Pawang singa
Hidup Penuh Warna
Di Tengah Kehangatan Keluarga
Inilah pengalaman kali pertama mereka bersembilan tinggal serumah menjalani hari-hari selama bulan Ramadhan. Namanya juga anak-anak, meskipun telah kehilangan kedua orang tua, namun sedikit pun tak tampak rona kesedihan di wajah mereka. Dan seiring dengan waktu di tempat yang baru
suasananya malah terasa lebih meriah dan penuh keakraban. Sekali-sekali terkadang tiba-tiba muncul perasaan rindu dan teringat saat tinggal bersama orang tua, Rudy menyambangi rumah yang sudah menjadi milik dan tempat tinggal kakaknya, Riwayati sebagai bagian dari harta warisan. Sambil menanti bunyi bedug tanda berbuka puasa, seluruh anggota keluarga bersembilan mengelilingi sebuah meja besar penuh berbagai jenis makanan. Es sirup dan lalap ketimun rasa khas Lebo bersama sambal terasi kesukaan keluarga hampir tak pernah absen dari menu hidangan. Setelah ia dewasa, setiap kali ia makan ketimun sekejap ingatannya jauh menerawang pada masa-masa penuh ceria tersebut. Dia tak tahu dari mana ilhamnya sehingga terpikir untuk membuat acara makan bersama keluarga di satu meja yang belum tentu dilakukan di banyak keluarga. Mungkin karena pertimbangan praktis saja. Di kemudian hari ia baru mengetahui bahwa menurut pakar pendidikan acara makan bersama keluarga di satu meja sangat bermanfaat untuk mempererat silaturahim. Giliran saat menunaikan salat tarawih tiba, jamaah di surau sudah penuh sesak ramai sekali, mulai dari orang tua, remaja dan anak-anak. Moh. Solichin, kakak ipar sulung selaku imam yang kedatangannya senantiasa ditunggu-tunggu, biasanya memang baru tiba setelah jamaah berkumpul. Dengan langkah lebar dan berwibawa ia berjalan menyeruak di antara para jamaah yang sebagian sudah mulai berdiri saat iqamah dikumandangkan, menuju ruang mihrab. Ia merasa senang dan bangga sekali ketika sekali-sekali ia digandeng dan diajak masuk ke ruang imam. Usai dilakukan salat tarawih dilanjutkan dengan membaca bermacam zikir dan hafalan, antara lain rukun Iman, rukun Islam dan sifat Tuhan yang dua puluh. Mereka melakukannya bak sebuah ritual dengan penuh khidmat dan semangat.
Sebagaimana terjadi di tempat-tempat ibadah pada umumnya, sesi ini kerapkali diselingi canda dan ketawa, terutama di kelompok anak-anak. Setelah lebih kurang 30 menit berlangsung, menginjak acara berikutnya yang sangat ditunggu-tunggu terutama oleh anak-anak adalah makan “jaburan” (kue-kue jajanan, pen.) bersama yang setiap malam disediakan oleh jamaah secara bergiliran. Acara terakhir kakak iparnya memimpin pengajian dan mengajarkan kitab kuning, seperti “Safinah”, “Majmuk”, “Munjiyat”, dan kadang-kadang “Mujarobat” yang membahas tentang ilmu pengobatan dan ciri-ciri fisik manusia. Acara pengajian berlangsung hingga larut malam. Namun baru saja pengajian dimulai sebagian besar anak-anak kecil sudah tidak dapat menahan kantuk dan akhirnya tertidur bergeletakan di serambi langgar. Sementara jamaah mengikuti pengajian, bila bertepatan dengan musim tanam, Rudy bersama seorang sahabatnya suka sekali mencari belut di hamparan sawah, sambil menunggu waktu makan sahur. Kegiatan tersebut disebut “ngobor”, karena menggunakan obor terbuat dari sepotong bambu dipasang sepotong kain sebagai sumbu dan minyak tanah sebagai bahan bakar. Belakangan ia menggunakan lampu pompa petromak supaya lebih terang. Di tengah gelapnya malam, dari kejauhan tampak nyala belasan obor berkalap-kelip seraya bergerak perlahan di hamparan sawah yang luas. Mereka juga sedang “ngobor”, secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Usai “ngobor” mereka kembali terlebih dahulu ke rumahnya untuk menaruh lampu petromak berikut belut hasil “ngobor” yang jumlahnya bisa mencapai sepuluh ekor. Seraya membawa bekal makan sahur