PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 09, 2018

Sambungan ketiga: Sejarah Desa Lebo


Penari seni pertunjukan lais (di Cirebon, disebut sintren)







Hiburan Rakyat Bernuansa Magis

Banyak penduduk desa Lebo keranjingan “lais”, satu-satunya  tontonan dan hiburan rakyat yang dikenal di seantero perdesaan sejak beberapa dekade lalu. Lais merupakan sebuah pertunjukan tari tradisional bernuansa magis, semacam jailangkung berasal dari kesenian rakyat Cirebon. Pertunjukan diadakan hampir setiap malam, dan adakalanya berjalan hingga selama dua bulan. Pertunjukan lais merupakan tarian tunggal. Biasanya dimainkan oleh seorang yang masih gadis remaja, dengan iringan musik sejenis gamelan dibantu kendang dan  suling. Tarian lais digelar di lapangan terbuka sejak selepas maghrib dan disudahi hingga tengah malam. Permainan diawali dengan iringan sebuah tembang pembuka bernada melankolis dan syair mengandung kata-kata magis yang mampu menggugah rasa dan memikat jiwa:

Darno la luarno…
Tak bondo dosane opo…
Menyang sawah ora sangu sodo…
Widodari wis temuruno…


Artinya

Darno la luarno...
Terikat tangannya tak tahu apa salahnya…
Pergi ke sawah tidak berbekal sapu lidi…
Wahai bidadari turunlah segera…


Tak lama kemudian, seorang gadis berpakaian celana pendek, baju lengan pendek, dan kaca mata hitam berjalan menyeruak di tengah kerumunan penonton seraya digelandang oleh seorang pawang menuju arena pertunjukan. Di sana telah disiapkan sebuah kurungan ayam yang ditutup rapat dengan kain batik. Sang pawang  segera menyungkupkan kurungan ayam ke tubuh penari lais dalam posisi duduk bersila sementara kedua belah tangannya diikat kuat dengan seutas seraya dililitkan ke tubuhnya. Menyusul gumpalan asap dupa atau kemenyan berbau menyengat mengepul dan membubung ke udara, sebagai tanda sebuah ritual magis dimulai untuk mengundang kekuatan gaib. Sebuah tungku kecil berisi bara arang yang mengepulkan asap dari taburan serbuk dupa, dibawa berkeliling memutari arena. Tampak mulut sang pawang komat-kamit seperti sedang membacakan sebuah mantra, sehingga membuat penari lais menjadi “trans” atau setengah sadar. Segera setelah sungkup dibuka penari lais bangkit berdiri, masih berpakaian yang sama, menari dengan gerakan gemulai dengan wajah sedikit menunduk mengikuti irama musik. Lebih kurang lima belas menit sudah tarian pertama itu berlangsung, sang penari duduk bersila dan kurungan pun segera disungkupkan kembali. Sementara tungku kemenyan kembali dimainkan, sang pawang memasukkan beberapa lembar pakaian terdiri dari kain batik, kebaya dan tudung kepala menyerupai tokoh wayang perempuan dari kerajaan Amartapura, Sumbodro, ke dalam sungkup. Setelah ditunggu selama sekitar 10 menit sungkup kembali dibuka. Sungguh ajaib, penari lais yang masih tampak duduk bersila itu kini telah berganti kostum dengan mengenakan pakaian yang diberikan sang pawang dengan lengkap dan rapih. Penari lais pun lagi-lagi bangkit berdiri, dan memulai tarian kedua sesuai dengan irama dan syair tembang yang berbeda. Menginjak tengah malam, pertunjukan disudahi dengan sebuah tembang perpisahan bernada sendu:

Kembang awar-awar…
Disebar nang tengah latar…
Laise arep bubar
Laise arep bubar
Sing nonton wis arep jengkar…


Artinya

Kembang awa-awar..
Ditaburkan di tengah halaman…
Lais mau bubar..
Lais mau bubar…
Penonton sudah mau pulang...



Selama pertunjukan berlangsung setidaknya ada lima atau enam jenis tarian ditampilkan. Setiap kali akan berganti jenis tarian, setiap kali pula sang penari masuk ke dalam kurungan sebelum ia muncul kembali dengan jenis tarian yang berbeda dan iringan irama lagu yang berbeda. Suasana berubah riuh rendah terutama perempuan dan anak-anak dan berebut saling menghindar ketika penari lais menampilkan tarian “timbulan”. Dalam tarian ini penari lais berkeliling dengan gaya sedikit sempoyongan menyeruak di tengah kerumunan penonton dan secara acak memilih seseorang untuk di-”timbul” (semacam hipnotis), dengan cara memencet hidungnya. Benar saja, begitu hidungnya dipencet, seketika itu pula orang tersebut seperti kesurupan dan dapat disuruh untuk melakukan apa saja sesuai kehendak sang pawang sampai diperintahkan untuk berhenti. Babak tarian berikutnya menampilkan penari lais berkeliling menyambangi penonton untuk meminta “saweran” atau sumbangan uang secara sukarela. Dana yang terhimpun kemudian digunakan untuk membiayai pertunjukan dan menutupi sebagian kebutuhan hidup para awaknya.

Halaman: 1 2 3 4



Bersambung: Sambungan keempat
Kembali ke: Sambungan kedua

Simak Juga: