|
Penari seni pertunjukan lais (di Cirebon, disebut sintren) |
Hiburan Rakyat Bernuansa Magis
Banyak penduduk desa Lebo keranjingan “lais”, satu-satunya tontonan dan hiburan rakyat yang dikenal di seantero perdesaan sejak beberapa dekade lalu. Lais merupakan sebuah pertunjukan tari tradisional bernuansa magis, semacam jailangkung berasal dari
kesenian rakyat Cirebon. Pertunjukan diadakan hampir setiap malam, dan adakalanya berjalan hingga selama dua bulan. Pertunjukan lais merupakan tarian tunggal. Biasanya dimainkan oleh seorang yang masih gadis remaja, dengan iringan musik sejenis gamelan dibantu kendang dan suling. Tarian lais digelar di lapangan terbuka sejak selepas maghrib dan disudahi hingga tengah malam. Permainan diawali dengan iringan sebuah tembang pembuka bernada melankolis dan syair mengandung kata-kata magis yang mampu menggugah rasa dan memikat jiwa:
Darno la luarno…
Tak bondo dosane opo…
Menyang sawah ora sangu sodo…
Widodari wis temuruno…
Artinya
Darno la luarno...
Terikat tangannya tak tahu apa salahnya…
Pergi ke sawah tidak berbekal sapu lidi…
Wahai bidadari turunlah segera…
Tak lama kemudian, seorang gadis berpakaian celana pendek, baju lengan pendek, dan kaca mata hitam berjalan menyeruak di tengah kerumunan penonton seraya digelandang oleh seorang pawang menuju arena pertunjukan. Di sana telah disiapkan sebuah kurungan ayam yang ditutup rapat dengan kain batik. Sang pawang segera menyungkupkan kurungan ayam ke tubuh penari lais dalam posisi duduk bersila sementara kedua belah tangannya diikat kuat dengan seutas seraya dililitkan ke tubuhnya. Menyusul gumpalan asap dupa atau kemenyan berbau menyengat mengepul dan membubung ke udara, sebagai tanda sebuah ritual magis dimulai untuk mengundang kekuatan gaib. Sebuah tungku kecil berisi bara arang yang mengepulkan asap dari taburan serbuk dupa, dibawa berkeliling memutari arena. Tampak mulut sang pawang komat-kamit seperti sedang membacakan sebuah mantra, sehingga membuat penari lais menjadi “trans” atau setengah sadar. Segera setelah sungkup dibuka penari lais bangkit berdiri, masih berpakaian yang sama, menari dengan gerakan gemulai dengan wajah sedikit menunduk mengikuti irama musik. Lebih kurang lima belas menit sudah tarian pertama itu berlangsung, sang penari duduk bersila dan kurungan pun segera disungkupkan kembali. Sementara tungku kemenyan kembali dimainkan, sang pawang memasukkan beberapa lembar pakaian terdiri dari kain batik, kebaya dan tudung kepala menyerupai tokoh wayang perempuan dari kerajaan Amartapura, Sumbodro, ke dalam sungkup. Setelah ditunggu selama sekitar 10 menit sungkup kembali dibuka. Sungguh ajaib, penari lais yang masih tampak duduk bersila itu kini telah berganti kostum dengan mengenakan pakaian yang diberikan sang pawang dengan lengkap dan rapih. Penari lais pun lagi-lagi bangkit berdiri, dan memulai tarian kedua sesuai dengan irama dan syair tembang yang berbeda. Menginjak tengah malam, pertunjukan disudahi dengan sebuah tembang perpisahan bernada sendu:
Kembang awar-awar…
Disebar nang tengah latar…
Laise arep bubar
Laise arep bubar
Sing nonton wis arep jengkar…
Artinya
Kembang awa-awar..
Ditaburkan di tengah halaman…
Lais mau bubar..
Lais mau bubar…
Penonton sudah mau pulang...