bersama mereka pun kemudian bergegas pergi ke surau yang sudah tampak sepi, karena acara pengajian sudah bubar. Seperti biasa, mulai dari hari pertama hingga paroh pertama bulan Ramadan jumlah anak-anak dan remaja yang bermalam di surau dapat mencapai 15 orang. Masing-masing telah membawa bekal sendiri dari rumah untuk makan sahur. Setelah selesai melakukan makan sahur mereka tidur dan hingga tengah hari baru terbangun. Dengan demikian, anak-anak itu merasakan haus dan laparnya berpuasa hanya separoh hari saja. Untuk menunggu saat magrib dan berbuka puasa, mereka bermain berbagai macam dolanan tradisional yang tidak terlalu menguras tenaga, seperti permainan gundu, gambar ( “gaburan” atau “remi”), pathok lele, dan layang-layang. Pathok lele merupakan dolanan populer yang cukup digemari anak-anak, karena dapat dimainkan oleh banyak anak sekaligus. Alat dolanan pathok lele terdiri dari dua batang kayu berbentuk bulat panjang sebesar ibu jari kaki orang dewasa dengan ukuran panjang yang berbeda. Bahannya dibuat dari ranting jenis kayu keras, seperti pohon sawo. Cara memainkannya dengan memukulkan batang yang panjang pada batang yang lebih pendek. Pathok lele merupakan dolanan mengadu ketangkasan, tetapi sebenarnya cukup berbahaya, lebih-lebih bagi anak-anak. Suatu saat pernah terjadi seorang anak terpaksa harus kehilangan sebelah matanya karena terkena lemparan batang permainan itu. Sepanjang dua pertiga bagian pertama bulan puasa rasanya sungguh-sungguh merupakan hari-hari yang penuh kegiatan dan riang gembira, baik pada siang maupun malam hari.
Sampai akhirnya tiba malam-malam “likuran” atau disebut menanti datangnya “lailatul qadar”, mungkin juga karena faktor kelelahan, suasana yang tadinya meriah perlahan-lahan berubah menjadi lengang. Namun seperti layaknya sebuah tangga nada, saat sedikit hari lagi Hari Raya Iedul Fitri tiba suasana kembali semarak dan bergairah.
Pagi itu adalah puncak acara tahunan yang dinanti-nanti setelah satu bulan penuh umat muslim menunaikan ibadah puasa, yakni datangnya Hari Raya Iedul Fitri. Sejak matahari terbit anak-anak telah berkumpul di surau dengan pakaian necis dan serba baru yang hanya setahun sekali dibelikan, menunggu orang-orang dewasa selesai melaksanakan salat Ied Fitri di mesjid. Sesuai dengan tradisi setempat, usai melaksanakan salat Ied Fitri kegiatan acara dilanjutkan dengan mengadakan “slametan riyoyo” (Jawa, kenduri hari raya), yang diisi dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan makan ketupat lebaran bersama-sama. Sebentar lagi acara segera dimulai ketika tiba-tiba orang-orang dewasa dan anak-anak yang sudah sejak tadi berkumpul di serambi surau dikejutkan bercampur heran menyaksikan sebuah adegan layaknya dagelan saja. Seorang anak laki-laki sebayanya tampak menghambur dari rumahnya yang letaknya tak jauh dari surau, sambil menangis dan berteriak uring-uringan. Sementara kakak laki-lakinya yang sudah berusia dewasa berlarian menyusul dan mengejar adiknya hingga memasuki areal persawahan yang letaknya juga tak jauh dari surau. Rupanya sang adik merasa kesal dan malu karena dipaksa memakai baju lebaran bermotif lurik yang menurutnya mirip pakaian dalang wayang kulit. Orang-orang hnya bisa tersenyum kecut Maklum, untuk membelikan baju yang lebih baik orang tuanya kurang mampu. Dialah teman masa kecil pertama yang dikenal Rudy saat mulai bergaul dengan dunia luar. Kelak ketika ia harus pergi meninggalkan Lebo dan hijrah ke Salatiga untuk melanjutkan sekolah, kawan masa kecil itu turut mengantarkan sampai di meskipun cukup hanya sampai tempat menunggu kendaraan bus di Gringsing, Seperit tak mau berpisah dengan wajah memelas menahan sedih ia melepas keberangkatnya untuk waktu entah sampai kapan, hingga tak pernah bersua lagi.
Sungguhpun neneknya telah tiada, setiap Hari Raya Iedul Fitri tiba, empat orang saudara sekandung neneknya senantiasa meluangkan waktu untuk ujung (Jawa pesisir, silaturahim) dan bertandang ke rumah kakeknya. Dimulai sejak memasuki permulaan bulan Syawal (malam takbir) hingga sepanjang Hari Raya Iedul Fitri bahkan terkadang sampai menginjak esok harinya, mereka datang silih berganti secara berombongan bersama keluarga masing-masing. Pada saat yang sama para tetangga dan sebagian besar warga desa disertai anak-anak berdatangan untuk keperluan dan tujuan yang sama, sehingga suasana semakin ramai dan hiruk pikuk. Berbagai macam hidangan tradisional Lebaran telah dipersiapkan di atas meja tamu yang disusun memanjang, dan tak pernah ketinggalan jajanan khas Lebaran hasil kerajinan sendiri, seperti kue satru, tape ketan dan kacang goreng kupas. Satu hal yang menarik dan mengesankan adalah setiap tamu yang hadir tanpa kecuali, mulai dari orang tua, kaum muda, dan anak-anak, mencicipi dan menikmati hidangan yang disuguhkan dalam suasana penuh kegembiraan dan keakraban. Di bawah alam sadar, entah dari sudut atau faktor apa, ia merasa dirinya semacam daya tarik magnet di lingkungan keluarga besar Lebo. Oleh karenanya, dalam berbagai kesempatan ia acapkali diajak nenek atau kadang kakak sulungnya bertandang ke rumah salah satu famili, baik di desa Lebo maupun di desa lain, untuk silaturahim atau mungkin keperluan lain. Kesempatan demikian membuat dirinya lebih banyak mengenal dan dikenal bahkan kadang-kadang menjadi pusat perhatian di kalangan keluarga besar Lebo. Tanpa terasa kebiasaan seperti itu rupanya sangat mempengaruhi jiwa dan membentuk kepribadiannya. Hasrat besar dan kegemaran bersilaturahim itu terus mengalir dan bergelora dalam dada, baik sejak remaja maupun hingga dewasa. Salah satu manifestasinya adalah pada kesempatan hari libur sekolah ia pernah menyempatkan diri berkunjung untuk menjenguk keponakannya perempuan di rumah kosnya ketika ia tengah menempuh pendidikan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), di Semarang, saat ia masih sekolah di Yogyakarta.
Misteri dalam Horor
Di suatu malam, karena terlalu asyik sementara mata konsentrasi mencari belut tiba-tiba langkah mereka terhenti saat tatapan mata mereka tertumbuk pada sebuah ladang yang letaknya kira-kira satu meter lebih tinggi dari permukaan sawah. Selintas tercium bau semerbak bunga khas kematian membuat bulu kuduk seketika berdiri dan tubuh merinding. Mereka baru sadar kalau di pinggiran ladang tersebut terdapat sebuah kuburan tua milik keluarga dari penduduk Karanganyar, tetangga desa. Meskipun letak dusun itu berjarak dekat, tetapi penduduk Lebo pada umumnya jarang mengenal penghuninya yang sebagian besar merupakan petani marginal. Kelihatannya karena status sosial dan ekonomi membuat mereka seperti merasa rendah diri dan menjaga jarak dengan warga desa Lebo. Kuburan itu hanya berupa beberapa gundukan tanah dan nisan yang sudah tak terurus. Orang-orang mengatakan bahwa kuburan itu angker bahkan sering dibumbui cerita yang menakutkan. Suasana di sekeliling terasa sangat sepi, sementara nyala obor para pencari belut sudah tak tampak lagi. Sepertinya mereka sudah pulang lebih awal. Menyadari hal tersebut, tanpa menunggu aba-aba serentak mereka berbalik arah dan lari pontang-panting seraya meninggalkan tempat yang menyeramkan tersebut.
