandung Menteri Keuangan Sri Mulyani), Dr. Chaerul Djakman dan Dr. Syaiful Choeryanto. Rektor UI Prof. Dr. der Soz Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan bahwa UI merasa beruntung mendapatkan kandidat Dekan FE-UI seperti Firmanzah. “Sebelumnya, saya sering meminta bantuan padanya,” ujar Gumilar. Sebelum diangkat menjadi Dekan FE UI, Firmanzah diperbantukan menjadi Kepala Humas atau Komunikasi Korporat UI. Lebih dari itu, Gumilar senang dikelilingi jiwa-jiwa muda yang dinamis, segar, dengan memiliki semangat pembaruan yang tinggi. “Kelebihan Fiz adalah pada human relations-nya yang baik. Anaknya rendah hati. Mau mendengar dan mau belajar. Hal ini penting untuk menjalankan sebuah organisasi,” demikian penilaian Gumilar tentang Firmanzah.
Sebagai seorang intelektual muda, Firmanzah — yang akrab disapa Fiz — aktif mengikuti kegiatan di forum internasional serta menelurkan publikasi dalam jurnal ilmiah, tulisan populer dan buku. Bukunya, antara lain, Peran Ilmu Marketing dalam Dunia Politik: Menuju Marketing Politik di Indonesia dan Successful New Product Launching (NPL) in the Local Market. Ia pernah menjadi visiting professor di University of Nanchang, Cina (2005); University of Pau et Payas de l’Adour, Prancis (2006-08); University of Science and Technology of Lille 1, Prancis (2006); dan IAE de Grenoble, Prancis (2007), serta menjadi pembicara Leadership Program Development, Amos Tuck Business School, AS (2006).
Bagi Firmanzah, posisi yang sekarang dicapainya tak lain karena ia telah melewati beragam persimpangan. Kelokan di berbagai persimpangan itu tidak melulu berarti jelek. Ada kalanya satu tikungan hidup membuatnya belajar mengenai kesetiaan dan persahabatan. Tikungan yang lain, tanpa disadarinya, mengarahkannya mengamati perilaku sosial. “Mungkin saya beruntung bisa sampai di sini. Tapi tidak ada keberuntungan yang terjadi secara kebetulan.”
Di mata pria kelahiran 7 Juli 1976 ini, tak ada satu serpih pun kejadian yang kebetulan. Ia mengaku, perjalanan hidupnya bagai uluran benang layangan yang membubung tinggi di angkasa setelah sebelumnya turun-naik, bahkan terkadang hampir kembali menuju bumi. Namun, ia sendiri tidak menganggap perjalanan hidupnya sebagai sesuatu yang bergejolak. “Hidup saya ya begini. Tidak ada gejolak. Biasa saja. Tidak mengenal narkoba walaupun bapak dan ibu saya bercerai,” ujarnya ringan.
Firmanzah menghabiskan masa kecil sampai saat SMA di Surabaya. Terlahir dari seorang ibu yang buta huruf dan pada usia dua tahun harus kehilangan sang ayah karena bercerai dengan ibunya, anak ke-8 dari 9 bersaudara ini tidak lantas minder. “Ibu bercerai tiga kali. Sejak itu, sampai sekarang, saya tidak pernah lihat lagi ayah saya,” tuturnya. Bahkan, ia tidak tahu apakah sekarang ayahnya masih hidup atau tidak. “Saya cuma mendengar, dulu katanya Bapak pernah bekerja sebagai teknisi di Slumberger. Bahkan sampai ke Yordania segala,” imbuhnya. Ia mengungkapkan, kesembilan anak ibunya merupakan hasil pernikahan dengan tiga pria.
Dalam asuhan dan didikan sang ibu, Firmanzah tumbuh dan membentuk sosoknya lebih menghargai manusia. Ia menyebut karakter ibunya dengan tiga kata: keras, pintar dan cerdas. “Cuma sayang tidak disekolahkan,” katanya. Sang ibu, Kusweni, bagi kesembilan anaknya adalah matahari. Tak hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, tetapi juga pendidik yang mengajarkan banyak norma hidup. Ia terbiasa melihat ibunya yang distributor buah-buahan hilir-mudik mengurusi dagangan buah. Kiosnya berada di pekarangan rumah. Pasokannya diambil dari daerah sekitar Madiun, Kediri dan Malang. Usaha perdagangan buahnya cukup sukses. Terbukti hampir semua saudaranya mengenyam pendidikan tinggi.
Dalam mendidik anak-anaknya, menurut Firmanzah, ibunya tak menerapkan manajemen belajar yang ketat dan disiplin. Bila kebanyakan orang tua mewajibkan anaknya membuka buku terutama seusai senja, tidak demikian dengan ibunya. “Kami bukan management by process, tapi management by output. Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya bagus,” ujarnya. Itulah yang membuatnya bisa membaca buku di sela-sela main gundu.