Selama pertunjukan berlangsung setidaknya ada lima atau enam jenis tarian ditampilkan. Setiap kali akan berganti jenis tarian, setiap kali pula sang penari masuk ke dalam kurungan sebelum ia muncul kembali dengan jenis tarian yang berbeda dan iringan irama lagu yang berbeda. Suasana berubah riuh rendah terutama perempuan dan anak-anak dan berebut saling menghindar ketika penari lais menampilkan tarian “timbulan”. Dalam tarian ini penari lais berkeliling dengan gaya sedikit sempoyongan menyeruak di tengah kerumunan penonton dan secara acak memilih seseorang untuk di-”timbul” (semacam hipnotis), dengan cara memencet hidungnya. Benar saja, begitu hidungnya dipencet, seketika itu pula orang tersebut seperti kesurupan dan dapat disuruh untuk melakukan apa saja sesuai kehendak sang pawang sampai diperintahkan untuk berhenti. Babak tarian berikutnya menampilkan penari lais berkeliling menyambangi penonton untuk meminta “saweran” atau sumbangan uang secara sukarela. Dana yang terhimpun kemudian digunakan untuk membiayai pertunjukan dan menutupi sebagian kebutuhan hidup para awaknya.
Dikejar Hantu Pocong
Suatu malam seusai pertunjukan bubar seperti penonton lain Rudy bergegas hendak pulang ke rumah masing-masing. Tetapi ia baru tersadar setelah menengok ke kiri dan ke kanan rupanya teman-teman yang rumahnya searah dengannya diam-diam telah pulang lebih awal, sehingga ia merasa agak kesal juga ditinggalkan tanpa mengajaknya. Meskipun dibayang-bayangi perasaan takut, tetapi apa boleh buat akhirnya dia harus pulang sendirian. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak di desa, untuk menekan rasa takut ia mengenakan kain sarung yang kebetulan berwarna putih sebagai kerudung untuk menutup rapat-rapat seluruh tubuh kecuali kedua mata layaknya cadar. Sepanjang perjalanan suasananya sunyi senyap. Dengan sedikit menahan rasa takut di bawah cahaya redup bulan penuh ia terus berjalan. Hatinya sedikit lega ketika dari jarak kira-kira dua puluh meter di depan sayup-sayup terdengar suara dua tiga anak sedang mengobrol seraya berjalan menuju arahyang sama. Ketika rasa takut sedikit berkurang ia pun segera mmpercepat langkah guna mendekati mereka. Semula mereka tetap asyik mengobrol tanpa menyadari ada seseorang di belakang mereka. Namun ketika salah seorang dari mereka menengok ke belakang dan melihat sesosok orang tertutup kain putih sekujur tubuh, sontak ia berteriak sekeras-kerasnya: ”pocooong..!! pocooong..!” seraya mengambil langkah seribu. Mendengar teriakan tersebut teman-temannya terperanjat dan tanpa pikir panjang mereka pun langsung lari berhamburan menuju surau yang letaknya tak jauh dari tempat itu, untuk mencari perlindungan. Rudy sendiri yang sedari tadi masih belum hilang dari perasaan takut juga terkejut dan lari kencang menyusul mereka. Di luar dugaan, rupanya mereka mengira pocong itu sedang mengejar sehingga mereka semakin ketakutan dan mempercepat langkah hingga lari terbirit-birit. Setiba di suaru — langgar model lama berbentuk tinggi ditopang oleh sejumlah tiang penyangga dari kayu— mereka buru-buru menaiki tangga, dan saking takutnya, tak ayal kaki mereka terpeleset-peleset dan terbentur tangga. Mereka mendongkol dan bersungut-sungut seraya merasakan sakit karena memar dan sedikit berdarah di kaki ketika mengetahui bahwa pocong tersebut ternyata adalah Rudy.
