PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 09, 2018

Sambungan kedua: Sejarah Desa Lebo


Pawang singa







Hidup Penuh Warna



Di Tengah Kehangatan Keluarga

Inilah pengalaman kali pertama mereka bersembilan tinggal serumah menjalani hari-hari selama bulan Ramadhan. Namanya juga anak-anak, meskipun telah kehilangan kedua orang tua, namun sedikit pun tak tampak rona kesedihan di wajah mereka. Dan seiring dengan waktu di tempat yang baru suasananya malah terasa lebih meriah dan penuh keakraban. Sekali-sekali terkadang tiba-tiba muncul perasaan rindu dan teringat saat tinggal bersama orang tua, Rudy menyambangi rumah yang sudah menjadi milik dan tempat tinggal kakaknya, Riwayati sebagai bagian dari harta warisan. Sambil menanti bunyi bedug tanda berbuka puasa, seluruh anggota keluarga bersembilan mengelilingi sebuah meja besar penuh berbagai jenis makanan. Es sirup dan lalap ketimun rasa khas Lebo bersama sambal terasi kesukaan keluarga hampir tak pernah absen dari menu hidangan. Setelah ia dewasa, setiap kali ia makan ketimun sekejap ingatannya jauh menerawang pada masa-masa penuh ceria tersebut. Dia tak tahu dari mana ilhamnya sehingga terpikir untuk membuat acara makan bersama keluarga di satu meja yang belum tentu dilakukan di banyak keluarga. Mungkin karena pertimbangan praktis saja. Di kemudian hari ia baru mengetahui bahwa menurut pakar pendidikan acara makan bersama keluarga di satu meja sangat bermanfaat untuk mempererat silaturahim. Giliran saat menunaikan salat tarawih tiba, jamaah di surau sudah penuh sesak ramai sekali, mulai dari orang tua, remaja dan anak-anak. Moh. Solichin, kakak ipar sulung selaku imam yang kedatangannya senantiasa ditunggu-tunggu, biasanya memang baru tiba setelah jamaah berkumpul. Dengan langkah lebar dan berwibawa ia berjalan menyeruak di antara para jamaah yang sebagian sudah mulai berdiri saat iqamah dikumandangkan, menuju ruang mihrab. Ia merasa senang dan bangga sekali ketika sekali-sekali ia digandeng dan diajak masuk ke ruang imam. Usai dilakukan salat tarawih dilanjutkan dengan membaca bermacam zikir dan hafalan, antara lain rukun Iman, rukun Islam dan sifat Tuhan yang dua puluh. Mereka melakukannya bak sebuah ritual dengan penuh khidmat dan semangat.
Sebagaimana terjadi di tempat-tempat ibadah pada umumnya, sesi ini kerapkali diselingi canda dan ketawa, terutama di kelompok anak-anak. Setelah lebih kurang 30 menit berlangsung, menginjak acara berikutnya yang sangat ditunggu-tunggu terutama oleh anak-anak adalah makan “jaburan” (kue-kue jajanan, pen.) bersama yang setiap malam disediakan oleh jamaah secara bergiliran. Acara terakhir kakak iparnya memimpin pengajian dan mengajarkan kitab kuning, seperti “Safinah”, “Majmuk”, “Munjiyat”, dan kadang-kadang “Mujarobat” yang membahas tentang ilmu pengobatan dan ciri-ciri fisik manusia. Acara pengajian berlangsung hingga larut malam. Namun baru saja pengajian dimulai sebagian besar anak-anak kecil sudah tidak dapat menahan kantuk dan akhirnya tertidur bergeletakan di serambi langgar. Sementara jamaah mengikuti pengajian, bila bertepatan dengan musim tanam, Rudy bersama seorang sahabatnya suka sekali mencari belut di hamparan sawah, sambil menunggu waktu makan sahur. Kegiatan tersebut disebut “ngobor”, karena menggunakan obor terbuat dari sepotong bambu dipasang sepotong kain sebagai sumbu dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Belakangan ia menggunakan lampu pompa petromak supaya lebih terang. Di tengah gelapnya malam, dari kejauhan tampak nyala belasan obor berkalap-kelip seraya bergerak perlahan di hamparan sawah yang luas. Mereka juga sedang “ngobor”, secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Usai “ngobor” mereka kembali terlebih dahulu ke rumahnya untuk menaruh lampu petromak berikut belut hasil “ngobor” yang jumlahnya bisa mencapai sepuluh ekor. Seraya membawa bekal makan sahur bersama mereka pun kemudian bergegas pergi ke surau yang sudah tampak sepi, karena acara pengajian sudah bubar. Seperti biasa, mulai dari hari pertama hingga paroh pertama bulan Ramadan jumlah anak-anak dan remaja yang bermalam di surau dapat mencapai 15 orang. Masing-masing telah membawa bekal sendiri dari rumah untuk makan sahur. Setelah selesai melakukan makan sahur mereka tidur dan hingga tengah hari baru terbangun. Dengan demikian, anak-anak itu merasakan haus dan laparnya berpuasa hanya separoh hari saja. Untuk menunggu saat magrib dan berbuka puasa, mereka bermain berbagai macam dolanan tradisional yang tidak terlalu menguras tenaga, seperti permainan gundu, gambar ( “gaburan” atau “remi”), pathok lele, dan layang-layang. Pathok lele merupakan dolanan populer yang cukup digemari anak-anak, karena dapat dimainkan oleh banyak anak sekaligus. Alat dolanan pathok lele terdiri dari dua batang kayu berbentuk bulat panjang sebesar ibu jari kaki orang dewasa dengan ukuran panjang yang berbeda. Bahannya dibuat dari ranting jenis kayu keras, seperti pohon sawo. Cara memainkannya dengan memukulkan batang yang panjang pada batang yang lebih pendek. Pathok lele merupakan dolanan mengadu ketangkasan, tetapi sebenarnya cukup berbahaya, lebih-lebih bagi anak-anak. Suatu saat pernah terjadi seorang anak terpaksa harus kehilangan sebelah matanya karena terkena lemparan batang permainan itu. Sepanjang dua pertiga bagian pertama bulan puasa rasanya sungguh-sungguh merupakan hari-hari yang penuh kegiatan dan riang gembira, baik pada siang maupun malam hari.
Sampai akhirnya tiba malam-malam “likuran” atau disebut menanti datangnya “lailatul qadar”, mungkin juga karena faktor kelelahan, suasana yang tadinya meriah perlahan-lahan berubah menjadi lengang. Namun seperti layaknya sebuah tangga nada, saat sedikit hari lagi Hari Raya Iedul Fitri tiba suasana kembali semarak dan bergairah.


Halaman: 1 2 3 4 5 6



Bersambung: Sambungan ketiga Sejarah Lebo
Kembali ke: Sambungan pertama Sejarah Lebo

Simak Juga:




Posting Komentar