Pelukis tingkat dewa
Prolog
Ayahku memang tak seberuntung kedua anaknya, aku Yull Eko Putra dan adikku Awan Malintang Novandiari atau seperti kebanyakan anak-anak lain. Sejak usia empat tahun ia telah menjadi anak yatim piatu, mirip Nabi Muhammad saw, setelah ibunya dan sekitar satu tahun kemudian menyusul ayahnya meninggal dunia. Namun di balik itu, pengalaman hidup yang dirasakan paling berharga dan tak terlupakan
adalah ketika ia mendapat kesempatan untuk hidup di enam zaman dengan segala dinamikanya. Ia dilahirkan di masa penjajahan Jepang, persisnya pada Oktober 1943, melewati masa kecil di zaman revolusi, menghabiskan masa kanak-kanak di zaman Republik Indonesia Serikat (RIS), dibesarkan di era Orde Lama, dewasa di era Orde Baru, dan menghabiskan hari-hari tua pada era Reformasi. Sebelum tiba saatnya ia dipanggil untuk menghadap Yang Maha Kuasa aku mendapat amanah dan tugas untuk mendokumentasikan seluruh catatan pengalaman dan kenangan sepanjang masa hayatnya dalam situs blog pribadi ini.
Penulisan buku roman sejarah ini bertolak dari dan berpijak sedikitnya pada lima landasan pemikiran sebagai berikut.
- Mengikuti sebuah ajaran profetik yang mengatakan bahwa mati dan hidup diciptakan sebagai batu ujian dan cobaan untuk menguji siapa di antara manusia yang paling baik amal perbuatan mereka. Artinya, siapapun yang mengalami atau merasakan hidup dan mati dapat dipastikan akan menghadapi suatu ujian sesuai dengan kodrat masing-masing. Analogi di dunia pendidikan, ujian merupakan sebuah tahapan dan batu loncatan bagi seorang peserta didik untuk naik menuju tingkatan atau derajat yang lebih tinggi di bidang keilmuan.
- Salah satu ciri pendusta agama adalah menelantarkan anak yatim. Keberadaan dan masalah anak yatim memiliki kedudukan dan mendapat perhatian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat yang berlandaskan ideologi Pancasila. Semangat untuk melindungi, mengurus dan menjamin kesejahteraan hidup anak yatim tercermin dan tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945. Sementara itu tidak banyak dokumen dan atau bahan tulisan yang menceritakan pengalaman nyata dan mengungkapkan suasana batin atau kejiwaan anak yatim (piatu) dalam perspektif keluarga dan kemasyarakatan, dengan nara sumber langsung dari penyandang predikat tersebut. Lebih dari itu, juga digambarkan peran dan pengaruh keberadaan dan bimbingan orang tua khususnya ibu dalam mengawal pertumbuhan serta perkembangan anak untuk menjadi insan yang mandiri.
- Sejarah atau riwayat tentang pergulatan hidup untuk meraih cita-cita luhur dan mendapat hakikat serta martabat kemanusiaan sesungguhnya laksana cermin yang polos dan jujur bagi mereka yang ingin mencapai sebuah kearifan. Tak kurang dari sang proklamator Bung Karno sendiri mengatakan pentingnya peran sejarah dengan pesan monumentalnya “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah” (JASMERAH). Ia pernah belajar dan mendalami agama Islam, antara lain berguru kepada HOS. Tjokroaminoto, sehingga ia mengajak agar setiap perjuangan harus dijiwai dengan “api Islam yang menyala-nyala” yang diilhami oleh spirit agama. Alquran sebagai kitab suci bagi pemeluknya yang sebagian besar kandungan isinya merupakan riwayat dan sejarah, memang menyiratkan dan mengisyaratkan tentang perlunya pelajaran sejarah bagi kehidupan manusia, sebagaimana tertuang dalam salah satu pesannya (QS 59:18): “Hendaklah kalian (sekali-sekali) menengok ke belakang (masa lalu) untuk (menyongsong) hari esok (masa depan yang lebih baik)”.