Kucing mata duitan
Mendidik Anak Tempo Doeloe
Nenek sambungnya bercerita bahwa Budenya yang kala itu sedang beranjak usia remaja atau anak baru gede (ABG) juga tergolong keranjingan pertunjukan lais. Hampir tiap malam ia keluar rumah bersama teman sebayanya untuk menonton lais dan acapkali pulang hingga tengah malam. Meskipun sudah diperingatkan agar tidak sering-sering keluar malam, tetapi sepertinya peringatan itu tidak juga diindahkan. Ia masih saja kerap keluar rumah hingga larut malam. Ketika hal tersebut disampaikan kepada kakekku, muncul rencana untuk memberi pelajaran kepada anak perempuan sulungnya dengan cara “menangkap basah” (Operasi Tangkap Tangan atau OTT ala KPK) alias memergoki, dengan harapan agar anak gadis sulungnya kapok alias jera. Suatu malam kakek bersama neneknya sengaja menunggu saat yang tepat sambil mengintai di suatu titik tak jauh dari jendela kamar tidurnya. Tak lama berselang Bude yang berperawakan pendek dan mungil tampak mengendap-endap dalam keremangan mendekati jendela kamar tidurnya. Dengan bantuan sebuah bangku kecil yang telah disiapkan perlahan-lahan ia menaiki kusen jendela dan berusaha dengan cara meloncat masuk ke dalam kamar tidur. Namun baru saja ia naik dan bertengger di jendela dalam posisi setengah jongkok, tiba-tiba kakeknya muncul dan menghampiri seraya menghardik. Karuan saja ia terkejut bukan alang kepalang, dan saking kagetnya tanpa pikir lagi saat itu juga ia melompat terjun ke dalam ruang kamar. Dengan sekali loncat ia naik ke tempat tidur seraya buru-buru merebahkan diri dan berlagak seolah-olah sedang tertidur pulas. Menyaksikan adegan dan tingkah polah anak perempuan sulungnya tersebut kakek dan neneknya hanya tersenyum geli bercampur gemas. Maklum saja, pada masa itu anak gadis remaja desa kebanyakan masih mengenakan kain kebaya, sehingga dapat dibayangkan betapa repotnya aksi itu dilakukan. Karena jengah bercampur takut, semenjak kejadian itu Budenya tak pernah lagi keluar malam untuk menonton lais.
Beruang induk dan anaknya
Hidup dalam Pergolakan
Teror Pemberontakan Darul Islam (DI)
Saat itu musim panen baru saja usai. Sisa jerami yang masih tertinggal di sawah biasanya dibiarkan terjemur untuk beberapa waktu, sambil menunggu datangnya air dari sungai yang sedang dipersiapkan secara gotong royong oleh penduduk desa. Kondisi sawah tersebut kerapkali dimanfaatkan oleh pemilik bebek untuk menggembalakan ternaknya. Hari-hari itu tampak sekelompok penggembala bebek mendirikan pagar khusus untuk mengurung bebek dan gubuk untuk berteduh di sebuah areal persawahan. Penduduk desa tidak memperhatikan atau tampaknya kurang menaruh peduli terhadap daerah asal kelompok penggembala tersebut. Di suatu pagi orang-orang sekampung tiba-tiba gempar dan dikejutkan oleh kejadian yang cukup mengenaskan. Seorang anak remaja belia asal desa setempat tampak tergeletak sekarat di tengah jalan, dalam kondisi bersimbah darah yang sudah mulai mengering. Sebuah luka agak menganga bekas tusukan pisau terlihat di pinggir batang hidung dan menembus hingga langit-langit mulut. Ketika “usut punya usut” ternyata pelakunya adalah kelompok penggembala bebek yang sedang berkemah di areal persawahan tersebut.
Kabarnya, anak tersebut dituduh mencuri telor bebek milik mereka. Yang membuatnya terheran dan mengenas adalah reaksi penduduk desa, alih-laih marah malah ketakutan. Warga desa Lebo yang rata-rata berwatak toleran dan tak suka berbuat keributan apalagi kekerasan memang tak jarang disalahartikan sebagai suatu kelemahan. Tentang hal tersebut di kemudian hari ia teringat sebuah syair
bahasa Arabyang pernah diajarkan gurunya dan patut untuk direnungkan “
Barangsiapa yang marah kepada orang yang tidak pantas dimarahi, dia adalah setan. Dan barangsiapa yang tidak marah kepada orang yang pantas dimarahi, dia adalah keledai”.
