Membentuk Karakter
Menjadi Anak Yatim
Ayahnya meninggal dunia saat umur Rudy baru menginjak empat tahun. Ia masih ingat pagi itu banyak tetangga, baik dari kalangan bapak maupun ibu, berdatangan ke rumah orang tuanya. Para tamu itu tampak berlalu lalang, sementara sang ayah terbaring sendiri di atas ranjang. Seluruh tubuhnya mulai dari kepala hingga ujung kaki tertutup rapat berselimut selembar kain batik. Menyaksikan hal seperti itu
hatinya merasa janggal dan bertanya, mengapa ayahnya masih tertidur lelap sementara di luar banyak tamu berdatangan. Oleh karenanya, ia segera menghampiri ayahnya dan naik ke tempat tidur seraya menyingkap kain selimut yang menutupi seluruh tubuhnya itu dengan maksud untuk membangunkannya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya ia memanggil-manggilnya dengan suara sedikit melengking: “Paaak…, paaak..!! Banguuun!! Banyak tamu…!”. Ia mengira ayahnya sedang tertidur pulas. Adegan itu tak berlangsung ketika kemudian disadari seseorang telah mengangkat tubuhnya seraya cepat-cepat membopongnya keluar dari kamar.
Waktu terus bergulir dan musim pun berganti. Belum lagi genap satu tahun, saat ia bersama teman-teman sekampung sedang asyik menonton sebuah acara perayaan memperingati HUT RI di lapangan Krincing, lima kilometer dari desa Lebo. Tiba-tiba seorang suruhan menyambangi dan mengajaknya untuk segera pulang. Setiba di rumah baru ia diberi tahu kalau ibunya telah dipanggil Sang Khalik. Ia sempat menangis pelan. Hanya saja, seingatnya bukan tangis sedih karena kehilangan seorang ibu, tetapi lebih karena terpengaruh suara tangis orang-orang di sekitar. Rentang waktu antara kejadian ibu dan ayahnya meninggal yang relatif singkat benar-benar telah membuat seluruh anggota keluarga merasa sangat terpukul dan kehilangan. Di kemudian hari ia sempat merenungkan bahwa kepergian ibu menyusul mendiang ayahnya seakan membenarkan pandangan lama tentang perempuan seperti peribahasa Jawa “suwargo nunut neroko katut” (istri senang atau susah tergantung pada suami). Sikap pandang tradisi lama tersebut semakin mendapat tempat dalam diri ibunya karena ayahnya sangat memanjakanya, dalam arti hampir semua urusan utamanya mengenai usaha dan ekonomi keluarga ditangani sendiri tanpa melibatkan ibunya. Hanya saja, kendati predikat tersebut mungkin dianggap merupakan kelemahan perempuan “tempo doeloe”, namun sesungguhnya mereka memiliki kelebihan dalam soal kesetiaan, cinta dan kasih sayang yang tulus pada keluarga yang belum tentu dimiliki oleh kaum perempuan zaman modern.
Anehnya, kelak perempuan yang mendampingi hidup Rudy hingga hari tua ternyata juga tipe perempuan yang tak jauh berbeda dengan ibunya. Meskipun pernikahannya bukan melalui cara dijodohkan, bahkan hanya melalui suatu hubungan pendekatan yang terbilang singkat. Cinta pertamanya di saat remaja jatuh pada seorang perempuan lajang yang ditinggal mati suaminya, namun layu sebelum berkembang. Demikian pula dengan cinta yang kedua dan ketiga lagi-lagi jatuh pada perempuan lajang tanpa anak yang pernah bersuami. Dari pengalaman tersebut kemudian muncul pandangan seakan-akan hal tersebut merupakan ungkapan bawah sadar bentuk imajinasi dan kerinduan pada figur sosok ibu seperti mengisbatkan kisah cinta Odipus.