- Orang bijak berkata bahwa kebahagiaan sejati dapat diraih apabila memiliki tiga bekal, yakni agama, ilmu (pengetahuan), dan seni. Makna dasar dari seni adalah keindahan. Seni pada dasarnya merupakan unsur ilahian, karena sesungguhnya Tuhan mencintai keindahan. Hanya berbekal agama dan ilmu (pengetahuan) saja tanpa seni, kehidupan seperti kurang lengkap serta terasa kering dan gersang. Seni dapat memberikan keseimbangan jiwa dan batin, sehingga kehidupan tidak dihadapkan hanya pada pilihan hitam putih apalagi bersifat ekstrem.
- Lingkungan hidup dan peradaban, tak ayal, merupakan bagian tak terpisahkan bagi hidup dan kehidupan umat manusia. Oleh karenanya, pelestarian lingkungan adalah sebuah keniscayaan bagi eksistensi serta kelangsungan hidup dan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pesatnya kegiatan pembangunan fisik terutama di satu sisi menjanjikan serta memberikan kemudahan dan kenyamanan hidup. Namun di sisi lain, perubahan atau tergusurnya jejak peradaban masa lalu suatu saat dapat dirasakan sebagai sebuah kehilangan.
Buku ini diterbitkan dan disajikan dalam bentuk dwilogi terdiri atas dua judul. Buku pertama “Sendiri Menguak Takdir” --karena pertimbangan teknis SEO (Search Engine Optimation), naskah ini ditampilkan dengan judul "Tol Gringsing dan Sejarah Desa Lebo"-- adalah merupakan roman sejarah. Roman itu sendiri merupakan aksi dan implementasi sebuah mimpi tentang hidup dan kehidupan yang bertolak dari pengalaman empiris seorang anak manusia dengan lingkungan dan tokoh-tokoh atau figur-figur di sekelilingnya dengan latar belakang sejarah. Dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantangan hidup, sesungguhnya manusia bertumpu dalam dimensi saling tarik menarik antara kekuatan dan kelemahan manusia atau dalam terminologi agama disebut sebagai pergumulan antara usaha dan takdir sebagai batu ujian untuk meningkatkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Buku kedua “Menguak Rahasia Doa” merupakan hasil pemikiran dan perenungan panjang yang bertolak dari dasar yang sama, yakni pengalaman empiris. Keduanya merupakan satu kesatuan tema yang tak terpisahkan. Dengan segala kelebihan dan kekurangan penerbitan buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan perenungan, kiranya dapat memperkaya khazanah bacaan dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kesempatan ini aku ingin menyampaikan rasa terima kasih ayahku kepada orang-orang dekat, khususnya kakak sambungku Sugeng Bahagijo yang telah memberikan semangat dan dorongan serta dukungan ataupun bahan-bahan bacaan yang amat bermanfaat dalam proses penulisan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman, sanak keluarga dan handai taulan yang dengan sungguh-sungguh serta ikhlas telah turut memberikan sumbangsih bagi kelancaran penerbitan buku ini. Terakhir tak kalah penting disampaikan bahwa penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai bentuk kecintaan tulus sekaligus dokumentasi dan cinderamata yang cukup bermakna pada desa Lebo sebagai tanah tumpah darah dan kampung halaman ayahku dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jakarta, 17 Oktober 2017

Yull Eko Putra
Simak:
Profil
Daftar Isi
Prolog
Jejak Sang Pejuang
Nama Desa Lebo
Mantan Prajurit Pangeran Diponegoro
Cikal Baka Desa Lebo
Rumpun Keluarga Lebo
Membentuk Karakter
Menjadi Anak Yatim Piatu
Menatap Alam, Mengenal Tuhan
Warisan Nilai Luhur
