Berpose pimpinan bersama karyawan LP3ES di ruang aula usai rapat tahunan
(Zaerudy berdiri di belakang yang terhormat dan tersayang M.Dawam Rahardjo)
Pesta kebun pada sebuah acara HUT LP3ES
(Hamka Ch, staf pemasaran, berdiri menghadap kamera)
Zaerudy (1979)
Zaerudy (2020)
Saya mulai bergabung di LP3ES memiliki latar belakang dan riwayat tersendiri yang menurut saya cukup unik. Pada bulan November 1980 saya mulai bergabung ke LP3ES gegara tanpa sengaja membaca iklan baris yang dipasang oleh LP3ES di harian Kompas untuk mencari sopir, dengan alamat PO Boks. Dalam hal ini rupanya sama dengan pengalaman Zar'an Ngadimin. Saya mencoba mengirim lamaran dan mendapat panggilan untuk tes dan wawancara. Saat itu posisi saya sebagai kepala lembaga pendidikan dan pelatihan teknik otomotif yang saya dirikan sejak tahun 1975 yang berlokasi di Jl Sahardjo, Jakarta Selatan. Dengan jumlah penerimaan siswa baru setiap bulan rata-rata sebanyak 50 orang untuk program belajar selama 3 bulan, maka tak kurang dari 200 siswa dalam setiap waktu yang mengikuti kegiatan belajar mengajar, layaknya sebuah sekolah saja. Kegiatan belajar mengajar dilakukan pada sore hari hingga pukul 9 malam, sehingga saya banyak waktu luang di pagi dan siang hari. Oleh karenanya, saya berusaha mencari kegiatan apa saja yang kiranya bisa bermanfaat untuk mengisi waktu luang tersebut. Ketika itu saya mengirimkan lamaran ke LP3ES untuk posisi sopir tersebut secara diam-diam karena saya tahu Aswab Mahasin sudah terlebih dahulu bekerja di LP3ES yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Penerbitan. Karena untuk masuk kerja di LP3ES saya tidak ingin dan tidak mau dibilang berkolusi dengan serta menjadi beban moril bagi Aswab yang notabene adalah teman karib saya duduk sebangku sejak di sekolah PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Salatiga (1957) dan bersama sama ditempatkan dan bekerja sebagai PNS (pegawai negeri sipil) selepas dari sekolah PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta hingga mengikuti kuliah di Fakultas Sastra Univesitas Indonesia, Jakarta (1964). Setelah berhenti bekerja sebagai pegawai negeri, saya sempat bekerja di proyek pembangunan gedung Conefo (sekarang gedung DPR/MPR) selama lebih kurang satu tahun sebagai staf gudang semen dan besi beton, sebelum akhirnya proyek tersebut disetop sementara oleh pemerintah Orde Baru. Ceritanya menjadi lain ketika aksi dia-diam saya mengajukan lamaran kerja untuk posisi sopir tersebut rupanya terdengar (diketahui) juga oleh Aswab. Saya duga, dia merasa malu dan tidak rela jika saya bekerja sebagai sopir di LP3ES. Sebelum bekerja di LP3ES, Aswab bekerja di sebuah perusahaan iklan anak perusahaan majalah Tempo sebagai copy writer, sementara atas ajakan Aswab saya menyusul bekerja di perusahaan tersebut sebagai kasir yang kebetulan kosong karena ditinggalkan oleh pekerja sebelumnya yang mengundurkan diri. Setelah Aswab berpindah kerja di LP3ES, satu tahun kemudian perusahaan iklan tersebut gulung tikar. Saya pun menganggur. Demikianlah singkat cerita akhirnya saya diterima bekerja di LP3ES dan ditempatkan di bagian pemasaran, khususnya di bagian penagihan atau persisnya sebagai juru tagih.
