Terbang solo
Akhlak Mulia, Ideologi Dunia
Korban Perundungan (Bullying)
Menurut Rudy, akhlak yang pernah juga disebut budi pekerti, atau lebih tepat menurut persepsi dan perspektif Islam, merupakan persoalan yang lebih besar dan mendasar dibandingkan misalnya dengan perkara kerukunan antar agama. Sebagai contoh sebut saja seperti peredaran narkoba, secara terang benderang menimbulkan dampak dan ancaman yang justru sangat
serius dan mampu membinasakan peradaban sebuah bangsa bahkan dunia. Sejak mulai menyadari keberadaannya di dunia, sebagaimana dialami oleh kebanyakan anak seusianya, ia mengira bahwa kehidupan di dunia ini penuh dengan keramahan dan kasih sayang. Namun seiring dengan bertambahnya umur dan lingkungan pergaulan, prasangka itu mulai memudar dan berubah. Dia terlahir dengan membawa sedikit cacat bawaan di bagian telinga kanannya yang agak berkeriput dan kehilangan kemampuan pendengaran. Pada mulanya ia belum menyadari akan kekurangan atau kelainan fisik tersebut, sehinggga tidak sampai mempengaruhi kondisi kejiwaannya. Namun setelah ia mulai bergaul ke luar rumah khususnya di sekolah, beberapa teman sekolah bahkan sebagian orang dewasa merundung dirinya. Sepintas ia sempat menduga bahwa perbuatan mereka didorong perasaan iri dan dengki gara-gara ia terlahir di tengah keluarga yang mapan dan terpandang. Belakangan, sedikit kekurangan pada fisik semakin lengkap ketika namanya juga menjadi obyek dan bahan olok-olokan. Berbeda dengan ajaran Islam yang mengajarkan kepada para orang tua agar memberikan nama yang baik bagi anak-anak mereka. Di dunia Barat paling tidak menurut pujangga kelas dunia asal Inggris,
William Shakespeare, justru mengatakan bahwa “apalah artinya sebuah nama”. Perbedaan filosofi dan konsep secara diametral tersebut boleh jadi memang bersifat mendasar. Karena perbedaan perspektif tersebut juga berlaku di dunia kesehatan. Menurut konsep Barat kesehatan dimulai dari luar (jasmani), dengan slogan ‘jiwa yang sehat terletak pada tubuh yang sehat. Sedangkan menurut konsep Timur (Islam) mengatakan sebaliknya. Namun kadang ia berpikir bahwa pendapat pujangga besar tersebut mungkin ada benarnya. Bukankah emas tetaplah emas sekalipun dikatakan sebagai besi atau suasa? Tetapi baginya menjadi masalah ketika neneknya mendaftarkan dirinya untuk masuk sekolah SR rupanya tidak memperhatikan soal penulisan nama. Maklum neneknya memang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia tidak mengerti dan membayangkan kalau nama “Djaerodi” saat mendaftar sekolah di belakangan hari berpotensi untuk dapat dijadikan bahan olok-olokan, baik di sebagian kalangan anak-anak maupun sebagian orang dewasa. Kelak, pada tahun-tahun awal menetap di Jakarta ia memperbaiki ejaan namanya dalam dokumen kependudukan tanpa memperdulikan lagi kesinambungan dengan nama yang tertera di semua dokumen sekolah yang dimiliki selama ini. Lucunya, ketika sudah bergabung di LP3ES, ia tersenyum dan merasa seperti mendapat kawan senasib. Pasalnya, ia mendengar cerita tentang Dawam Rahardjo, salah seorang direktur LP3ES, telah kehilangan ijazah Strata 1 (satu) dari Universitas Gajah Mada. Dan konon, ia tak pernah berupaya dan berniat untuk mendapatkan duplikatnya, sampai kemudian ia meraih gelar professor pun tidak lagi memiliki ijazah sarjana S 1 (Strata 1).