Pengalaman dan Pendalaman Kalbu
Hidup Penuh Warna
Di Tengah Kehangatan Keluarga
Misteri dalam Horor
Dalam Dekapan Sabda Alam
Hiburan Rakyat Bernuansa Magis
Dikejar Hantu Pocong
Mendidik Anak Tempo Doeloe
Hidup Dalam Pergolakan
Teror Pemberontakan Darul Islam (DI)
Teror Partai Komunis Indonesia (PKI)
Krisis Politik dan Ekonomi
Prahara Kehidupan
- Ujian Hidup Pertama
- Ujian hidup Kedua
- Ujian Hidup Ketiga
Mengasah Intelektualitas
Tak Kenal Kesah dan Menyerah
Meraih Asa dengan Beasiswa
Membayar Hutang Budi
Koresponden di Tengah Propaganda AS dan US
Wisata Belajar Kaya Nuansa
Memupuk Jiwa Toleransi dan Solider
Bersama Aswab Mahasin Berburu Ilmu
Berangkat Menjadi Seorang Birokrat
Bergabung HMI, Mendukung Demokrasi
Mitos Foto Bertiga
Akhlak Mulia Ideologi Dunia
Korban Perundungan
Jual Tanah untuk Kuliah
Bagai Layang-layang Putus
Di Persimpangan Jalan
Kembali Ke
Khittah
Khutbah Jumat di Hadapan Profesor
Keajaiban Hidup
Meniti Garis Takdir
Epilog
Menimba Kearifan Hidup
Jejak Sang Pejuang
Nama Desa Lebo
Semasa kecil ayahku, Zaerudy, selanjutnya disingkat Rudy, sempat berpikir dan mengira kalau desa Lebo tanah tempat kelahirannya, atau seperti juga desa-desa lain, merupakan pemberian alam (given) sejak dahulu kala. Bahkan hingga usia menginjak remaja masih juga belum terbayang dalam benaknya kalau sebuah desa berdiri karena kerja manusia. Sehingga ia baru tersadar kemudian kalau desa Lebo ternyata baru berumur sekitar satu abad terhitung saat ia dalam usia balita. Riwayat serupa juga terjadi tanah perdikan Tegalsari, Ponorogo, yang konon merupakan cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Modern Gontor berkat peran seorang pendakwah dan ahli mengobati. Di zaman modern pembangunan kawasan industri ataupun sebuah kota hunian modern, bahkan pemindahan ibu kota negara bukan lagi merupakan hal yang mustahil dan tak terbayangkan. Lebo adalah nama sebuah desa di antara desa-desa lain dengan hamparan sawah yang cukup luas. Secara geografis kawasan tersebut merupakan daerah pantai utara, dan dalam struktur pemerintahan termasuk wilayah kecamatan
Gringsing kabupaten Batang, Jawa Tengah (di masa pemerintahan presiden Jokowi telah dibangun sebuah jembatan baru kali Kutho dan jalan tol trans Jawa melintasi wilayah ini). Semenjak generasi pendahulu hingga generasi prakemerdekaan Indonesia, tak seorang pun mengetahui atau peduli tentang cerita di balik pemberian nama Lebo. Beberapa orang tua menceritakan bahwa Lebo berasal dari penggalan kata “kleleb” (tenggelam, Jawa) karena kawasan tersebut dahulunya merupakan tanah rawa-rawa sebagai bagian dari kawasan
Alas Roban (“alas” berarti hutan, Jawa). Hingga dekade 1950-an desa Lebo dipandang sebagai kawasan terpandang karena sebagian besar penghuninya merupakan keturunan sedarah dan para keluarga ahli waris pendiri desa Lebo. Berbicara mengenai kegiatan penulisan sejarah,
Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Selarah Universitas Gajah Mada, dalam sebuah bukunya “Pengantar Ilmu Sejarah” mendefinisikan bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Dalam paragraf lain menambahkan bahwa sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang tertentu, satu-satunya, dan terinci, selain juga memiliki makna sosial. Dalam uraian selanjutnya disebutkan bahwa membangun kembali masa lalu itu bukan semata untuk kepentingan masa lalu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masa depan. Sebab bila tidak