PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Maret 23, 2018

Kisah Nabi Muhammad saw: Keteladanan dalam Islam







Suatu perspektif yang jarang disadari oleh kalangan umat muslim adalah bahwa tidak semua keteladanan dalam Islam bersumber dari diri pribadi Nabi Muhammad saw. Hal itu dapat disimak dan ditelisik dari kisah nabi Muhammad saw yang terserak dalam berbagai hadist. Alquran memang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia
yang sangat mulia bahkan di atas keagungan akhlak di antara manusia yang pernah ada di muka bumi.

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung

Al-Qalam 41

Sementara dalam sebuah hadist disebutkan bahwa akhlak Nabi saw itu menunjuk pada Alquran. Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah rah tentang a
khlak 
Rasulullah sawAisyah rah menjawab “Akhlak Nabi Saw adalah Alquran.” (HR. Muslim). Maksudnya, akhlak dan adab 
beliau demikian agung dan sesuai dengan Alquran, baik kepada Allah swt maupun kepada sesama makhluk.

Hanya saja, meskipun beliau diisbatkan sebagai sumber tauladan yang baik sebagaimana dipahami kebanyakan umat muslim selama ini, namun sesungguhnya terkait dengan hal tersebut dalam ayat Alquran tidak disebutkan secara spesifik dan eksplisit bahwa beliau merupakan satu-satunya suri tauladan. Pengertian tersebut dapat disimak dan dipahami dari pemakaian kata benda (isim) أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (suatu suri tauladan) tanpa awalan huruf 'alif' dan 'lam' (analogi dengan bahasa Inggris dalam struktur gramatik adalah awalan 'the' untuk kategori 'definite article') yang berarti tidak menerangkan atau tidak menunjuk benda tertentu, dalam hal ini suri tauladan.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah

Al-Ahzab 21


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beliau bukan satu-satunya, tetapi merupakan salah satu dari suri tauladan akhlak mulia. Pendapat tersebut diperkuat, baik pernyataan ayat lain dalam Alquran maupun sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa misi utama dari kenabian beliau adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (yaitu nilai-nilai akhlak yang telah ada sebelum kehadiran beliau).

انّما بعثت لأتمّم مكارمالأخلاق

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia...

Al-Mumtahinah 4

Di dalam meneladani Nabi saw itupun menurut Prof Komaruddin Hidayat seyogianya jangan meletakkan beliau di luar konteks kemanusiaan (basyariyah), karena akan menyulitkan umat dalam meneladani beliau. Sebagai manusia beliau juga merasakan sebagaimana dirasakan manusia biasa, seperti misalnya beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, beliau pergi belanja ke pasar atau berdagang, beliau pernah menderita sakit, difitnah, kalah atau menang dalam perang. Dalam kondisi kemanusiaan itulah beliau menunjukkan dan memberikan keteladanan akhlak yang mulia.

Kejanggalan dalam (pemeluk) Agama Islam



Hanya saja, dari berbagai riwayat Hadis menunjukkan bahwa nilai-nilai akhlak mulia yang diangkat rupanya tidak sepenuhnya atau semata-mata bersumber dari peri kehidupan pribadi beliau, akan tetapi cukup banyak terserak pada diri pribadi dan berasal dari perilaku orang-orang atau sahabat-sahabat sekitar dan semasa hidup beliau. Pendapat tersebut direpresentasikan oleh dua aliran arus utama ormas keagamaan di Indonesia dalam suatu kesempatan khutbah salat Jumat berikut ini:

  1. Khutbah salat Jumat di mesjid Mujahidin yang dibangun oleh ormas Muhammadiyah cabang kota Kendal pada minggu kedua Maret 2018 lalu, di mana khatib memaparkan tentang manifestasi takwa dengan mengangkat sebuah Hadis tentang seorang bernama Sya’ban. Diriwayatkan bahwa ia sangat rajin berjamaah utamanya dalam menunaikan salat lima waktu. Untuk menghindarkan diri dari sikap “riaa” ia selalu mengambil tempat di shaf paling ujung di sudut mesjid. Menyaksikan ketaatannya dalam beribadah tersebut, beberapa kali Nabi Muhammad saw pernah mengatakan bahwa Sya’bah adalah ahli sorga. Hingga pada suatu hari jamaah mesjid mengetahui bahwa Sya’ban tidak tampak hadir mengikuti salat berjamaah. Setelah beberapa hari berlalu Sya’ban tak juga tampak hadir, muncullah tanda tanda di benak para jamaah, hingga pada akhirnya perihal tersebut disampaikan kepada Nabi saw. Mendengar penuturan tersebut, pada hari lain Nabi saw pun mengajak jamaah pergi ke rumah Sya’ban untuk bersama menjenguknya. Namun tak disangka kalau rupanya perjalanan dari mesjid menuju rumah Sya’ban cukup jauh. Jaraknya memakan waktu hingga sekitar 3 jam. Dan lebih tidak disangka lagi bahwa sesampai di rumah Sya’ban rombongan Nabi saw dibuat terkejut karena ternyata Sya’ban sudah meninggal. Dari kunjungan itu pula rombongan Nabi saw baru mengetahui setiap Sya’ban semasa hidupnya hendak menunaikan salat Subuh, pada pukul dua malam ia sudah berangkat dari rumahnya.
    Sampai di sini riwayat yang diuraikan sang khatib terpaksa harus berhenti dulu, karena muncul pertanyaan kritis berikut. Jika untuk melaksanakan satu dari lima waktu salat wajib saja dibutuhkan waktu selama enam jam pergi pulang dari rumah ke mesjid. Sementara dalam khutbah disebutkan bahwa Sya’ban menunaikan salat berjamaah lima waktu dalam setiap hari, maka sepanjang hari dan setiap hari ia harus berada di mesjid sepanjang hari. Itupun secara matematis tidak cukup, karena waktu yang dibutuhkan 30 jam, sementara dalam sehari semalam hanya memiliki waktu 24 jam. Belum lagi muncul pertanyaan lain, kapan ia mencari nafkah dan lain-lain? Sebelum akhirnya muncul dugaan, jangan-jangan sang khatib kurang cermat dalam mengutip dan memahami Hadist, sehingga tanpa disadari terkesan seperti 'mendramatisir' dalam menguraikannya.
  2. Khutbah salat Jumat di mesjid An-Nur yang didirikan umat muslim tradisionil di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan pada minggu terakhir Januari 2018, seorang khatib muda, konon lulusan pesantren Yaman, memaparkan tentang manifestasi takwa juga mengutip sebuah Hadist (tentang sahabat yang dinyatakan oleh Nabi saw sebagai ahli sorga, sebagaimana juga riwayat seorang perempuan mantan pelacur yang memberi minum seekor anjing yang kehausan dan terjebak di dalam sumur tua). Dalam uraian khutbahnya diceritakan tentang seseorang yang dinyatakan sebagai ahli sorga oleh Nabi saw karena kualitas ketakwaannya, padahal menurut observasi banyak orang, ibadahnya biasa-biasa saja. Kondisi tersebut rupanya telah membuat salah seorang dari jamaah penasaran dan ingin mengetahui lebih dalam apa sesungguhnya yang dilakukan sehingga ia mendapat syafaat dari Nabi saw sebagai ahli sorga. Untuk membunuh rasa penasaran dan rasa ingin tahunya ia pun meminta izin untuk dapat bermalam di rumah sahabat tersebut. Benar saja, setelah mendapat izin menginap, semalaman itu sengaja ia tidak tidur untuk mengamati apa yang dilakukan si pulan. Ia tidak mendapati si pulan bangun pertiga malam untuk menunaikan salat malam atau tahajud dan semacamnya, seperti semula ia bayangkan. Hingga esok harinya ia masih belum juga menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Maka ia pun terpaksa menanyakan langsung kepada si pulan, apa gerangan yang dilakukan. Si pulan menjelaskan antara lain bahwa ia tidak suka berbohong dan mengurangi timbangan dalam berdagang, ia tidak suka mendengki dan iri hati, dan lain sebagainya.
    Hingga di sini pun cerita berhenti, sederet pertanyaan pun muncul. Kalau memang orang yang penasaran tersebut akhirnya gagal menelisik dan terpaksa harus bertanya langsung kepada si pulan, mengapa harus bermalam segala? Dan kalau kemudian menurut sang khatib si pulan menjawab dan menjelaskan kepada tamunya tentang dirinya yang dinyatakan oleh Rasulullah saw sebagai ahli sorga, pertanyaannya adalah bagaimana dan dari mana si pulan mengetahui hubungan jawaban yang diberikan dengan statusnya sebagai ahli sorga? Sungguh sulit diterima akal. Lagi-lagi, mungkin kejanggalan tersebut karena pengutipan Hadis yang kurang akurat atau “improvisasi” sang khotib saja? Pendapat lain menyebutkan bahwa selama menginap orang tersebut tidak melihat si pulan bangun tengah malam untuk menunaikan salat malam, salat tahajud atau berzikir atau ibadah ritual lainnya. Hanya saja, pada keesokan harinya ia menyaksikan si pulan yang tinggal berdua saja bersama ibunya yang sudah lansia dan lemah itu menyiapkan minuman susu untuk sarapan. Setelah siap, ia belum mau meminum susu sebelum ibunya minum terlebih dahulu. Hanya itu kegiatan si pulan yang mungkin bisa dianggap luar biasa.