Ketika mendirikan dan memimpin lembaga pendidikan dan pelatihan teknik otomotif bekal utama saya adalah ilmu dan praktik nyata pemasaran, karena di sanalah ujung tombak hidup matinya sebuah usaha swasta. Seiring dengan berjalannya waktu ketika saya mulai dan semakin dipercaya oleh pimpinan, dalam hal ini Maruto yang saya kagumi dan sayangi, untuk lebih jauh dan lebih dalam ikut menangani bidang pemasaran buku dan majalah Prisma sebenarnya sejalan dengan ilmu dan praktik yang sudah cukup lama saya geluti dan dapatkan secara otodidak. Lebih-lebih pada sekitar tahun 1987 ketika LP3ES, khususnya bidang penerbitan, menghadapi dan mengalami masalah cukup serius dalam aliran dana (cash flow), karena 2 hal. Pertama, sejak memasuki dekade 1980-an yayasan penyandang dana FNS (Frederick Naumann Stiftung) sudah menghentikan bantuan dana hibah ke LP3ES. Kedua, masa “bulan madu” divisi penerbitan LP3ES yang produk penerbitannya banyak laku terjual laris manis bak kacang goreng lebih karena daya beli beli masyarakat yang cukup tinggi berkat “oil boom” (bonanza) tahun 1980 sudah berlalu. “Manusia dalam Kemelut Sejarah” dan “Pergolakan Pemikran Islam” adalah contoh dari sekian jenis buku terbitan LP3ES yang berhasil memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat pembaca akan informasi pada zamannya, seperti slogan yang pernah digunakan majalah Tempo “menarik dan perlu”. Di saat yang sama tuntutan keadaan dan keharusan untuk mandiri secara bisnis dalam pengelolaan penerbitan baru disadari, meskipun sudah agak terlambat. Mengubah status badan hukum penerbitan LP3ES menjadi berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dengan segala konsekuensinya dalam iklim baru, rupanya memang tidak cukup kuat untuk mampu mempertahankan nama besar LP3ES yang pernah disandang sebagai penerbit buku bermutu. Satu dan lain hal diketahui karena pengaruh dana hibah yang bersumber dari lembaga donor yang “meninabobokkan” dan terlanjur membudaya. Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan bisnis mempunyai kaidah tersendiri yang tak jarang berlaku hukum besi, dimana bagian pemasaran merupakan ujung tombak yang menentukan hidup matinya sebuah entitas bisnis atau usaha. Dalam beberapa kesempatan saya pernah terpaksa harus beradu argumen yang cukup sengit dan “nyelekit” dengan bagian redaksi yang kala itu dipimpin oleh Imam Ahmad tentang kebijakan redaksi dalam menerbitkan buku atau majalah dikaitkan dengan orientasi dan kegiatan pemasaran. Adalah wajar dan secara pribadi saya menaruh apriasi jika Imam Ahmad yang berlatar pendidikan filsafat ternyata kemudian banyak menaruh perhatian dan memproyeksikan penerbitan buku –buku baru pada kajian filsafat, seperti contohnya “Memiliki dan Menjadi”nya Erick Fromm. Sementara dari sudut pandang pemasaran buku-buku sejenis itu secara mudah dapat ditebak peminatnya sangat sedikit, dan dengan sendirinya sulit dalam pemasarannya, apalagi di tengah situasi daya beli masyarakat yang kian merosot seiring dengan kondisi makro ekonomi. Seperti pernah saya sampaikan kepada Arselan Harahap selaku Dirut PT Pustaka LP3ES Indonesia, manajemen penerbitan tampaknya lebih memilih dan menerapkan konsep dan strategi bisnis “product approach” seperti yang dilakukan industri otomotif Amerika Serikat. Sementara tuntutan keadaan sudah berubah dan memerlukan konsep serta strategi “market approach” seperti yang dilakukan industri otomotif Jepang yang kemudian terbukti berhasil memenangkan persaingan dan menguasai pasar dunia dengan mobil Toyotanya.
Pengalaman Unik dengan 2 Direktur LP3ES
Saat itu baru sekitar 2-3 bulan saya mulai bekerja di LP3ES dengan direktur M.Dawam Rahardjo. Saya mendengar informasi bahwa Ismid Hadad masih disediakan ruang kerja yang kadangkala saja datang ke kantor LP3ES. Suatu hari saya menerima telepon di ruang kerja saya dan dari seberang sana terdengar suara meminta berbicara dengan Soleh, petugas gudang buku. Saya meminta waktu sebentar untuk mengecek dan memberitahukan kepada yang bersangkutan untuk menerima telepon, karena letak ruang kerja saya dengan Soleh berbeda dan agak berjauhan. Tetapi karena ternyata Soleh tidak ada di tempat, lalu saya pun kembali mengangkat gagang telepon untuk memberitahukan bahwa Soleh tidak ada di tempat, seraya berkata:"Nanti kalau Soleh sudah kembali di tempat akan saya beritahukan, pak". Mendengar kalimat terakhir tersebut dengan nada tinggi, mungkin setengah membentak, penelepon yang saya ketahui adalah Ismid Hadad menukas:"Siapa ini?!". Saya katakan bahwa saya pegawai baru di bagian pemasaran, sambil berpikir dan tersadar bahwa sepertinya saya dinilai terlalu berani atau bahkan mungkin dianggap lancang dengan memberikan "janji" yang tidak diminta. Saya memang sempat mendapat sedikit cerita dari Aswab saat LP3ES masih berkantor di jalan Jambu tentang profil Ismid Hadad yang keras (orang-orang bilang, galak atau garang), karena Aswab sendiri yang "njawani" dan lemah lembut, pernah merasakan "tekanan psikologis" dari kegalakannya itu.