demikian, maka upaya tersebut hanya dikategorikan serta semata dimaknai sebagai antikuarianisme (paham tentang koleksi benda kuno) dan bukan sejarah. Masa lalu yang direkonstruksi itu pun bukan mengenai waktu yang jauh. Dalam paparan lain sang guru besar juga menerangkan bahwa sejarah ialah ilmu tentang waktu, di samping yang pasti adalah ilmu tentang manusia. Menurutnya, dalam suatu waktu terjadi empat hal atau peristiwa, yakni (1) perkembangan, (2) kesinambungan, (3) pengulangan, dan (4) perubahan. Negara Indonesia yang hingga kini masih dikenal sebagai negara agraris, yang dahulu pernah juga dikenal sebagai negara maritim, demikian pula warga desa Lebo mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Sekalipun secara geografis desa Lebo dengan luas sekitar 40 hektar terletak lebih kurang hanya tiga kilometer dari jalan raya
Daendeles dan lintas utama penghubung dua kota besar Jakata-Surabaya di pulau Jawa, namun hingga dekade 1950 masyarakat desa Lebo dan desa-desa di sekitarnya, seperti Karanganyar, Jendogo, Krengseng, Krajan, dan Seklayu, boleh dikatakan tak begitu terpengaruh oleh budaya atau kehidupan masyarakat di luar lingkungan desa mereka. Hal tersebut tak lain karena kehidupan mereka pada saat itu boleh dikatakan cukup tenteram dan damai dalam pelukan sabda alam yang ramah.
Mantan Prajurit Pangeran Diponegoro
Peristiwa Perang Diponegoro atau dikenal juga sebagai Perang Jawa yang berkecamuk pada tahun 1825-1830 merupakan tonggak sejarah sekaligus menjadi titik awal riwayat berdirinya desa Lebo. Seperti tercatat dalam sejarah, perang tersebut berakhir dengan ditangkap dan dibuangnya
Pangeran Diponegoro ke Makassar hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di sana. Tak hanya itu, selama perang berkobar konon telah menelan korban tak kurang dari dua ratus ribu prajurit tewas. Sehingga hal itu pulalah sesungguhnya yang mendorong Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menyerahkan diri demi menghindari korban jatuh lebih banyak lagi. Sedangkan sisanya yang selamat pun bubar tercerai-berai. Kemudian mereka memilih untuk mengungsi dan mengamankan diri dari kejaran penguasa penjajah Belanda. Sebagian besar di antara mereka pergi menyingkir ke arah kota Wonosobo. Seiring waktu berlalu mereka kemudian bermukim dan untuk menyambung hidup mereka bercocok tanam sebagai petani di sebuah kawasan pegunungan Dieng, tak jauh dari kota Wonosobo. Sungguhpun demikian sebagai mantan prajurit mereka tidak pernah kehilangan semangat juang dan jiwa patriot yang tak kenal menyerah apalagi bertekuk lutut di bawah telapak kaki kaum penjajah. Tak diketahui secara jelas lika-liku sepak terjangnya, tetapi yang jelas di saat yang tepat salah seorang di antara mereka mengambil sebuah langkah terobosan yang boleh dibilang cukup bersejarah. Hanya satu hal yang diketahui secara pasti bahwa ia mengawali rencana dan pikiran besarnya dengan melamar pekerjaan sebagai juru atau mantri pengairan di sebuah perusahaan “onderneming” (perkebunan) milik Belanda di Siluwok Sawangan, sebuah kawasan perbukitan dari Alas Roban yang terkenal angker itu. Mantri pengairan atau saat itu disebut “penatus” yang bertanggung jawab dan bertugas untuk mengatur serta mengawasi irigasi untuk keperluan perkebunan coklat, karet dan kapas. Di kalangan keluarga dan masyarakat kemudian ia lebih dikenal dengan nama panggilan “Mbah Penatus”, diambil sesuai dengan nama jabatannya.