Meskipun ia dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga yang boleh dikatakan tidak mengenyam pendidikan dan pengalaman sebagaimana keluarga terdidik, namun di kemudian hari ia menyadari bahwa banyak nilai kebajikan yang tertanam dalam jiwanya sehingga ikut membentuk karakter dirinya. Seperti diketahui bahwa dalam ilmu pendidikan dikenal sejumlah nilai dasar yang seharusnya ditanamkan dalam rangka membentuk watak anak didik, sebagai berikut:
Pokok
Kejujuran
Sikap toleransi
Disiplin
Kerja keras
Kreatif
Sikap demokratis
Rasa ingin tahu
Sikap bersahabat
Cinta damai
Gemar membaca
Rasa tanggung jawab
Religius
Tambahan
Perduli terhadap lingkungan
Perduli sosial
Kemandirian
Semangat kebangsaan
Cinta tanah air
Menghargai prestasi
Dalam ilmu jiwa disebutkan bahwa manusia itu memiliki tiga kemampuan dasar, yakni
IQ (Intelectual Quotient) atau kecerdasan inteletual,
EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi, dan
SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan rohani. Secara fungsional ketiga tingkat kecerdasan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah kendaraan bermotor. IQ merupakan mesinnya, EQ adalah rodanya, sedangkan SQ merupakan setir atau kemudinya.
Menatap Alam, Mengenal Tuhan
Hari itu pagi-pagi sekali, kakeknya mengajaknya jalan-pagi bersama kakak-kakaknya ke pinggir desa berbatasan dengan area persawahan tak jauh di belakang rumah. Mereka berdiri berjajar menghadap ke arah timur untuk menanti saat menjelang matahari terbit. Manakala sinar kemilau mulai berpendar di ufuk timur, mata mereka hampir tak berkedip menatap matahari yang mulai menampakkan diri. Matahari kelihatan seperti bola berputar-putar seraya bergerak perlahan naik ke atas permukaan garis horizon, lama-lama berbentuk bundaran besar berwarna lembayung. Tatapan mereka baru berhenti dan disudahi ketika matahari telah berubah berwarna putih menyilaukan. Bak sebuah upacara ritual, acara tersebut adakalanya dilakukan dua kali dalam seminggu. Kata kakeknya, kegiatan tersebut berguna untuk melatih ketajaman dan kesehatan mata sambil merenungkan kebesaran Tuhan sehingga meresap ke dalam jiwa dan menggetarkan sanubari. Sekalipun kelihatannya sederhana, namun suasananya mampu mewakili dan menggambarkan sebuah kehidupan dalam rengkuhan alam penuh kedamaian dan ketenteraman, yang dalam dunia pedalangan diungkapkan dengan sebuah untaian kalimat baku penuh daya magi: “Toto titi tentrem, kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi…”.
Warisan Nilai Luhur
Siang hari itu saat bersama teman-teman sekampung tengah bermain di halaman rumah, ia menyaksikan pasukan tentara Jepang berseragam khas celana panjang menggelembung di bagian paha lengkap dengan sepatu laras panjang dan topi pet terbuat dari kain yang menjuntai di bagian belakang kepala hingga menutupi kedua telinga. Dalam formasi beberapa barisan mereka berjalan dari markas desa menuju kota Semarang dengan tatapan mata kosong dan lesu, tidak tampak garang dan bengis sebagaimana biasa. Kakeknya bercerita bahwa tentara Jepang telah menyerah dan bertekuk lutut pada sekutu, oleh karenanya mereka segera angkat kaki dari bumi pertiwi. Kelak setelah belajar sejarah dunia, barulah ia mengetahui kisah dramatis, saat kaisar Hirohito di atas kapal perang Amerika Serikat mengumumkan Jepang menyerah pasca dijatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki sekaligus menandai berakhirnya Perang Dunia II. Menyaksikan barisan pasukan Jepang tersebut, secara berkelakar anak-anak menirukan gerak mereka dengan aba-aba berbaris: “Tuk..wak…tuk.. wak…Entuk iwak..!!”