Ketika itu jabatan direktur LP3ES sudah digantikan olah Aswab Mahasin. Oleh Pak Eba kadang saya diminta untuk mengisi sessi khutbah jumat yang seringkali didirikan di lingkungan kantor dengan menempati ruang aula LP3ES. Kebetulan hari itu LP3ES sedang mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri sejumlah tokoh, termasuk
M.Dawam Rahardjo (halaman 6) yang ternyata juga mengikuti salat jumat di kantor LP3ES, dimana saya mendapat giliran untuk naik ke mimbar sebagai khotib. Dalam uraian khutbah sekilas saya menyinggung tentang program yang tengah saya kerjakan bersama Nana Rukmana (Ir), seorang pejabat Departemen Pekerjaan Umum (PU) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekaligus dosen Unisba, Bandung, untuk menyusun semacam sebuah buku pedoman berdakwah dengan cara mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat Alquran berdasarkan topik bahasan. Saya sempat terkejut (
surprise) ketika saya pernah diundang ke rumah orang PU tersebut dalam satu acara keluarga di komplek Bintaro, tampak hadir pula Ignas Kleden. Seusai bubaran salat jumat ketika saya berjalan di koridor untuk kembali menuju ruang kerja, tiba-tiba sembari jalan tergopoh M Dawam Rahardjo menyusul di belakang saya seperti mengejar seraya berkata, berbaur antara bertanya, meminta dan memerintah:"Nanti saya minta bahan yang disampaikan di khutbah tadi, ya?!". Dan permintaannya itu memang segera saya penuhi. Belakangan baru saya ketahui bahwa rupanya dia sedang mengerjakan "proyek" besar, yakni menyusun sebuah buku ensiklopedia Islam. Dalam kesempatan lain, pada tahun pertama saya bergabung di LP3ES yang notabene masih sebagai karyawan "kroco", diminta untuk menemani M.Dawam Rahardjo mengikuti kursus bahasa Arab dengan memanggil guru less privat.
Akhirnya, selama hampir dua dekade saya bergabung di LP3ES rasanya lebih banyak suka dari pada duka, jujur saya katakan karena satu alasan. Yakni iklim kerja yang tidak terlalu formal dan hubungan antar personal yang egaliter. Karena dari segi materi, ketika saya harus resign dari LP3ES karena terikat pada peraturan kepegawaian (1998), saya yang notabene telah ikut mempertahankan dan menegakkan panji-panji LP3ES hanya mendapat “santunan” sebesar Rp 7 juta plus klaim asuransi Jamsostek sebesar Rp4 juta untuk bekal hidup saya menikmati hari-hari tua sampai hari ini tak terasa sudah berlangsung hingga lebih dari dua dekade. Sementara banyak teman sejawat lain sudah “pulang” terlebih dahulu menuju haribaan Yang Maha Pencipta. Selama itu pula hormat dan simpati saya peruntukan bagi Maruto yang menjadi atasan saya langsung, karena sifat dan sikapnya yang menghargai pada bawahan yang secara umur lebih senior. Sudartoto adalah teman sejawat sekaligus sahabat sejati dan abadi, yang sejak awal perkenalan telah banyak mendorong dan menyokong tugas dan dedikasi saya di LP3ES. Tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi saya pada kawan-kawan sejawat yang lain, hormat dan apresiasi saya pada Pak Eba, karena dialah satu-satunya karyawan LP3ES yang umurnya lebih tua dari saya dan mengerti serta dapat mengapresiasi pemikiran saya.