Semasa ia duduk di bangku kelas tiga SR, teman sekelasnya, Sutrisno, yang berperawakan lebih besar dengan kepala besar pula (denggel, Jawa), senang sekali mengolok-olok dirinya. Kesabaran dan sikapnya yang diam rupanya dianggap sebagai kelemahan, sehingga suatu saat dia berbuat agresif dengan menjitak kepalanya. Dengan mengerahkan segala keberanian dan seperti kesetanan ia berusaha membalas perlakuan yang dianggap telah melewati batas, sehingga terjadilah sebuah duel. Kejadiannya berlangsung cepat sehingga lepas dari pengamatan guru maupun perhatian teman-teman lain. Dalam perkelahian itu ia berhasil mengalahkannya dan dibuat tak berkutik. Sejak kejadian itu, dia tak pernah lagi melecehkan dirinya. Pengalaman pahit itu kembali menimpa dirinya saat ia duduk di kelas empat SR di Gringsing dengan jadwal masuk siang hari. Seperti biasanya setiap musim hujan tiba, hujan turun terus menerus hampir sepanjang siang dan hanya berhenti sebentar, lalu hujan turun kembali. Cuaca semakin gelap karena langit tertutup mendung yang menggulung berwarna hitam pekat. Namun pemandangan sekitar berubah terang ketika kilat menyambar diiringi petir menggelegar bertubi-tubi memekakkan telinga. Cuaca demikian dapat berlangsung berturut-turut hingga satu minggu lamanya. Seusai jam belajar sore hari ia berlari-lari kecil sendirian menembus lebatnya hujan bercampur kilat dan petir, menyusuri jalan untuk menuju pulang. Tiba-tiba seorang anak pengendara sepeda menyeruduk tubuhnya dari arah belakang seraya melarikan diri sehingga tubuhku terjungkal di atas jalan. Beruntung jalan dalam keadaan tergenang air hujan setinggi lutut, sehingga ia tidak terluka dan hanya sedikit rasa memar di bagian pinggulnya. Sekilas sempat terlihat penyeruduk itu rupanya teman sekolah berlainan kelas. Seperti merasa iri selama ini dia memang kerapkali merundungnya. Padahal belakangan diketahui bahwa sang penyeruduk sebenarnya masih termasuk saudara sepupu. Dengan menahan sedikit rasa sakit ia segera bangkit dan sambil kepala merunduk-runduk ia melanjutkan perjalanan menyusuri jalan desa yang membelah areal persawahan. Kira-kira dua puluh meter lagi langkahnya mencapai perbatasan desa, melalui sudut matanya tiba-tiba terlihat kilat petir besar menyambar kira-kira di atas perbukitan arah selatan. Cahayanya membentuk garis tebal terang benderang menyinari langit yang gelap tertutup mendung hitam pekat. Selanjutnya ia tak ingat lagi, dan saat menyadari tubuhnya sudah tergeletak di tengah persawahan yang baru saja selesai dibajak, kira-kira tiga meter dari jalan. Mungkin ia telah tersambar petir. Dengan tubuh bermandi lumpur dan segera meluntur begitu terguyur hujan, ia pun bangkit tertatih-tatih naik ke jalan untuk melanjutkan perjalanan. Setiba di rumah ia tidak mandi lagi dengan air sumur, karena sudah kedinginan. Jauh di kemudian hari baru ia berpikir kalau rangkaian pengalaman buruk dan nahas tersebut boleh jadi yang mengakibatkan ia jatuh sakit thypus sangat parah.
