Korban perang ISIS di Timur Tengah
Mengapa saya (yang harus) tertimpa nasib malang?
Mengapa saya (yang harus) terkena dampak Covid-19?
Dalam kondisi pandemi covid-19 sekarang ini, orang yang terdampak langsung, dan mengalami penderitaan yang berat, seringkali bertanya “Kenapa harus saya?”. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan eksistensial dan esensial yang sudah muncul dalam teks-teks keagamaan sejak ribuan tahun lalu. Salah seorang pemikir kontemporer yang menggali jawaban atas pertanyaan semacam itu adalah Harold Kushner, seorang teolog dan rabbi Yahudi terkemuka, dalam bukunya “When Bad Thing Happen to Good People”. Sementara sejauh ini belum ada dan belum muncul ulama dari kalangan umat muslim yang secara khusus meneliti dan mendalami untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Buku tersebut bukan buku yang terbit di masa pandemi covid-19, tapi merupakan sebuah buku klasik tentang teologi penderitaan yang terbit awal tahun 1981 dan peredarannya mendunia, sehingga menjadi buku yang terkenal dan terus dibaca sampai hari ini. Telaahnya univeral dan mampu memberikan inspirasi serta kekuatan rohani secara nalar sehat dalam menghadapi kehidupan dunia yang memang tidak mudah dipahami ini.
Buku ini merefleksikan isu-isu teologis-filosofis secara populer, mengenai pertanyaan spesifik: “Mengapa orang baik-baik menderita?” dan sebaliknya "orang jahat hidupnya malah enak dan penuh suka cita". Penderitaan orang-orang yang baik ini bukan hanya merupakan masalah bagi dirinya dan keluarga, tetapi juga bisa merupakan masalah bagi orang yang merindukan teriptanya sebuah dunia yang adil, yang layak untuk dihuni. Masalah penderitaan ini tidak hanya fisik, sosial, ekonomi, tapi bisa sampai pada persoalan teologis-filosofis tentang keadilan Tuhan, dengan kasih-sayang-Nya, bahkan juga menyangkut perdebatan mengenai keberadaan Tuhan itu sendiri. Banyak orang yang menghadapi penderitaan yang berat, memilih untuk menjadi ateis setelah meragukan adanya kebaikan dan kasih sayang Tuhan.
Menurut Kushner, orang beragama pasti dan selalu mencita-citakan seraya meyakini kalau hidup ini penuh dengan keadilan. Tuhan memberi kepada umat-Nya apa saja yang memang diperlukan. Tetapi dalam kenyataan seringkali kita melihat adanya orang-orang yang kecewa dan putus asa karena harapannya tidak tercapai dan terwujud, atau doanya tak kunjung dipenuhi-Nya. Ada orang-orang yang meninggal, padahal semestinya tidak meninggal, ada yang sakit, yang menderita secara sosial-ekonomi, dan seterusnya. Ada orang yang bangkrut secara ekonomi, ada orang yang kehilangan pekerjaan, dan seterusnya. Orang beragama biasanya diajarkan mengenai adanya Kebaikan Ilahi. Tetapi setiap hari kita membaca berita, atau keadaan yang kelihatannya menggugat Kebaikan Ilahi itu, seperti kondisi akibat pandemi covid-19 yang melanda di seluruh dunia. Atau mati dan hidup sengsara menjadi korban perang. Dan terlalu banyak kejadian atau peristiwa yang bisa menggugat ide-ide keagamaan mengenai Kebaikan Tuhan. Dalam bukunya Kushner memberikan uraian teologis dalam bahasa yang sederhana, supaya kita bisa tetap mempertahankan iman kita, dan meyakinkan diri kita sendiri, keluarga kita, teman-teman, dan orang lain, bahwa dunia ini baik, dan apapun yang terjadi berasal dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
"Mengapa orang baik-baik menderita?" sesungguhnya merupakan pertanyaan yang wajar, bukan untuk meragukan niat para ahli agama atau orang-orang suci yang telah berusaha menjelaskannya seperti yang dipahami da dialami. Tetapi sekadar ingin tahu mengapa banyak orang biasa, yang kita anggap orang baik-baik, harus menanggung penderitaan, yang kadang-kadang berlebihan, dan hampir-hampir tak tertanggungkan. Jika dunia ini adil apakah memang mereka harus menanggung beban yang berat tersebut? Apalagi mereka juga bukan orang yang jahat. Justru ironisnya, ada orang yang jahat atau buruk perilakunya terhadap sesama, tetapi hidupnya kelihatan penuh kemakmuran, kesenangan bahkan “kebahagiaan”. Ketika seseorang mendapatkan kemalangan yang tidak bisa mereka mengerti, menurut Kushner selalu membuat mereka kembali kepada kepercayaan dasar tentang Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Bijaksana sekaligus. Dan tentang dunia yang tertib dan dapat dipahami, mereka kembali kepada kepercayaan dasar teisme sambil kemudian