|
Panorama Pantura (2010) |
Nama dukuh Karanganyar mengingatkan pada sebuah cerita kejadian yang tak kalah menyeramkan. Suatu hari Mbah Sual, salah seorang famili yang tinggal di kaki pegunungan Dieng, berniat bepergian ke desa Lebo untuk bersilaturahim dengan sanak famili. Ia memang senang melakukan silaturahim dan menginap secara rutin dua atau tiga kali dalam setahun. Seperti biasa ia bertolak dari rumah selepas menunaikan salat Ashar. Tanpa berbekal apa pun kecuali pakaian kesukaannya yang melekat di badan, terdiri dari kain sarung “palekat” (sejenis lurik), baju koko warna putih yang dijahit model jas, dan sebuah peci hitam sedikit lusuh yang selalu menutupi kepalanya, ia berangkat dengan berjalan kaki. Tanpa disadari, hingga selepas magrib perjalanannya baru sampai di dukuh Karanganyar. Jalan dukuh itu memang merupakan jalan pintas yang biasa dipilih untuk menuju desa Lebo. Malam itu susana gelap pekat dan sangat sepi karena cuaca mendung. Sekali-sekali cahaya kilat menyala benderang menerangi bumi, diiringi gema suara guruh bersahut-sahutan dari kejauhan. Sementara hatinya sudah mulai dihinggapi perasaan waswas, tiba-tiba ia merasa seperti kehilangan arah. Menghadapi hal tersebut ia teringat petuah lama untuk berjongkok sejenak jika tersesat dalam perjalanan. Ketika sudah dalam posisi berjongkok beberapa detik kemudian kilat cahaya petir kembali berpendar menerangi bumi. Di bawah cahaya yang sekejap itu ia sempat melihat sebuah gundukan tanah dan nisan bertabur kembang yang masih segar di antara gundukan nisan bertabur kembang yang masih segar di antara gundukan dan nisan-nisan lainnya, persis di hadapannya. Dan ketika sekali lagi cahaya kilat memancar terang, ia segera menyadari kalau dirinya telah tersesat jalan dan terjebak di tengah kuburan. Di dukuh tersebut memang terdapat dua lokasi kuburan, satu terletak di pinggir lahan persawahan, dan lainnya di pinggir jalan desa. Meskipun sebenarnya ia termasuk orang yang tidak percaya tentang adanya hantu, namun menghadapi pengalaman misterius seperti itu hatinya cukup tergetar dan bergidik juga. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin ia dapat sampai di tengah kuburan tanpa kakinya terantuk pada gundukan tanah ataupun nisan yang bertebaran dimana-mana.
Dalam Dekapan Sabda Alam
Rudy masih berumur sekitar dua setengah tahun ketika jelang subuh ia terbangun karena kedinginan gara-gara hujan turun terus-menerus hampir tanpa henti selama sepekan ini. Ia menangis minta “genen” (Jawa, berapi di depan tungku) untuk melawan rasa dingin yang menggigit. Namun ia tak menggubris dan terus saja menangis meski sudah dibujuk agar bersabar menunggu beberapa saat karena pagi masih gelap. Tetapi mana mungkin anak seumur itu dapat mengerti dan ulahnya tersebut membuat sang ayah merasa kesal dan akhirnya melemparkan Rudy ke atas “amben” (Jawa, dipan besar) di ruang “lus” (Jawa, bangunan terbuka serba guna di bagian belakang rumah). Namun tak lama kemudian ibunya menghampirinya seraya membujuk dan menggendongnya menuju pintu belakang dapur. Di luar tampak suatu pemandangan yang luar biasa, sehingga membuatnya berhenti menangis. Melalui pintu dapur ia menyaksikan banjir mulai menggenangi halaman belakang, airnya mengalir deras sekali, kian lama kian bertambah tinggi. Seingatnya, itulah satu-satunya banjir besar yang pernah terjadi dan hampir menenggelamkan desa Lebo. Menjelang tengah hari, ketika banjir mulai surut dan di tengah hujan rintik-rintik, ia diajak salah seorang kakaknya untuk menengok keadaan di pinggiran desa. Ternyata banjirnya masih setinggi dada orang dewasa. Hatinya terpana dan merinding saat menyaksikan hamparan sawah yang luas sontak berubah seperti lautan. Tanggul rel kereta api cukup tinggi yang melintasi areal tersebut tenggelam tertutup banjir. Saat itu curah hujan memang sangat tinggi. Jika tiba musim penghujan tampak di bawah keteduhan pohon bermunculan mata air memancar deras laksana air mancur buatan di taman, bening sekali.Di hari-hari biasa, warga desa Lebo seperti lazimnya warga desa lain, agak jauh dari kesan masyarakat religius.