Setelah itu pengalaman buruk menjadi korban perundungan serta disatroni orang nampaknya belum juga berakhir dan kembali terjadi lagi hingga dua kali. Dan seperti sudah menjadi suratan takdir, dua-duanya berujung dengan duel. Pertama, saat ia masih duduk di kelas dua PGAN. Awalnya tak jelas pokok pangkalnya sehingga anak dari pemilik pondokan yang masih seusianya seringkali mengganggu dan membully-nya. Diduga ulah tersebut dilakukan karena pengaruh pergaulan. Sikap Rudy yang mengalah rupanya membuat tingkahnya semakin berani. Sehingga suatu hari dalam posisi terdesak ia terpaksa membela diri dan terjadilah duel. Pada masa itu di kota Salatiga memang sedang menggejala kenakalan remaja. Sejumlah pemuda berandal membentuk semacam geng yang populer dengan sebutan cross boy. Hampir setiap malam hari mereka bergerombol dan acapkali mengganggu sesama remaja dan membuat keonaran. Memasuki tahun keempat sekolah PGAP, semua murid kelas empat diwajibkan tinggal di asrama. Peraturan itu diberlakukan sebagai konsinyasi agar para siswa berkonsentrasi untuk menghadapi ujian akhir. Suatu malam segerombolan cross boy menyatroni dan mengepung asrama, gara-gara pada siang harinya terjadi percekcokan antara beberapa anggota “cross boy” dan dua anak murid PGAP. Beruntung, tentara garnisun segera datang, sehingga tawuran yang hampir saja pecah dapat dicegah. Pengalaman serupa tapi tak sama juga kembali terjadi ketika ia sudah menetap di Jakarta. Seorang tetangga rumah kontrakan asal daerah Bogor yang sehari-hari bekerja sebagai sopir pribadi seringkali menganggu privasinya. Tak jelas sebabnya, tapi ia menduga mungkin karena dirinya masih remaja ditambah gangguan perasaan iri dan dengki, sehingga ia berani bersikap demikian. Puncaknya, suatu saat terjadi perselisihan tak terelakkan sehingga berujung dengan duel. Dalam hati kecil muncul perasaan sedikit menyesal atas semua itu, tetapi ia mencoba menghibur diri dengan dalih membela diri. Mungkinkah darah patriot dan pejuang nenek moyang yang mengalir dalam tubuhnya yang mendorong dirinya bersikap dan bertindak demikian? Namun yang jelas dari beberapa pengalaman buruk yang menimpa dirinya selama ini ia hampir dapat memastikan bahwa sifat polos, sikap akomodatif dan tak suka menonjolkan diri seringkali disalahartikan sebagai sebuah kelemahan.
Jual Tanah untuk Kuliah
Jika melihat dampak yang ditimbulkan dan dirasakan merupakan malapetaka yang paling besar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, kisah ini seharusnya dmasukkan dalam sub judul tersendiri atau dikategorikan sebagai ujian hidup keempat. Tetapi karena kejadiannya menyangkut unsur atau merupakan buah dari keputusan sendiri, maka rasanya lebih tepat bila diuraikan dalam perspektif lain. Sifat bawaan memang sulit dibuang, kendati tak jarang mendatangkan malapetaka. Di samping beberapa kelemahan kepribadian yang dirasakan selama ini, rupanya masih tersisa satu sifat lemah yang justru paling fatal, yakni sifat mudah percaya. Hal itu terbukti pada tahun-tahun pertama menetap di Jakarta, ia terjerumus dan menjadi korban dalam kasus penipuan yang menyeret dirinya dan kakaknya keempat jatuh bangkrut dan menjalani hidup terlunta-lunta selama tak kurang dari satu dasawarsa. Hampir seluruh aset atau harta tak bergerak warisan dari orang tua dijual untuk ditanamkan dalam sebuah usaha investasi. Keputusan untuk menjual aset itu sebenarnya sudah diambil melalui musyawarah keluarga. Namun seperti kata peribahasa, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Maksud dan tujuan semula hasil penjualan tanah tersebut untuk ditanamkan dalam sebuah usaha investasi dan dari keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kelanjutan kuliah ternyata menemui kegagalan, sehingga kuliahnya berantakan dan kandas di tengah jalan. Jauh di kemudian hari baru ia menyadari kalau modus investasi bodong sesungguhnya sudah ada dan dikenal sejak zaman era Orde Lama.