mempersalahkan diri mereka sendiri karena telah berbuat dosa. Mungkin perasaan mereka marah kepada Tuhan, misalnya kenapa saya mengalami penderitaan akibat dari sesuatu di luar dirinya. Tetapi ekspresi kemarahan seperti itu hanya akan membuat mereka lebih khawatir, kalau Allah akan menimpakan kemalangan yang lebih oedih dan dahsyat. Karena itu ia memilih bersikap untuk mempersalahkan dirinya sendiri daripada mempersalahkan Tuhan. Harold Kushner menyebut “Hidup telah melukai mereka, sedangkan agama tidak mampu memberikan penghiburan. Agama malah membuat mereka “lebih bersusah dan bersedih hati atau jiwanya tertekan”. Ia juga menambahkan, “Gagasan bahwa Tuhan memberi orang-orang, apa yang pantas mereka terima, misalnya kelakuan-kelakuan buruk kita mengakibatkan kemalangan kita”, menurut Kushner merupakan pemecahan yang indah dan menarik atas rahasia kemalangan pada berbagai tingkatan, namun ia memiliki sejumlah keterbatasan yang serius. Agama mengajarkan orang agar mempersalahkan diri mereka sendiri. Ia menciptakan rasa bersalah kendatipun tidak ada alasan untuk merasa bersalah. Kushner menguraikan kebiasaan kalangan orang beragama dalam menafsirkan tentang penderitaan, menurutnya seringkali tidak selalu tepat. Dalam membangun teologi penderitaan, misalnya orang beragama sering menganggap penderitaan sebagai “punya maksud pendidikan” atau penderitaan sebagai “ujian atau cobaan” dari Tuhan. Padahal kata Kushner sering kali penderitaan itu menimpa seseorang bisa jadi “tanpa alasan” atau tanpa sebab. Dan yang sering dilupakan oleh orang beragama (seperti kita lihat dalam wacana agama akibat pandem covid-19), tentang peranan hukum alam sebagai “penyebab”).
Menurut Kushner agama mengajarkan “bagaimana menjadi manusia” (yang bebas) dan “Apa arti menjadi manusia?” (yang bebas) dalam situasi penderitaan. Agama menurut Kushner mengajarkan manusia berbeda dari binatang, justru karena dengan kebebasannya itu manusia bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Tapi menggunakan kebebasan memerlukan cost (biaya) atau mempunyai konsekuensi, yaitu kesalahan dalam penggunaan kebebasan itu, atau malah penyalahgunaan dalam penggunaan kebebasan. Binatang tidak mengerti persoalan-persoalan moral, dan kebebasan antara baik dan buruk. Karena itu panggilan menjadi manusia memang berarti “menjadi lebih manusiawi”. Agama, kata Kushner, mengajarkan agar manusia benar-benar bebas, dan menjadi sungguh manusiawi. Tuhan merelakan kita untuk bebas memilih antara yang baik dan buruk. Kalau manusia tidak bebas memilih yang buruk, maka sebenarnya manusia juga tidak bebas memilih yang baik. Inilah kebebasan moral yang sangat ditekankan pada agama-agama monoteistik, Yahudi, Kristiani dan Islam.
Sadar mengenai harga kebebasan ini, membawa kesadaran bahwa penderitaan bisa bertambah dengan “menyiksa diri”. Kushner mengatakan bahwa “Tidak setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini adalah akibat dari pada ulah manusia.” Menarik untuk ditelaah dan dicermati misalnya, tentang posisi Amerika Serikat sebagai negara pengekspor senjata terbesar di dunia di antara negara-negara adikuasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk memasarkan industri persenjataan militer tersebut kerapkali negeri paman Sam itu terlibat atau melibatkan diri dalam berbagai konflik, yang tak jarang justru diciptakan oleh Amerika Serikat, yang berujung perang di suatu negara. Dan setelah berkecamuk perang saudara dan saling membunuh dan menyengsarakan antar sesama rakyat, seperti di Libia dan kawasan Timur Tengah, tinggalah Amerika "berlenggang kangkung" menguasai ladang minyaknya yang melimpah. Namun di luar itu sering kali ada juga peristiwa yang terjadi tanpa ada alasan. Kearifan untuk bisa memberi ruang “misteri” pada sebab penderitaan kadang kala penting juga. Buku ini jauh lebih menarik dari uraian yang abstrak di atas, yang dapat memberi pencerahan mengenai bagaimana kita bisa mengerti tentang makna penderitaan secara mendalam melebihi wacana-wacana yang mungkin pernah kita baca, khususnya di media sosial. Dan begitu banyak orang telah tercerahkan dengan pikiran-pikiran Kushner walaupun penulisnya seorang Rabbi Yahudi, banyak orang non-Yahudi yang telah berterima kasih pada Kushner, karena kecerahan pemikiran dan pencerahannya.
Disadur dari resensi buku tulisan Budhi-Munawar Rahman, dosen STIF Driyarkara.