Azan ndeso rasa kota
Hal ini ditandai dengan sepinya surau dari kegiatan salat berjamaah, terutama bila telah masuk waktu salat subuh. Sebagian besar warga justru masih tertidur pulas. Hanya sayup-sayup dari kejauhan suara azan mengalun menembus kesunyian pagi buta. Seakan sebuah sindiran, begitu adzan selesai, malah kicau burung “det thing klong” —nama burung diambil dari tiruan suara kicauannya— yang terdengar bersaut-sautan. Beberapa saat kemudian terdengar suara hiruk pikuk kawanan kerbau melangkah berat menerjang liatnya kubangan lumpur di sepanjang tepi jalan utama desa Lebo. Demikian dalam kubangan tersebut sehingga menyentuh bagian bawah perut kerbau. Disertai suara hardikan si penggembala, kerbau-kerbau tersebut digiring menuju sawah untuk dipekerjakan sebagai penarik bajak. Sekali-sekali si penggembala memainkan cambuk sehingga mengeluarkan suara nyaring seperti bunyi petasan. Baru saja suara hiruk pikuk kawanan kerbau itu berlalu, menyusul serombongan pekerja berangkat menuju perkebunan Siluwok Sawangan seraya berceloteh ramai sekali. Namun keramaian itu hanya berlangsung sebentar, suasana kembali sepi. Seakan-akan jeda sebentar, saat matahari bergeser naik sekitar sepenggalah, muncul beraneka ragam jenis burung, seperti kepodang, prenjak, sikatan, seriginting, dan kutilang tampak terbang rendah kesana kemari di sekitar kebun dan halaman rumah, seraya mengeluarkan bermacam kicauan untuk mencari makan. Bila musim kemarau tiba, pada pagi menjelang siang hari ribuan kupu-kupu berwana kuning terbang berbondong-bondong, sebentar naik sebentar turun seperti tak ada putusnya, menyusuri jalan dari timur menuju ke barat. Pada sore harinya, kembali tampak ribuan kupu-kupu terbang dari barat menuju ke timur, dengan sayap berwarna warni menakjubkan. Tak jelas apakah kupu-kupu itu sama dengan kupu-kupu yang lewat tadi pagi atau bukan. Di bagian lain, hampir seluruh tanaman atau pepohonan di kebun menghasilkan buah-buahan, seperti sawo, jambu bol, blimbing, duwet, mundu, rambutan, asam jawa, nangka, nanas, bengkoang, gembili, dan lain-lain. Pohon kelapa menghasilkan buah yang berlimpah dan disimpan dengan cara digantungkan di dahan pohon sawo. Tak jarang sebagian dari buah kelapa itu terpaksa dibiarkan berkecambah, karena belum sempat diolah untuk dijadikan minyak goreng. Di samping itu, berbagai jenis ikan air tawar seperti lele, deleg, kutuk, wader, keting, bethik, udang mudak ditemukan di sepanjang sungai yang mengalir di seputar desa. Hanya sewaktu-waktu dan kalau perlu saja penduduk desa tertarik untuk mencari ikan dengan cara memancing atau “gogoh” (menggunakan tangan kosong). Air yang bersih dan melimpah mengalir sepanjang tahun di sungai irigasi yang dibuat dan dikelola oleh penduduk sendiri. Berbagai spesies burung, seperti bangau, kuntul, elang, trinil, derbombok, jalak berseliweran di sekitar petani yang sedang menggarap sawah. Suatu hari, kakak ipar sulungnya mengajaknya bersama istri dan keponakannya yang masih balita untuk berekreasi sambil menengok lahan tegal milik keluarga. Lokasi yang dituju adalah sebidang lahan perbukitan bertebing setinggi kira-kira lima belas meter menghadap stasiun kereta api Krengseng, sebuah desa sekitar tiga kilometer dari desa Lebo.