  3. Selain dua Hadis tersebut terdapat berbagai Hadis yang meriwayatkan tentang perilaku dan akhlak mulia dari orang-orang yang mendapat syafaat dari Nabi saw dan dinyatakan sebagai ahli sorga. Di antaranya adalah seorang (sebagian riwayat menyebut mantan) pelacur yang memberi air minum seekor anjing yang kehausan karena terperosok ke dalam sebuah sumur tua. Hadis lain meriwayatkan tentang seorang perempuan yang mengidap gangguan epilepsi atau ayan yang diberi kesempatan oleh Nabi saw untuk mendoakan kepada Allah swt satu saja permohonan yang pasti akan dikabulkan. Dan ada pula sebuah hadist cukup populer tentang seorang sahabat yang mendengar Nabi saw sepulang dari perang besar Badar bersabda: "Kita pulang dari perang besar menuju perang yang lebih besar". Mendengar penuturan Nabi saw tersebut sahabat bertanya: "Perang apa itu, wahai Nabi?". Nabi saw menjawab:"Perang melawan diri (kita) sendiri. Riwayat hadist tersebut banyak atau seringkali dikutip dan dijadikan rujukan mengenai pengendalian diri dan manajemen kalbu. Padahal dari ilmu MUSTHALAH HADITS diketahui bahwa hadist tersebut termasuk kategori lemah. Dengan demikian, boleh jadi perkataan tersebut bukan berasal dari sabda Nabi saw, tetapi hanya 'karangan' ulama saja. sehingga itu artinya, penganut dan pengamal ajaran tersebut yang semula mengira disertai semangat dan keyakinan untuk mengikuti dan meneladani Nabi saw, meskipun inti kandungan ajarannya baik, ternyata kemudian nilainya hanya sebatas mengikuti ajaran seorang ulama pembuat hadist tersebut. Terlepas dari inti persoalan, sang ulama pembuat sekaligus pemalsu hadist tersebut sesungguhnya telah melakukan perbuatan tercela karena meskipun mungkin tujuannya baik tetapi cara atau jalan yang ditempuh salah.
  4. Contoh lain di antara banyak contoh adalah hadist tentang "Nur Muhahammad". Dalam hadist yang ternyata kemudian diketahui merupakan hadist palsu tersebut diriwayatkan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta dan seisinya ini terlebih dahulu diciptakan Muhammad dari bahan nur atau cahaya (pancaran Tuhan). Setelah ditelaah dan diteliti secara lebih mendalam maksud dari dibuat dan dipublikasikannya hadist palsu tersebut adalah berlatar belakang dan bermotif politik. Gaung dan dampaknya jelas lebih strategis, luas dan berjangka panjang, dibandingkan misalnya dengan hadist tentang "perang Badar dan perang melawan diri sendiri" tersebut di atas.
  5. Terakhir mungkin dapat disebutkan tentang sifat dan sikap sabar serta maaf dari Nabi saw yang seringkali digambarkan sebagai ilustrasi dalam berbagai peristiwa yang populer, mulai dari cacian, hinaan, serangan fisik dengan lemparan kotoran onta, hingga ancaman pembunuhan. Namun jika dicoba berpikir secara objek dan manusiawi, penderitaan yang dialami Nelson Mandela sebagai seorang pemimpin kemerdekaan rakyat Afrika Selatan dari kekejaman penjajah bangsa Ingrris yang menerapkan politik aparheid sesungguhnya jauh lebih berat. Dipenjarakan terus menerus selama 25 tahun dan diperlakukan secara tidak manusiawi bahkan lebih tepat dengan gizi yang sangat buruk sebagai binatang, kiranya sudah cukup untuk memberikan gambaran penderitaan luar biasa yang sengaja dibuat agar Nelson Mandela mati secara perlahan seperti Soeharto memperlakukan presiden pendahulunya, Soekarno . Namun jauh lebih dari itu satu hal yang akhirnya dikagumi dunia adalah ketika dia keluar dari penjara dan berhasil mengantarkan rakyatnya meraih kemerdekaan negerinya, ia dan rakyatnya memaafkan dan kemudian dapat hidup rukun berdampingan di satu negeri dengan mantan penjajahnya. Sementara Nabi saw kendatipun telah memaafkan kaum kafir Quraisy yang lama memusuhi dan menganiaya beliau (secara sporadis), namun kemudian beliau sebagai kaum pendatang (muhajirin) memilih hidup dan tinggal (menyingkir) untuk membangun peradaban muslim bersama penolongnya kaum anshor di wilayah kota Medinah.

Demikianlah beberapa contoh salah kaprah yang beredar dan dipercaya serta diyakini oleh kebanyakan kalangan umat muslim namun sejauh ini dipercaya serta diyakini sebagai senuah kebenaran dan kebajikan yang dikira bersumber dari hadist yang jumlahnya lebih dari 100 ribu itu. Suatu jumlah yang bagi orang awam hampir tidak mungkin untuk dapat meneliti dan mengetahui mana hadist yang asli dan mana yang palsu. Oleh karenanya, sebagai muslim yang pedoman utamanya adalah Alquran dan As-Sunnah dalam perilaku hidupnya, guna meminimalisasi risiko salah kaprah, maka memang seyogianya mengikuti metode yang dapat diterima nalar, yakni menempatkan Alquran sebagai petunjuk (QS 2:2) dan Hadist sebagai sarana atau alat untuk memahaminya.

Simak Juga:




Posting Komentar