Cikal Bakal Desa Lebo
Berbeda dengan kawan-kawan seperjuangan, berkat semangat juang dan jiwa kepemimpinannya, ia dapat mengambil hikmah dari kedekatan hubungan dengan “sinder” (setingkat General Manager) perkebunan berkebangsaan Belanda dengan melobi untuk mengajukan sebuah proposal. Demikianlah, ia berhasil meyakinkan sang “sinder” sehingga mendapatkan izin (konsesi) untuk membuka hutan belukar (“bubak alas”, Jawa) dengan perjanjian semacam bagi hasil, agar lebih dapat bermanfaat. Secara topografis kawasan tersebut dinilai cukup subur, karena berdekatan dengan aliran sungai Kali Kutho dengan lebar sekitar 100 meter yang bersumber mata air dari Gunung Rogojembangan di pegunungan Dieng, sehingga dapat menjadi sumber kehidupan dan penghidupan yang potensial bagi penduduk di sekitarnya. Dengan mengerahkan segala daya upaya dan tenaga ia memulai sebuah proyek cukup ambisius tersebut. Tak diketahui berapa lama persisnya waktu dihabiskan, namun akhirnya “bubak alas” tersebut tuntas dikerjakan. Untuk jerih payahnya konon ia mendapatkan imbalan seluas lebih kurang 400 hektar, sebagian dari hutan yang sudah dibuka tersebut. Seperti terjadi di beberapa wilayah lain, kawasan tersebut diberi status sebagai tanah
perdikan.
Menurut sejarah tanah perdikan merupakan sebuah daerah otonom yang dibebaskan dari segala kewajiban membayar pajak. Seiring dengan berjalannya waktu kawasan tersebut kemudian berubah dan berkembang menjadi lahan persawahan, tegal dan desa permukiman. Kerja besar tersebut sesuai dengan porsinya kemudian tercatat sebagai tonggak dan cikal bakal berdirinya sebuah desa bernama Lebo sekaligus menandai lahirnya sebuah rumpun keluarga Lebo. Bagi Mbah Penatus sendiri keberhasilan tersebut bukanlah ujung atau akhir dari sebuah usaha atau perjuangan, melainkan justru merupakan titik awal dari sebuah perjalanan hidup yang lebih panjang untuk meraih harapan dan cita-cita hidup yang sesungguhnya. Setidaknya, prestasi tersebut merupakan manifestasi jiwa pelopor dan kejuangannya dalam menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk kemanusiaan sebagai sebuah nilai yang dapat diwariskan kepada generasi penerus. Harapan tersebut tampaknya tidak sia-sia. Margono, salah seorang cucu generasi keempat, bergabung dalam pasukan
Pembela Tanah Air (Peta) dan terlibat dalam sebuah pertempuran bersejarah di Jerakah pada zaman agresi Belanda. Ia gugur dalam usia masih muda belia (19 tahun) dan dimakamkan di kuburan umum di desa Lebo sebagai kesuma bangsa. Pertempuran tersebut merupakan sebuah aksi para pemuda untuk menghadang pasukan Belanda yang hendak masuk kembali ke Tanah Air dengan mendompleng pasukan perdamaian PBB di bawah pimpinan Inggris. Untuk mengenang dan menghargai jasa para pahlawan yang gugur dalam peristiwa tersebut maka kemudian didirikan sebuah tugu peringatan
Tugu Muda yang terletak di simpang lima Semarang.
Hal ini sekilas mengingatkan kota Semarang
tempo doeloe, sekitar tahun 1953 ketika kakaknya, Yasak, tinggal bersama si Mu, adik sepupu perempuan, dan suaminya dengan mengontrak sebuah rumah sederhana di desa Karangayu, dalam rangka mengikuti kursus teknik otomotif dan elektronika. Saat itu Semarang bagian barat keramaian kotanya di malam hari masih terasa karena ada pasar Bulu yang terkenal selain pasar Yaik di sebelah barat pasar Johar. Namun jika berjalan ke arah barat sekitar 1 km akan bertemu sebuah kali Banjir Kanal yang perbatasan kota Semarang bagian barat. Aneh dan lucunya, begitu melewati Banjir Kanal keadaan mendadak sepi dan gelap karena minimnya penerangan jalan hingga ke rumah kontrakan yang jaraknya hanya sekitar 2 km. Pada zaman itu kebanyakan penerangan masih menggunakan lampu pijar. Pada kesempatan itu Rudy dan kakaknya, Nadhiroh, diajak jalan-jalan ke Semarang oleh kakak pertama, Yanah, untuk menonton wayang orang Ngesti Pandowo dengan dalangnya Ki Narto Sabdo yang sangat terkenal. Hebatnya, gedung pertunjukan wayang orang tersebut menempati daerah elite di Jl Pemuda yang merupakan jalan protokol ibu kota Jawa Tengah yang antik dan eksotis itu. Rudy sangat terkesan sekali dengan lakon 'Begawan Bagaspati' karena kebetulan jalan ceritanya mirip dengan kisah perjalanan hidup kakaknya, Abdul Bakir, dengan anak perempuan semata wayangnya, Sri Suprichatiningsih.