Ironisnya, pelakunya sebagai perantara justru merupakan teman sekolah dan kakak kelasnya di PHIN, Yogyakarta. Ia sendiri kemudian berhasil meraih gelar doktor dari sebuah universitas di Australia. Dan yang luar biasa dan membuatnya tak habis pikir, sejauh ini alih-alih meminta maaf atau berusaha mengganti kerugian yang ditanggung, sedikit pun tak pernah menunjukkan rasa bersalah ataupun penyesalan. Tak hanya itu, ujian hidup yang harus dihadapi rupanya masih belum berakhir. Beberapa bulan kemudian tanpa disengaja ia bertemu kembali di Jakarta dengan seorang teman seangkatan semasa di PGAN semenjak berpisah lima tahun yang lalu. karena ia melanjutkan pendidikan di PGAA, Solo. Ia pernah bermain dan menginap di rumah orang tuanya. Sehingga ia mengetahui betul bahwa temannya berasal dari latar belakang keluarga tidak harmonis karena ayahnya berpoligami. Selama berteman ia cukup banyak dibuat repot dalam berbagai hal. Mungkin ia terlambat menyadari kalau temannya tak lebih laksana benalu dalam kehidupannya. Belajar dari berbagai pengalaman pahit tersebut kadang sempat terbersit dalam benaknya tentang kebenaran sebuah ungkapan dalam bahasa Latin “homo homini lupus”, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Dalam Islam hal tersebut sesungguhnya mempunyai landasan teologis. Diriwayatkan ketika Tuhan hendak menciptakan manusia para Malaikat mempertanyakan atau mengkhawatirkan hanya akan terjadi saling memangsa di antara mereka. Tuhan hanya menjawab bahwa ia lebih mengetahui apa yang akan terjadi, dalam artian tidak membantah ataupun mengiyakan. Dalam kenyataannya kerusakan moral dan akhlak manusia alih-alih berkurang malah merebak dimana-mana. Semua berpangkal pada masalah ekonomi, sehingga membuat manusia menuhankan materi. Kasus penipuan pemberangkatan jemaah umrah dan haji yang marak terjadi serta korupsi pengadaan kitab suci dan ancaman narkoba, tak dapat dipungkiri, merupakan puncak es perilaku hedonisme.
Di bagian lain, terkadang ia seperti merasa cemburu sekaligus salut setiap kali mendengar alumni sebuah sekolah mengadakan acara reuni. Karena sebagaimana diketahui dan dirasakan, alih-alih mengingat dan saling membantu antar alumni hampir semua alumni PHIN berjalan sendiri-sendiri, sehingga terkesan seperti tidak memiliki rasa kebanggaan almamater. Sesekali dalam benaknya muncul pikiran dan rasa ingin mengetahui latar belakang dan mencari jawaban mengapa hal tersebut terjadi. Menurutnya, fenomena tersebut dapat dijelaskan denģan sebuah teori sejarah sosial. Sejarawan Kuntowijoyo menyebutkan bahwa di dunia non-muslim alam pikiran rasional menimbulkan kecenderungan sekularisme, karena agama Nasrani tidak mampu menampung arus rasionalitas dalam dogma. Alam pikiran rasional yang tumbuh dalam kebudayaan industri melahirkan individualisme. Sekalipun Islam menganggap begitu penting dan sangat menganjurkan penggunaan akal pikiran, akan tetapi pada kenyataannya sekularisme yang semestinya tidak terjadi, disadari atau tidak, merambah juga di dunia Islam. Benang merahnya adalah dari berbagai mata pelajaran dan sistem pengajaran yang diberikan di PHIN memang terasa kuat sekali dorongan untuk terlatih dan terbiasa berpikir rasional. Tambahan pula ketiadaan mata pelajaran kesenian di sekolah PHIN, tampaknya telah memuluskan jalan terciptanya jiwa-jiwa yang kering dan kosong.
Bagai Layang-layang Putus
Aktivitas di HMI telah mengantarkannya dan tertarik untuk beralih profesi dengan bekerja di proyek pembangunan super ambisius gedung Conefo (sekarang gedung DPR/MPR RI) sebagai anggota tim pengawas gudang yang terletak di kawasan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (sekarang Mall Blok M), dengan bekal “katabelece” (semacam surat sakti) dari Ir. Sutami, seorang tokoh senior HMI dan dikenal sebagai arsitek jembatan Semanggi. Gajinya waktu itu setara dengan dua puluh lima gram emas untuk setiap bulan. Cukup lumayan besar, sehingga kemudian ia dapat membayar kembali seluruh dana ikatan dinas yang pernah diterima agar dapat mengambil ijazah PHIN.