. (Maksudnya, satu, dua, satu dua, dilanjutkan dengan plesetan “mendapat ikan”). Orang-orang bercerita bahwa tentara penjajah tersebut hendak kembali pulang ke negara asal mereka sebagai pecundang. Selama sekitar tiga setengah tahun masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia, khususnya ketika mereka bercokol di desa Lebo, telah meninggalkan kenangan dan cerita lucu dan menegangkan yang tak terlupakan. Suatu hari rumah orang tuanya kedatangan tamu tak diundang terdiri dari dua atau tiga orang tentara Jepang berseragam. Tampaknya mereka menunjukkan gelagat dan maksud yang kurang baik ketika mendengar dan mengetahui kalau di rumah tersebut ada seorang gadis remaja dan tak lain adalah Riwayati, kakaknya yang kedua. Mungkin karena mencium gelagat yang kurang baik, A.Bakir, kakak keempat laki-laki yang masih anak-anak, dengan tergopoh-gopoh mengambil sebongkah sabut kelapa yang biasa ditumpuk di ruang dapur untuk keperluan bahan bakar, lalu dibopong ke ruang tamu. Dengan sedikit geram dan tanpa rasa takut dilemparkannya sabut tersebut ke arah punggung salah seorang tentara Jepang yang sedang duduk di kursi tamu, sehingga sedikit mengenai kepalanya. Sesudah itu cepat-cepat ia kabur dan bersembunyi di sudut dapur. Tak ayal, semua orang yang ada di ruang tamu sangat terperanjat dan terhenyak dari tempat duduk. Para tamu tak diundang terutama tentara Jepang yang terkena lemparan tersebut dengan sigap segera bangkit dari posisi duduknya seraya menghunus samurai yang tergantung di pinggangnya. Dengan sedikit menahan amarah ia tampak beranjak hendak memburu si pelempar, tetapi temannya cepat mencegah dan melerainya karena ia mengetahui pelakunya adalah seorang anak kecil, sehingga niat tersebut diurungkan. Seusai kejadian tersebut tak lama kemudian mereka pun pergi meninggalkan tempat tanpa berpamitan. Sejak kecil M. Bakir memang dikenal bandel dan suka sekali usil, tetapi kadang-kadang lucu. Konon ia merupakan anak kesayangan ayah. Banyak yang mengatakan gara-gara mereka sama-sama memiliki postur tubuh yang pendek. Karena perawakannya yang pendek pula ia sering dijuluki kancil, tokoh cerita anak-anak tentang dunia binatang. Si kancil yang bertubuh kecil tetapi cerdik sehingga seringkali mengalahkan musuh yang tubuhnya lebih besar. Sepintas, perbuatan kakak A.Bakir tersebut sepele. Tetapi bila direnungkan lebih jauh bahwa tindakan tersebut secara tak sengaja telah menyelamatkan kakak perempuannya dari kemungkinan diculik dan dijadikan budak nafsu bejat tentara "cebol" bermata sipit itu, maka tindakan tersebut sungguh sangat heroik. Jauh di kemudian hari terungkap banyak kaum perempuan dari sejumlah negara seperti Tiongkok dikenal sebagai jugun ianfu telah dijadikan budak pemuas nafsu bejat tentara Jepang, yang kemudian banyak menuai kecaman dan tuntutan dari para korban. Hal tersebut besar kemungkinan merupakan wujud nyata warisan genetik jiwa patriot dan pejuang dalam bentuk paling sederhana ketika seseorang senantiasa siap berkorban demi kepentingan sesama. Seperti kata peribahasa, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Menurut Ibnu Miskawaih, seorang ahli filsafat etika sekaligus disebut sebagai Guru Ketiga setelah Al-Farabi sebagai Guru Kedua dan Aristoteles sebagai Guru Pertama di bidang filsafat etika, mengatakan bahwa akhlak dan moral adalah suatu peri keadaan jiwa yang mendorong dan mengajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan atau spontan dan diperhitungkan sebelumnya. Kelak setelah ia belajar sejarah dunia, watak dan kecerdikannya mengingatkan Rudy pada Napoleon Bonaparte, seorang kaisar Prancis sang penakluk daratan Europa di abad pertengahan yang juga berperawakan pendek.
Kakeknya bukan tipe “kemaruk” (Jawa, penikmat, hedonis) harta kekayaan. Dia adalah sosok pria humanis dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Baginya, harta kekayaan yang dimiliki tidak hanya untuk dinikmati sendiri bersama keluarga, tetapi juga berfungsi sosial. Hal itu tercermin ketika terjadi “pagebluk” (Jawa, wabah) pada dekade 1930-an yang menimpa sebagian besar penduduk desa Lebo. Kakeknya dibantu beberapa temannya yang tidak terkena wabah secara sukarela menyingsingkan lengan baju untuk membantu dan merawat warga yang menderita sakit. Selain menyiapkan makanan dan memberikan obat sesuai kemampuan, setiap hari menjelang maghrib mereka berkeliling kampung dan satu per satu mendatangi rumah untuk menyalakan “senthir” (Jawa, obor kecil berbahan bakar minyak tanah) sebagai penerangan rumah.