Semenjak belia, Firmanzah selalu dikondisikan untuk mengerti keadaan keluarganya. “Pada waktu SMP, saya pernah duduk bareng dengan orang tua murid lainnya untuk mengambil rapor adik saya yang waktu itu kelas VI SD,” tuturnya. Bahkan, ia pernah menangis ketika pada waktu SMA harus mengambil rapornya sendiri, sementara teman lainnya diambilkan orang tua masing-masing. “Kalau orang Jawa menyebutnya gelo, nelongso,” ucapnya pelan. Lain waktu, ia harus berperan sebagai pendengar yang baik kala ibunya berkeluh kesah mengenai lika-liku kehidupan rumah tangganya. “Saya pernah melihat Ibu menangis di hadapan saya. Itu saat yang sulit di saat kami membutuhkan perlindungan orang tua dan teman. Lainnya hidup dalam ayunan, sementara kami harus berkonfrontasi dengan realitas hidup,” tuturnya. Ia menambahkan, di antara ke-9 anak, hanya ia yang paling dekat secara emosional dengan ibunya. Tak hanya semangat juang tinggi yang ia pelajari dari sang ibu. Ia juga menimba pelajaran intisari hidup terkait dengan kesetiaan, persahabatan dan kasih sayang. Ibunya juga yang mengajarinya untuk berempati terhadap orang lain. Karena, menurut ibunya, orang pintar banyak, tetapi hanya sedikit yang mau mengerti dan memahami orang lain. Dan Firmanzah mengaku dari kecil sudah mengetahui visinya: menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. “Ibu bilang, saya tidak perlu mencari Bapak. Sekarang yang penting saya pinter dulu. Kalau saya pinter, kata Ibu, nanti Bapak akan datang sendiri mencari saya,” katanya pelan.
Peraih gelar doktor dari University of Pau et Pays de l’Adour, Prancis ini mengaku sering membayangkan seorang ayah yang ideal. “Tapi untuk mendambakan ada ayah di samping saya, tidak sampai seperti itu,” ungkapnya. Baginya, ibunya sudah berperan sekaligus menjadi seorang ayah.
Ia mengaku tak pernah bermimpi memimpin sebuah institusi. “Cita-cita saya dulu jadi astronout,” kata suami Ratna Indraswari ini. Namun, saat lulus SMA, ia memilih Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun. “Saya diwisuda bersamaan dengan dua angkatan sebelumnya. Malah, untuk angkatan saya, hanya saya sendiri yang diwisuda,” ucap pria yang saat kuliah aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan ini.
Sebelum menjadi dosen, ia sempat menjajal dunia asuransi sebagai analis pasar. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke bangku kuliah dengan mengambil program S-2 di bidang yang sama dan menyelesaikannya dalam tempo dua tahun. Beasiswa untuk meraih doktor di Prancis merupakan momen titik balik Firmanzah mengenal dunia yang lebih luas. Saat itu juga merupakan pertama kali baginya ke luar negeri dan naik pesawat. Menginjakkan kaki di kota fashion paling berpengaruh di dunia membukakan matanya lebar-lebar. Beberapa fenomena sosial di sana akhirnya menjadi minat pengamatannya. Strategi perusahaan multinasional di Prancis yang kental dengan atmosfer sosiologis dan politis menjadi bahan disertasinya. Karena lulus dengan lebih cepat dibandingkan orang Prancis, ia diminta mengajar di tempat ia belajar. Setahun ia mengajar sebelum akhirnya kembali ke Indonesia atas permintaan Dekan FE UI saat itu, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. “Sementara tiga hari sebelumnya, saya baru saja mendapat tawaran menjadi dosen tetap dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap,” kata calon guru besar termuda seluruh universitas di Indonesia itu mengenang. Ketika itu, ia sempat bimbang. Kalau tetap di Prancis, ia akan menjadi dosen terbang di berbagai negara di dunia, antara lain Maroko dan Inggris. Fasilitas perpustakaan yang lengkap merupakan surga baginya. Pada titik inilah ia kemudian disadarkan bahwa kehidupan di Prancis akan terlalu mudah baginya. Sementara kalau kembali ke Indonesia, banyak hal yang bisa ia kerjakan. “Ada lebih banyak hal yang bisa dilakukan dan akan lebih berarti karena hidup ternyata tidak hanya mencari kenyamanan,” tuturnya. Tahun 2006, ia menjadi kepala departemen serta mengajarkan pemasaran dan strategi di almamaternya.
Menjadi dosen dan dekan termuda tak membuat pelahap buku-buku filsafat yang mengidolakan filsuf dari Jerman, Schopenhauer, ini jengah berhadapan dengan muridnya yang kebanyakan tokoh masyarakat, seperti mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dan CEO Grup Mustika Ratu Mooryati Soedibyo. Visinya sebagai dekan adalah ingin mengembangkan UI sebagai universitas yang mempunyai jaringan internasional, terbuka, dan modern. “Pada saat saya dilantik menjadi dekan, saya bilang bahwa tugas saya cuma satu, mempersiapkan dekan selanjutnya.” Suatu saat nanti, salah satu dari generasi penerusnya akan menggantikan Firmanzah. Persiapan regenerasi itulah yang dilihatnya tidak menjadi konsep yang matang dalam pemerintahan di negeri ini.

Simak Juga:




Posting Komentar