Dengan diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) hingga tahun 1967 praktis kekuasaan bung Karno runtuh dan berpindah ke tangan Soeharto. Imbas yang paling dirasakan adalah dihentikannya proyek ambisius pembangunan gedung Conefo untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Mulai saat itu ia memasuki babak serta lembaran hidup baru dan harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup sebagai orang swasta. Di sekolah PGAP maupun PHIN memang tidak diajarkan tentang life skill (keterampilan hidup), semacam kewisausahaan. Sehingga semua seakan harus berangkat dan dimulai dari titik nol untuk tidak disebut minus. Belum genap satu tahun berjalan Aswab berhenti bekerja atau sesungguhnya memutuskan secara sepihak status kepegawaian di Departemen Agama –hal yang sama juga dilakukan oleh Rudy dan salah seorang kawan seangkatan — dengan alasan merasa tidak cocok untuk menjadi seorang birokrat yang dilihat sarat dan berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang. Selang beberapa bulan kemudian ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dan ibunya yang “single parent” menyarankannya untuk melanjutkan studi di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Di balik itu tanpa disadari kepergiannya telah membuat Rudy seperti kehilangan pegangan, karena sahabat yang selama ini bercanda dan berkumpul, senasib sepenanggungan mengarungi hidup di ibukota tiba-tiba kini tidak ada lagi di sampingnya. Namun ia teringat dan sepakat dengan sebuah adagium “the show must go on”, sehingga ia tak mau berlarut-larut hanyut dalam perasaan kesendirian dan kehilangan. Di suatu saatnanti ia terkesan dengan sebuah kata bijak yang menyebutkan bahwa kebahagiaan hidup sejati dapat diraih dengan bekal ilmu (pengetahuan) dan agama, dan seni. Sebuah riwayat memaparkan tentang pengembaraan spiritual Budha Gautama untuk mencari sumber kebahagiaan. Ia menemukan dalam seni bahwa nafsu dalam diri manusia diibaratkan sebagai senar dari sebuah mandolin. Apabila ia terlalu kencang disetel akan putus. Sebaliknya apabila ia terlalu kendor disetel maka akan menghasilkan bunyi nada yang sumbang. Nada indah akan diperoleh manakala senar disetel dengan pas. Menurutnya, seni dapat memberikan keseimbangan jiwa dalam memaknai dan menjabarkan pesan ilmu dan agama agar tidak terperangkap dalam sikap hitam putih ataupun ekstrim.Sementara menurut ajaran Islam hawa nafsu diibaratkan musuh paling besar dalam diri manusia yang harus senantiasa diwaspadai dan diperangi sepanjang hidup. Pilihan hidup asketis Djohan Effendi, seorang alumni PHIN kakak kelasnya yang berhasil menjadi pejabat di Sekretariat Negara era rezim Orde Baru, versus kredo “financial freedom” Deny J.A, seorang kenalan semasa ia bekerja di LP3ES, barangkali dapat menjadi salah satu sosok model sekaligus bahan renungan tentang arti dan peran seni dalam kehidupan. Sebelumnya ia tak mengira dan sempat termenung saat mengetahui kalau Djohan Effendi berasal dari Kandangan, Kalimantan Selatan. Ia teringat pada Nurmansyah, sahabatnya sekamar pondokan di Yogyakarta juga berasal dari kota yang sama.
Di Persimpangan Jalan
Tanpa terasa sekitar tujuh tahun sudah berlalu, ia harus hidup di Jakarta dalam keadaan tak menentu. Mau tak mau semua harus dijalani dengan penuh ketabahan, ketangguhan, ketekunan dan kesabaran. Sampai perlahan-lahan di ujung lorong gelap itu mulai menampakkan titik terang dan seakan menjadi titik balik ketika ia memutuskan untuk menikah. Baginya pernikahan tersebut merupakan sebuah momen cukup bersejarah, karena pada medio Januari 1974 di Kendal sedang dilangsungkan pernikahan, sedangkan di Jakarta meletus peristiwa Malari (Malapetaka bulan Januari).