Sepeda egrang
Suasana di sekelilingnya terasa sunyi senyap. Hanya sekali-sekali dari kejauhan terdengar suara burung tekukur di sela-sela tanaman pohon singkong, sedang mencari makan. Ketika kakaknya mengangkat tubuh Rudy kecil tinggi-tinggi, sejauh mata memandang tampak hamparan luas tanaman padi menghijau, tanpa terhalang pepohonan maupun bangunan di bawahnya. Di areal itulah konon terletak sawah milik keluarga. Di bagian belakang tampak laut dengan warna airnya yang biru kehijauan berombak tenang. Di sudut lain, tampak jalur rel kereta api seperti dua garis membelah persawahan bersama tiang-tiang kabel telepon, ujungnya tampak menyatu dan hilang menembus rimbunnya pepohonan. Di sebelah kanan tampak desa Lebo, tanah tempat kelahirannya yang menyimpan sejuta cerita. Belum lagi habis rasa takjub menyaksikan pemandangan dari ketinggian, tiba-tiba muncul rangkaian beberapa gerbong kereta api dihela sebuah lokomotif berbahan bakar kayu menyusuri rel seraya cerobongnya mengepulkan asap tebal berwarna hitam. Sekali-sekali tampak asap putih menyembur diiringi bunyi melengking parau sebagai sinyal. Sebelum pulang mereka memetik buah manggis dari hasil tanaman sendiri sebagai oleh-oleh.
Di suatu hari Minggu ia diajak teman-teman sekampung berjalan-jalan dengan menunggang kerbau ke sebuah areal tegalan untuk menggembala ternak. Baru kali itu ia mengalami rasanya sendiri menunggang kerbau. Di kemudian hari pengalaman itu membuatnya terkesan pada mitos tentang Ken Arok sosok penguasa yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Semasa remaja ia juga pernah mengalami hidup sebagai seorang penggembala. Suatu hari tengah beristirahat seraya bertelekan di atas dahan sebuah pohon ia menyaksikan iring-ringan Ken Dedes, istri Akuwu Tunggul Ametung, duduk di dalam tandu disertai sejumlah prajurit dan pelayan melintas jalan. Sejenak iring-iringan itu tampak berhenti. Sementara dari atas dahan ia melihat Ken Dedes turun dari tandu, tanpa sengaja kain yang dikenakan sedikit tersingkap, sehingga terlihat pahanya yang putih dan mulus mempesona. Dan pada saat itulah konon, tiba-iba ia melihat seberkas cahaya memancar terang benderang dari balik pahanya. Sesaat Ken Arok terpukau, namun segera setelah tersadar diam-diam ia bersumpah pada diri sendiri bahwa suatu saat Ken Dedes akan menjadi miliknya. Pada pagi hari sekitar pukul sepuluh mereka berangkat menyusuri jalan melalui areal persawahan. Giliran pulang benar-benar ia merasa terhibur berkat suatu atraksi yang digagas teman- teman penggembala. Diawali beberapa teman mencengkeram telinga dan menahan seekor kambing “bandot” (jantan), sementara kambing-kambing lain dihardik agar berlari pulang lebih dahulu. Apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Kambing jantan itu memberontak dan terus meronta sekuat tenaga karena tak mau tertinggal teman-temannya terutama oleh kambing betina. Namun beberapa saat lamanya kambing jantan tersebut masih tetap ditahan dan belum dilepaskan, seraya menyuruh Rudy agar cepat-cepat naik ke atas punggungnya. Saatnya kambing “bandot” dilepaskan, tak ayal dalam hitungan detik “bandot” pun berlari kencang seperti berpacu tanpa mempedulikan beban di atas punggungnya untuk menyusul kawanan kambing lainnya. Dapat dibayangkan, sementara tubuhnya terguncang-guncang di atas punggung kambing sambil kedua tangan tetap berpegang era-erat pada kedua telinganya, ia merasakan sensasi yang sungguh mendebarkan yang memacu adrenalin.
