PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 09, 2018

Sambungan pertama: Sejarah Desa Lebo




Membentuk Karakter

Menjadi Anak Yatim

Ayahnya meninggal dunia saat umur Rudy baru menginjak empat tahun. Ia masih ingat pagi itu banyak tetangga, baik dari kalangan bapak maupun ibu, berdatangan ke rumah orang tuanya. Para tamu itu tampak berlalu lalang, sementara sang ayah terbaring sendiri di atas ranjang. Seluruh tubuhnya mulai dari kepala hingga ujung kaki tertutup rapat berselimut selembar kain batik. Menyaksikan hal seperti itu hatinya merasa janggal dan bertanya, mengapa ayahnya masih tertidur lelap sementara di luar banyak tamu berdatangan. Oleh karenanya, ia segera menghampiri ayahnya dan naik ke tempat tidur seraya menyingkap kain selimut yang menutupi seluruh tubuhnya itu dengan maksud untuk membangunkannya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya ia memanggil-manggilnya dengan suara sedikit melengking: “Paaak…, paaak..!! Banguuun!! Banyak tamu…!”. Ia mengira ayahnya sedang tertidur pulas. Adegan itu tak berlangsung ketika kemudian disadari seseorang telah mengangkat tubuhnya seraya cepat-cepat membopongnya keluar dari kamar.
Waktu terus bergulir dan musim pun berganti. Belum lagi genap satu tahun, saat ia bersama teman-teman sekampung sedang asyik menonton sebuah acara perayaan memperingati HUT RI di lapangan Krincing, lima kilometer dari desa Lebo. Tiba-tiba seorang suruhan menyambangi dan mengajaknya untuk segera pulang. Setiba di rumah baru ia diberi tahu kalau ibunya telah dipanggil Sang Khalik. Ia sempat menangis pelan. Hanya saja, seingatnya bukan tangis sedih karena kehilangan seorang ibu, tetapi lebih karena terpengaruh suara tangis orang-orang di sekitar. Rentang waktu antara kejadian ibu dan ayahnya meninggal yang relatif singkat benar-benar telah membuat seluruh anggota keluarga merasa sangat terpukul dan kehilangan. Di kemudian hari ia sempat merenungkan bahwa kepergian ibu menyusul mendiang ayahnya seakan membenarkan pandangan lama tentang perempuan seperti peribahasa Jawa “suwargo nunut neroko katut” (istri senang atau susah tergantung pada suami). Sikap pandang tradisi lama tersebut semakin mendapat tempat dalam diri ibunya karena ayahnya sangat memanjakanya, dalam arti hampir semua urusan utamanya mengenai usaha dan ekonomi keluarga ditangani sendiri tanpa melibatkan ibunya. Hanya saja, kendati predikat tersebut mungkin dianggap merupakan kelemahan perempuan “tempo doeloe”, namun sesungguhnya mereka memiliki kelebihan dalam soal kesetiaan, cinta dan kasih sayang yang tulus pada keluarga yang belum tentu dimiliki oleh kaum perempuan zaman modern.
Anehnya, kelak perempuan yang mendampingi hidup Rudy hingga hari tua ternyata juga tipe perempuan yang tak jauh berbeda dengan ibunya. Meskipun pernikahannya bukan melalui cara dijodohkan, bahkan hanya melalui suatu hubungan pendekatan yang terbilang singkat. Cinta pertamanya di saat remaja jatuh pada seorang perempuan lajang yang ditinggal mati suaminya, namun layu sebelum berkembang. Demikian pula dengan cinta yang kedua dan ketiga lagi-lagi jatuh pada perempuan lajang tanpa anak yang pernah bersuami. Dari pengalaman tersebut kemudian muncul pandangan seakan-akan hal tersebut merupakan ungkapan bawah sadar bentuk imajinasi dan kerinduan pada figur sosok ibu seperti mengisbatkan kisah cinta Odipus.
Meskipun ia dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga yang boleh dikatakan tidak mengenyam pendidikan dan pengalaman sebagaimana keluarga terdidik, namun di kemudian hari ia menyadari bahwa banyak nilai kebajikan yang tertanam dalam jiwanya sehingga ikut membentuk karakter dirinya. Seperti diketahui bahwa dalam ilmu pendidikan dikenal sejumlah nilai dasar yang seharusnya ditanamkan dalam rangka membentuk watak anak didik, sebagai berikut:

Pokok
Kejujuran
Sikap toleransi
Disiplin
Kerja keras
Kreatif
Sikap demokratis
Rasa ingin tahu
Sikap bersahabat
Cinta damai
Gemar membaca
Rasa tanggung jawab
Religius

Tambahan
Perduli terhadap lingkungan
Perduli sosial
Kemandirian
Semangat kebangsaan
Cinta tanah air
Menghargai prestasi

Dalam ilmu jiwa disebutkan bahwa manusia itu memiliki tiga kemampuan dasar, yakni IQ (Intelectual Quotient) atau kecerdasan inteletual, EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi, dan SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan rohani. Secara fungsional ketiga tingkat kecerdasan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah kendaraan bermotor. IQ merupakan mesinnya, EQ adalah rodanya, sedangkan SQ merupakan setir atau kemudinya.

Menatap Alam, Mengenal Tuhan

Hari itu pagi-pagi sekali, kakeknya mengajaknya jalan-pagi bersama kakak-kakaknya ke pinggir desa berbatasan dengan area persawahan tak jauh di belakang rumah. Mereka berdiri berjajar menghadap ke arah timur untuk menanti saat menjelang matahari terbit. Manakala sinar kemilau mulai berpendar di ufuk timur, mata mereka hampir tak berkedip menatap matahari yang mulai menampakkan diri. Matahari kelihatan seperti bola berputar-putar seraya bergerak perlahan naik ke atas permukaan garis horizon, lama-lama berbentuk bundaran besar berwarna lembayung. Tatapan mereka baru berhenti dan disudahi ketika matahari telah berubah berwarna putih menyilaukan. Bak sebuah upacara ritual, acara tersebut adakalanya dilakukan dua kali dalam seminggu. Kata kakeknya, kegiatan tersebut berguna untuk melatih ketajaman dan kesehatan mata sambil merenungkan kebesaran Tuhan sehingga meresap ke dalam jiwa dan menggetarkan sanubari. Sekalipun kelihatannya sederhana, namun suasananya mampu mewakili dan menggambarkan sebuah kehidupan dalam rengkuhan alam penuh kedamaian dan ketenteraman, yang dalam dunia pedalangan diungkapkan dengan sebuah untaian kalimat baku penuh daya magi: “Toto titi tentrem, kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi…”.


Halaman:    

Bersambung: Sambungan kedua Sejarah Lebo
Kembali ke (awal): Tol Gringsing dan Sejarah Desa Lebo

Simak Juga:




Posting Komentar