 |
Pernikahan Zaerudy dan Sri Pandamyatie (Kendal, 1974) |
 |
Keluarga Zaerudy bersama anak menantu dan cucu (Jakarta, 2018) |
Terkait dengan perjuangan untuk dapat bangkit kembali dari keterpurukan, ia terkesan dengan kisah perjalanan karier Presiden Direktur perusahaan mobil Chrysler dalam usia yang sudah tak lagi muda mampu membangkit-kan kembali perusahaan raksasa yang terancam bangkrut karena kalah bersaing dengan perusahaan mobil Jepang yang muncul kemudian. Kisah inspiratif tersebut mengingatkan pada sebuah kata bijak seorang raja dari keturunan bangsa barbar Mongolia yang nenek moyangnya telah meng-hancurkan peradaban Islam, tetapi kemudian ia justru gigih menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru wilayah di Asia Tengah, Timur Leng. Ia mengatakan bahwa ‘Bukan luar biasa orang yang tidak pernah jatuh. Yang luar biasa adalah orang yang jatuh kemudian bangkit kembali’. Semenjak bekerja di proyek Conefo ia mengalami titik balik. Hatinya seakan goyah dan bimbang untuk berpikir ulang mengenai bakat dan minat yang ada dalam dirinya. Ia merasa memiliki potensi di bidang eksakta, tetapi latar pendidikan yang ditempuh berbasis ilmu sosial. Sampai pada suatu titik dimana ia merasa bahwa bakat dan minatnya sebenarnya lebih cenderung pada bidang eksakta. Sebelumnya ia tak menyadari bahwa pembidangan ilmu eksakta dan ilmu berkaitan erat dengan life skill (keterampilan hidup) dan masa depan peserta didik. Lebih-lebih kurikulum di sekolah PGAP dan PHIN memang tidak diberikan atau sedikit sekali mata pelajaran tentang ekonomi. Dalam kondisi hidupnya saat itu hal tersebut benar-benar merupakan masalah yang cukup serius bagi kehidupannya. Namun setelah bergabung di LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial) orientasi tersebut seakan kembali berbalik arah seratus delapan puluh derajat untuk menekuni bidang non-eksakta dan kemasyarakatan. Sejak awal keberangkatan dan perantauannya di ibukota hingga berlabuh di LP3ES sebagai persinggahan yang paling lama (1980-1998) pada akhirnya ia merasa menjadi seorang generalis, baik di bidang eksakta maupun non-eksakta, baik pada tataran aksi dan implementasi maupun pemikiran. Dengan mengambil risiko sebagaimana dikatakan para futuris akhir abad lalu bahwa berbeda dengan orang spesialis, orang generalis atau dapat disebut serba bisa tidak dimana tetapi bisa dimana-mana.
Untuk itu ia harus “membanting stir” agar dapat bertahandan melanjutkan perjuangan hidup. Dalam perkembangannya, sementara ia masih bekerja di sebuah biro iklan yang merupakan anak perusahaan dari majalah berita mingguan Tempo, ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan kejuruan sekaligus memimpin dan mengajar di bidang otomotif dan diberi nama “Sigma”, sebagai kegiatan sampingan . Ia memang memiliki kelebihan dan keunggulan sebagai “follower” ulung, dalam arti dapat melakukan lebih baik dan terkonsep. Berkat pengalaman bekerja selama empat tahun di sebuah kursus di bidang yang sama dan telah berdiri sebelumnya, ia dapat mempelajari seluk beluk dan manajemen sebuah kegiatan pendidikan. Selain karena hoby di bidang teknik ia belajar secara autodidak. Latar belakang pendidikannya di bidang keguruan turut menunjang keberhasilannya. Tambahan pula, lokasi dan penampilan gedung yang cukup bergengsi turut mendongkrak dari aspek pemasaran. Ia menyewa sebuah gedung sekolah SMA swasta tergolong favorit di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Sekolah tersebut milik sebuah yayasan yang dipimpin oleh seorang perempuan asal Jerman. Ia adalah istri pemilik grup majalah Femina sekaligus sebagai menantu dari pujangga angkatan baru, Sutan Takdir Alisyahbana. Sungguhpun awalnya merasa sedikit rendah diri karena baru kali pertama bertemu dan berbicara dengan orang asing, tapi akhirnya ia harus jalankan juga untuk mengajukan permohonan penyewaan gedung sekolah tersebut. Di luar dugaan, beruntung sambutannya cukup baik dan menghargai bahkan sangat mendukung. Sebagian pengajarnya berasal dari guru-guru sekolah unggulan STM Pembangunan di Pulo-gadung, Jakarta Timur. Selebihnya, dua orang merupakan lulusan insinyur perminyakan yang bekerja di Lemigas (Lembaga Minyak dan Gas Bumi), sebuah lembaga penelitian milik pemerintah. Mereka mengajar pada sore hari selepas jam dinas. Selama kursus berdiri sejak tahun 1975 hingga ditutup pada tahun 1985 karena perubahan perilaku pasar, ribuan peserta didik telah mendapatkan pelajaran dan pelatihan untuk menjadi teknisi yang terampil, sehingga lulusannya banyak terjun ke tengah masyarakat berbekal ilmu yang telah dikuasai.