Sekalipun ia bukan keturunan darah Mbah Penatus, tetapi sikap batin dan tindakannya menunjukkan seakan mewarisi jejak dan nilai luhur yang ditinggalkan para pendahulu. Salah seorang sahabat kentalnya, Mbah Wiryo, selaku warga pendatang konon pernah mendapat hibah sebidang sawah dari kakeknya. Sepeninggal kakeknya, setiap kali ia pergi lewat depan rumah kakeknya ia selalu menengadahkan kepala seraya menutupi wajahnya dengan sehelai sapu tangan. Belakangan baru diketahui kalau tindakan tersebut sebagai upaya untuk membendung air mata yang jatuh menetes deras di kedua sudut matanya akibat menahan perasaan sedih teringat mendiang kakeknya. Lama kelamaan adegan tersebut diketahui dan menarik perhatian anak-anak. Sehingga kadang-kadang mereka sengaja mengintip dari kejauhan setiap kali ia berlalu karena menganggap sebagai tontonan yang lucu. Adegan yang menyentuh hati tersebut tak berlangsung lama, karena tak genap satu tahun kemudian ia pun menyusul, pergi meninggalkan dunia fana untuk selama-lamanya. Di belakang hari jiwa kesetiaan dan persahabatan yang tulus itu tanpa disadari mempengaruhi dan ikut membentuk watak dalam dirinya.
Pengalaman dan Pendalaman Kalbu
Waktu itu sarana hiburan memang masih langka sekali, apalagi desa. Sehingga bila sewaktu-waktu ada pagelaran wayang kulit di sebuah hajatan perkawinan pasti menarik dan dibanjiri penonton dari mana-mana. Dari kecil ia termasuk penggemar tontonan wayang kulit, sekalipun awalnya tidak begitu memahami jalan ceritanya. Di kemudian hari setelah ia hijrah ke Jakarta kegemaran cerita wayang tersebut seakan tersalurkan dengan terbitnya banyak buku-buku komik khususnya garapan komikus terkenal A. Kosasih. Bahkan kemudian minat dan perhatiannya pada wayang tidak tertuju semata-mata pada jalan cerita, tetapi lebih pada ajaran moral dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh misalnya, dalam lakon cerita wayang “Bima Mencari Sarang Angin”. Dikisahkan suatu saat Pendita Dorna sebagai guru memberi nasihat dan petunjuk kepada Bima, salah satu tokoh keluarga Pendawa, untuk mencari sarang angin di tengah samudera sebagai jalan mendapatkan kesaktian untuk bekal meraih kemenangan dalam Perang Bharata. Sesuatu hal yang sesungguhnya mustahil dan tak masuk akal. Bima hampir saja menemui kematian dalam sebuah perkelahian melawan seekor ular naga raksasa yang menghadang perjalanannya, namun akhirnya dapat dikalahkan. Menurut wayang versi Sunda dalam fragmen tersebut Pendita Dorna dinilai sebagai tokoh antagonis, karena dianggap telah menjerumuskan dan mencelakakan sang protagonis. Mereka memandang sesuatu cenderung pada kulit luar, bukan pada substansi atau isi. Sementara menurut wayang versi Jawa petunjuk Pendito Durna itu justru merupakan ujian bagi Bima dalam pencarian jati diri untuk menuju dan meraih derajat yang lebih tinggi. Di tengah samudera Bima bertemu dengan Dewa Ruci di atas puncak gulungan gelombang. Dewa Ruci disebut juga Bima Kunthing (kunthing, Jawa, berarti kecil), karena posturnya mirip Bima dalam bentuk kerdil. Seperti sedang bercermin Bima menyimak Dewa Ruci sebagai penjelmaan dirinya untuk melakukan kontemplasi dan introspkesi. Dalam kesempatan tersebut Bima menerima banyak wejangan dari Dewa Ruci yang dikenal sebagai ajaran “Hasta Bhrata”. Intinya, wejangan tersebut memaparkan tentang dasar pandangan hidup dan falsafah kepemimpinan, yang kemudian kerapkali dikutip sekaligus menjadi pedoman mendiang Soeharto, presiden RI ke-2 dalam memimpin negara. Perbedaan perspektif tersebut sesungguhnya mencerminkan karakter dan membentuk kepribadian yang dalam jangka lama kemudian mengkristal menjadi sebuah stereotip. Pada gilirannya, sikap pandang seperti itu rawan disusupi oleh kepentingan terselubung pribadi ataupun kelompok. Contoh yang paling menonjol adalah peristiwa pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwirjo yang berhasil mendapatkan dukungan luas dengan menggunakan jargon dan mengatasnamakan agama. Terakhir modus serupa terlihat pada gerakan aksi bela agama terkait Pilkada DKI pada penghujung tahun 2016. Tanpa disengaja filosofi dan ajaran tentang keluhuran budi ternyata banyak juga dijumpai dalam cerita dunia persilatan setelah belakangan banyak membaca buku-buku komik dan menonton film-film cerita silat yang sedang merebak pada tahun-tahun itu.
|
Bima (sekali-kalinya dapat) bersimpuh di hadapan Dewa Ruci |
Di suatu hari tersiar kabar tentang kedatangan pasukan Belanda dengan membonceng pasukan perdamaian PBB di bawah pimpinan Inggris menyusul berakhir Perang Dunia II, untuk bercokol kembali di Indonesia. Penduduk sekitar wilayah yang diperkirakan akan menjadi medan pertempuran diimbau untuk segera menyingkir dan mengungsi ke kampung lain yang dianggap lebih aman. Namun ayahnya memutuskan untuk tidak membawa keluarga turut mengungsi, dan memilih untuk membuat lubang perlindungan di bawah semak-semak kebon di belakang rumah. Lubangnya berukuran kedalaman satu setengah meter dan beralas tikar, dapat menampung 8-10 orang dan dapat sedikit leluasa untuk berebahan. Suasana kampung terasa sepi dan mencekam karena ditinggal penghuninya mengungsi ke arah selatan desa yang dianggap lebih aman. Selagi mereka duduk-duduk berkumpul di ruang tengah sambil mengikuti perkembangan di luar rumah, tiba-tiba terdengar rentetan bunyi tembakan senapan disusul suara pesawat tempur Belanda “cocor merah” yang sangat ditakuti penduduk meraung-raung dan terbang rendah. Tanpa menunggu aba-aba mereka pun serentak lari berhamburan dari rumah menuju lubang perlindungan. Baru beberapa saat di dalam lubang perlindungan, muncul dua orang tanpa permisi dengan tubuh penuh lumpur –karena sehabis “gogoh” (Jawa, mencari ikan di kali) dan tak sempat dibersihkan— . Dengan wajah pucat sekonyong-konyong mereka masuk dan ikut bergabung untuk bersembunyi di lubang perlindungan. Karuan saja keluarga Rudy merasa agak kesal seraya bersungut-sungut karena tubuh mereka ikut belepotan terkena lumpur. Orang-orang tersebut terpaksa dihalau keluar. Dengan wajah memelas mereka pun keluar seraya dengan badan merunduk-runduk mencari tempat berlindung lain. Rudy tersenyum geli melihat mereka berjongkok di celah-celah rumpun pohon pisang tak jauh dari lubang perlindungan dengan tangan bersedekap dan tubuh menggigil kedinginan. Keesokan harinya keadaan semakin gawat. Pasukan Belanda konon membombardir wilayah pertahanan para gerilyawan, sehingga jembatan kali Kutho hancur. Rudy sekeluarga akhirnya terpaksa harus mengikuti jejak warga lain untuk mengungsi ke bagian selatan desa Lebo yang tidak dilintasi peluru meriam. Kelak jauh di kemudian hari baru terungkap konon Presiden RI ke-2 Soeharto yang tatkala itu masih berpangkat Letnan Kolonel pernah bertugas memimpin pasukan di wilayah tersebut.