Rumpun Keluarga Lebo
Jika merunut riwayat berdirinya desa Lebo dan lahirnya rumpun keluarga Lebo menarik untuk disimak laporan hasil penelitian seorang anthropolog berkebangsaan Amerika Serikat,
Clifford Geertz, dalam bukunya “
The Religion of Java” — diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh teman sekolahnya,
Aswab Mahasin, dengan judul “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”— menyebutkan bahwa dalam kurun waktu bersamaan pasca Perang Diponegoro telah terjadi migrasi rombongan penduduk asal wilayah Yogyakarta menuju ke kawasan pesisir Jawa Timur, yang ditengarai sebagai awal berdirinya kota Mojokuto (sebagian ahli menduga yang dimaksud adalah Mojokerto). Diperkirakan eksodus tersebut merupakan ekses dari pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultur Stelsel) oleh pemerintah Belanda. Dari para migran itulah di kemudian hari lahir sejumlah tokoh pergerakan, baik dalam bidang agama maupun kebangsaan, diantaranya yang paling menonjol adalah
KH. Wahid Hasyim, ayahanda Presiden RI ke-4,
KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo dalam bukunya “Paradigma Islam”, merujuk dan bersumber pada sebuah buku khazanah syair khas Jawa atau mocopat, yakni “Serat Cebolek”, ia juga membahas tentang kisah pembangkangan KH Ahmad Rifai, seorang pemimpin pondok pesantren Kalisasak, Batang, kelahiran Kendal, terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Dalam episode tersebut sang pembangkang akhirnya dibuang ke Ambon (1859). Dengan mengamati fenomena sosial tersebut, baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah, Kuntowijoyo dalam bukunya “Pengantar Ilmu Sejarah” berpendapat bahwa mungkin saja keluarga atau setidaknya pengaruh Pangeran Diponegoro ada di mana-mana, meski menurutnya hal tersebut diluar jangkauan sejarah. Dengan membandingkan dua catatan peristiwa tersebut muncul pertanyaan yang cukup menggelitik, mengapa keberadaan dan sepak terjang mantan prajurit Pangeran Diponegoro tersebut luput dari pengamatan riwayat atau sejarah. Jawaban yang paling logis dan realistis adalah karena aktivitas di bidang ekonomi lazimnya memang kalah populer dibandingkan dengan kiprah di bidang politik atau agama.
Banyak tokoh pahlawan dikenal dan dikenang karena kiprah mereka di bidang politik atau agama, tetapi tidak demikian dengan orang yang berkecimpung di bidang ekonomi. Sebagai contoh misalnya, tokoh proklamator Soekarno selaku seorang lulusan insinyur teknik dikenal dan dikenang sebagai pahlawan karena kiprahnya di bidang politik dan bukan sebagai pelaku ekonomi atau bisnis sesuai dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang dipelajarinya.