Kembali Ke “Khittah”
Awal tahun 1980 ia bergabung di LP3ES. Di tahun pertama ia bekerja, Dawam Rahardjo selaku direktur LP3ES pernah memanggil seorang guru untuk memberikan kursus bahasa Arab. Ia menawarkan dan mengajak karyawan yang berminat untuk ikut bergabung menemaninya. Sebenarnya ia kurang berminat untuk mengikuti, karena ia menduga pelajarannya akan dimulai dari dasar, sehingga akan membosankan dan membuang-buang waktu. Tetapi ia memutuskan untuk mengikuti juga, karena kegiatan tersebut ia pikir dapat menjadi sarana untuk mengenalnya lebih dekat. Sayangnya, tak lama kemudian karena kendala teknis kursus bahasa Arab tersebut tidak berlanjut dan akhirnya bubar di tengah jalan.
Bila dihitung-hitung, perjalanan hidup sebagai orang swasta, terhitung sejak berhenti sebagai pegawai negeri pada tahun 1965 hingga mulai bergabung di LP3ES sebagai akhir persinggahan, telah berlangsung selama belasan tahun. Selama bergabung di LP3ES ia mendapat kesempatan berkenalan dan bertemu dengan sejumlah tokoh nasional dan cukup banyak intelektual,di antaranya Prof. Dawam Rahardjo, Prof Dr Didik J. Rachbini, Totok Daryanto, dan Denny J.A. Kedua nama terakhir sengaja disebutkan kemudian karena untuk beberapa waktu lamanya mereka sempat berteman dalam urusan pekerjaan. Bahkan pada akhir dekade 1980-an keduanya pernah berkesempatan untuk bertandang ke rumah Rudy. Pada saat ini Totok Daryanto, yang mengawali karier di perusahaan penerbitan buku PT Tiara Wacan. Pemiliknya adalah Sitoresmi, salah seorang kerabat keraton Yogya dan merupakan istri poligami dari raksasa penyair WS Rendra. Dalam perjalanannya kemudian Totok berhasil terpilih dan duduk sebagai anggota DPR RI dari fraksi PAN. Sedangkan Denny J.A ia mengenal sejak yang bersangkutan aktif di kelompok diskusi mahasiswa dan kemudian tercatat sebagai intelektual pengusaha yang sukses. Dalam suatu kesempatan Rudy pernah duduk satu meja dengan Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Koperasi dan UKM era Orde Baru, bersama tim di bawah pimpinan Dawam Rahardjo dalam rangka kegiatan penulisan buku “Profil Usaha Kecil di Indonesia” dan “Perkembangan Usaha Kecil dalam Perekonomian Nasional”. Dan last but not least, keberuntungan paling besar adalah mendapat kesempatan untuk membaca atau memiliki berbagai buku bermutu, guna menambah dan memperluas wawasan. Dalam posisi dan aktivitasnya sebagai penanggung jawab usaha jasa penerbitan di LP3ES berbagai pengalaman menarik dan berharga telah ia dapatkan. Salah satunya adalah saat ia dipercaya untuk mengelola sebuah majalah Manajemen Pembangunan yang diterbitkan Lembaga Administrasi Negara RI. Kesempatan baik dan berharga tersebut diperoleh antara lain berkat kebijaksanaan dan kebaikan hati mendiang Maruto MD, selaku atasannya langsung sekaligus dianggap sebagai mentor dalam bidang penerbitan. Dalam kapasitas dan posisi tersebut tak jarang ia duduk satu meja bersama Dawam Rahardjo sebagai anggota tim membahas program penulisan beberapa buah judul buku, mulai dari perencanaan hingga penyusunan dan finalisasi sebuah naskah buku.