Di kesempatan lain, bila cuaca sedang cerah dan bertepatan dengan bulan purnama, sejak petang banyak anak-anak dari seantero Lebo mulai berdatangan dan berkumpul di halaman rumahnya. Halaman yang cukup luas dengan hamparan rumput halus, membuat mereka betah bermain dolanan tradisional. Anak laki-laki bermain petak umpet (“rajanan”). Sementara anak-anak perempuan duduk berkumpul beralaskan tikar seraya memainkan aneka ragam permainan tradisional, seperti “thong-thong bolong” atau “jamuran”, “gobak sodor”, dan “ular-ular cabe”. Sementara ia sendiri memilih untuk berbaring terlentang di pinggiran tikar seraya terdiam matanya menatap keindahan cakrawala di bawah cahaya sejuk bulan purnama. Di kelak kemudian hari ia baru menyadari bahwa inilah sebenarnya sebuah berkah bagi penduduk yang tinggal di desa yang belum tentu dimiliki dan dinikmati oleh penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Setiap kali menatap bulan purnama mengingatkan anak-anak akan sebuah cerita mitos dari orang-orang tua bahwa garis samar-samar menyerupai kuda di permukaan bulan konon merupakan tunggangan sekaligus kuburan Hasan-Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Selain itu, tersiarnya berita bahwa manusia telah mampu menginjakkan kaki di bulan pada waktu itu bukan hanya dianggap sebagai sebuah omong kosong tetapi juga sebagai bentuk keangkuhan manusia terhadap kekuasaan Tuhan.
Masih dalam posisi berbaring ia melihat banyak sekali kunang-kunang, cahayanya berkelap-kelip kehijauan beterbangan kesana kemari.
|
Kunang-kunang di malam hari |
Sementara anak-anak lain tampak riuh rendah dalam gelak tawa diliputi perasaan riang gembira bermain hingga larut malam. Semuanya itu meninggalkan kenangan dan kesan yang tak mudah terlupakan. Ketika ia dan teman-teman sedang bermain “rajanan” (semacam petak umpet) ada satu kejadian diluar perkiraan dan membuatnya cukup menyesal. Seperti biasanya, radius persembunyian dolanan “rajanan” itu tidak terbatas dalam satu areal halaman rumah, tetapi meliputi hampir seluruh dukuh Lebo barat yang medannya memang sangat dikenali oleh anak-anak. Ketika itu ia sedang dikejar oleh salah satu kelompok lawan. sehingga dengan cepat ia berlari untuk menghindar. Di tengah situasi kejar mengejar itu ia ingat ada seutas tali jemuran terbuat dari ijuk yang terbentang di suatu halaman salah satu rumah penduduk yang akan dilalui. Pada detik-detik yang menentukan, ketika posisinya kira-kira tinggal satu meter, secepat kilat tubuhnya merunduk dan menerobos di bawah bentangan tali jemuran itu. Dan sesaat kemudian ia mendengar suara “gedebug” cukup keras seperti benda jatuh, membuat langkahnya sejenak terhenti dan menengok ke arah belakang. Apa yang terjadi di luar perkiraannya. Sekejap temannya yang mengejar jatuh terkapar tak berkutik dalam beberapa detik. Ia sempat mencoba membayangkan, lehernya terjerat tali seketika tubuhnya tertahan kemudian terpelanting dan terhempas ke atas tanah akibat dorongan tali yang melenting. Awalnya ia hanya berniat menguji kejelian dan ketangkasan teman, tetapi ketika menyaksikan akibatnya ia merasa kasihan dan sedikit menyesal juga. Di hari lain, karena terdesak ia pernah terpaksa memberanikan diri untuk bersembunyi di bawah kurung batang yang tersimpan di tengah kuburan desa. Ia tetap bertahan di sana saat mengetahui teman-teman berseliweran mencari persembunyiannya. Tetapi mereka tak berhasil menemukannya, sehingga kemudian mereka bergegas pergi. Sadar tertinggal dalam kesendirian, giliran dia yang ketakutan dan terpaksa buru-buru lari pontang-panting menjauhi areal kuburan.