Guna mendapatkan sedikit gambaran mengenai generasi penerus rumpun keluarga Lebo yang cukup banyak mengambil peran dalam berbagai kiprah kekeluargaan dan kemasyarakatan itu, secara garis besar dapat dicatat mulai dari Mbah Penatus. Ia menurunkan Ronowijyo sebagai generasi kedua. Dari Ronowijoyo lahir (salah seorang?) anak diberi nama Joyodirono yang merupakan generasi ketiga dan selanjutnya menurunkan lima orang anak merupakan generasi keempat. Mereka terdiri dari dua anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Mbah Suli sebagai anak sulung merupakan nenek sedarah ayahku. Sedangkan Mbah Esah merupakan anak perempuan bungsu. Ia menikah dengan Mbah Purwo, konon orang Arab keturunan. Dari pernikahannya melahirkan cukup banyak keturunan. Oleh warga setempat suaminya sering disapa dengan panggilan “Den” (penggalan dari sebuah gelar bangsawan “Raden”), karena kedudukannya sebagai pegawai pemerintahan Belanda di Pekalongan. Sudah menjadi kelaziman pada zaman dulu, seseorang yang dianggap memiliki strata sosial yang lebih tinggi dipandang sebagai golongan keluarga priyayi atau bangsawan. Sebagian besar anak cucunya bekerja sebagai karyawan swasta atau pegawai pemerintah yang cukup mapan dan menetap di berbagai wilayah di Nusantara. Salah seorang dari mereka pernah duduk sebagai ketua sebuah aliran kebatinan “Subud”. Pengikut aliran kebatinan tersebut konon banyak terdiri dari kalangan orang bule, sehingga ketuanya lama menetap di Amerika Serikat. Salah satu adik laki-lakinya, Mbah Suratman, menjabat sebagai Lurah desa Lebo seumur hidup (berdasarkan peraturan zaman dulu) dan berkantor di Jendogo, tetangga desa jarak sekitar tiga kilometer. Di sana ia kemudian menetap bersama anak cucu hingga akhir hayatnya.
Sementara itu nenek Rudy menikahi Mbah Husen, kerap disapa dengan panggilan Mbah To (Jawa, asal kata "roko" menurut ejaan pelo anak balita, artinya kakek). Dari pernikahan mereka melahirkan dua orang anak perempuan, Mariyah sebagai anak sulung dan Maryati sebagai anak kedua sekaligus merupakan ibunya. Dari pernikahan Bude (kakak ibunya) dengan suaminya tidak dikaruniai anak. Sedangkan ibunya dari pernikahan dengan Abdul Rohim, akrab dipanggil Mbah Durahim, seorang lulusan pondok pesantren asal desa Gringsing dikaruniai anak sebanyak sembilan orang, tersisa tujuh orang terdiri dari tiga perempuan dan empat laki-laki, karena dua anak di antaranya meninggal selagi belum genap usia satu tahun. Ia sendiri merupakan anak bungsu. Neneknya meninggal ketika kedua anaknya masih kecil-kecil. Oleh karenanya, untuk sementara kakeknya meminta bantuan kepada salah seorang warga setempat bernama Mbok Iwil untuk merawat kedua anaknya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena kakeknya kemudian berupaya untuk mencari dan mendapatkan penggantinya. Dan tak lama berselang upaya itu membuahkan hasil setelah dipertemukan dengan Mbah Umi, konon berasal dari wilayah pegunungan Dieng. Selang beberapa lama, kakeknya memutuskan untuk menikahinya. Pernikahan itu dilangsungkan terutama dimaksudkan agar Mbah Umi dapat menggantikan peran mendiang istrinya sebagai ibu untuk mengasuh dan membesarkan kedua anaknya. Pernikahan itu sendiri tidak menghasilkan keturunan hingga ajal menjemput keduanya. Sebagai generasi keempat dari keturunan sedarah, mBak Suli memperoleh bagian harta warisan cukup besar, tak kurang terdiri dari 20 hektar sawah dan tanah daratan (kebon dan tegal), di samping sejumlah binatang ternak beberapa ekor kerbau dan kambing serta logam mulia. Sepeninggal neneknya, mengingat kedua anak perempuannya belum beranjak dewasa, maka kemudian kakeknya mengambil alih sepenuhnya untuk pengelolaan dan pengawasan seluruh harta peninggalan tersebut. Kelak, sepeninggal kedua orang tuanya, Rudy sendiri sempat menerima bagian harta warisan berupa sekitar satu hektar lahan sawah dan sebidang tanah daratan ditambah seekor kerbau dan beberapa gram logam mulia.