 |
Wawancara Zaerudy dan Budayawan Putu Wijaya
dalam kegiatan kerja sama penerbitan (1995) |
 |
Zaerudy di Banda Aceh (1989)dalam suatu pelaksanaan tugas di LP3ES |
 |
Zaerudy di Timika, Papua (1995)dalam kerjasama penerbitan LP3ES dan PT Balai Pustaka |
Setelah ia tak lagi bergabung di LP3ES karena faktor usia, ia mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang diberi nama CEIS (Center for Economic and Institutional Studies), bergerak di bidang penerbitan buku dan penyelenggaraan seminar, didukung beberapa teman dan Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto serta Sugeng Bahagijo dan Dr Bambang Nuroso selaku Dewan Penasihat. Melalui wadah lembaga tersebut ia dapat berkenalan dan melakukan beberapa kerja sama dengan Prof. Renald Khasali, Ph.D, Prof. Dr Bustanul Arifin, dan lain-lain. Dalam berbagai kegiatan selanjutnya ia sempat bertemu dengan Wakil Presiden Hamzah Haz dan Prof. Dr Bagir Manan selaku Ketua Mahkamah Agung untuk membahas suatu rencana kerja sama penerbitan sebuah buku. Pengalaman paling mengesankan adalah pertemuan dan kedekatan hubungannya dengan Direktur Utama Pertamina, Drs. Faisal Abda’oe, dalam rangka kegiatan penulisan naskah dan penerbitan sebuah buku kenangan untuk menyongsong ulang tahun perusahaan minyak milik negara tersebut. Baginya, penerbitan buku dengan judul “Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina” telah meninggalkan kenangan yang cukup mendalam dan kebanggan tersendiri. Karena sesungguhnya tidak banyak penerbitan buku yang mendapatkan kata pengantar dari Prof Ing. B.J Habibie selaku Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) RI serta Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat itu, yang dalam perjalanan sejarah kemudian ia didaulat untuk menggantikan presiden Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia yang ketiga.
 |
Direktur Utama PT Pertamina, Faisal Abda’oe dan Zaerudy dalam acara serah terima buku kenangan “Dinamika Kepemimpinan dalam Pertamina” |
Khutbah Jumat di Hadapan Profesor
Di penghujung tahun 1980 suatu saat ia kebagian jadwal dan mendapat giliran untuk mengisi khutbah salat Jumat yang rutin diselenggarakan di LP3ES dengan memanfaatkan ruang pertemuan. Seperti seringkali terjadi, hari itu LP3ES sedang menyelenggarakan sebuah pertemuan yang dihadiri banyak ahli. Sebagian besar di antara mereka mengikuti acara ibadah salat Jumat di LP3ES, dan salah satunya adalah Prof. M. Dawam Rahardjo. Dalam penyampaian khutbah antara lain ia membahas sekilas tentang sistematika Alquran untuk keperluan dakwah. Tak disangka-sangka, begitu acara salat Jumat bubar tiba-tiba Dawam Rahardjo berjalan tergopoh-gopoh mengejarnya seraya meminta bahan khutbah yang baru saja disampaikan. Kala itu ia memang mendapat pekerjaan sampingan untuk mengedit sebuah naskah tentang sistematika dakwah tematik berdasarkan Alquran sampai siap untuk diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Menuju Kehidupan Islami”. Naskah tersebut diterima langsung dari penulisnya, Ir Nana Rukmana D.W, seorang dosen jurusan Planologi Desa di Universitas Islam Bandung. Setelah beberapa tahun kemudian Rudy mendengar kabar bahwa pada saat itu Dawam Rahardjo tengah mengerjakan proyek penerbitan buku seri ensiklopedia Alquran. Sehingga muncul dugaan Rudy bahwa rencana penerbitan buku yang tengah ditangani agaknya dikhawatirkan akan terjadi duplikasi dengan proyek penerbitan buku ensiklopedia yang sedang dikerjakan.