Pistol gombyok
Senjata AK-47
Menurut cerita orang-orang desa, dalam beberapa bulan terakhir mereka seringkali mendapatkan teror dari gerombolan pemberontak Darul Islam (DI) yang berbasis di wilayah Jawa Barat. Diduga peristiwa penusukan tersebut merupakan bagian dari aksi teror yang dilakukan oleh anggota gerombolan DI atau malah mungkin pihak lain yang memanfaatkan situasi, tak seorang pun mengetahui persisnya. Aksi teror semakin menebarkan ketakutan dengan beredar mitos bahwa Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, sang pemimpin pemberontak konon memiliki kesaktian aji halimunan sehingga dapat menghilang secara tiba-tiba. Dikabarkan mereka juga kerapkali bertindak kejam terhadap warga yang berani membangkang. Penggembala bebek tersebut boleh jadi merupakan mata-mata gerombolan pemberontak DI. Mereka bertugas mencari informasi dan malam harinya menggarong harta orang yang dianggap memiliki harta kekayaan, dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai perjuangan. Salah satu sasaran yang pernah menjadi korban penggarongan hingga dua kali adalah kakak ipar sepupunya sendiri yang pada saat itu menjabat sebagai lurah desa Lebo. Satu kali ia pernah mencoba melakukan perlawanan, tetapi hampir saja celaka karena dikeroyok tiga orang dengan menggunakan senjata tajam. Beruntung ia memiliki badan yang tegap, sehingga ia selamat dan dapat meloloskan diri.
Teror Partai Komunis Indonesia (PKI)
Samar-samar ia teringat awal kehadiran Mas Oetoyo di tengah keluarganya untuk berkenalan dengan kakak perempuannya, Kiptiyah. Awalnya berkenalan dengan Moh. Yasak, kakaknya ketiga ditemani salah seorang kerabat bernama KH. Munawir. Beberapa kali Rudy diajak bermain ke rumah milik calon kakak iparnya yang belum lama didirikan dan dibangun tak jauh dari rumahnya. Cara yang ditempuh mengingatkannya pada Mas Munari pada awal berkenalan dengan kakak perempuannya yang kedua. Calon kakak iparnya itu juga mengajaknya bermain ke rumah sewaan di bilangan komplek perumahan milik perkebunan Siluwok Sawangan. Pada suatu malam selepas maghrib, secara kebetulan ia mendengar pembicaraan tentang lamaran dan rencana pernikahan kakaknya Kiptiyah dengan Mas Oetoyo. Setelah beberapa bulan berlalu baru ia mengetahui kalau kakak ipar barunya merupakan seorang pengikut dan aktivis organisasi massa Muhammadiyah. Di samping itu rupanya ia juga merupakan simpatisan dan aktivis Partai Masyumi yang cukup militan. Di halaman rumahnya terpampang papan nama Partai Masyumi tertulis Ketua Ranting yang sengaja dipasang di dekat jalan. Suatu saat pernah terlihat papan nama tersebut belepotan kotoran kerbau, sepertinya sengaja dilempari orang yang tidak menyukainya. Rudy pernah mendengar cerita bahwa ayahnya juga seorang simpatisan Partai Masyumi. Serunya, tetangga rumah kakak iparnya persis di seberang jalan merupakan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) tergolong militan juga. Seperti tak mau kalah bersaing, tetangga depan rumah itu juga memasang plang papan nama dan tercantum sebagai Ketua Ranting. Dalam musim kampanye menjelang pemilihan umum tahun 1955 rumahnya pernah digunakan untuk menggelar rapat umum yang dihadiri banyak anggota PKI yang berdatangan dari berbagai desa. Mereka datang dengan penuh semangat. Suasana menjadi riuh ketika rapat dimulai dengan suara lantang meneriakkan yel provokatif: “Bebbaaa…asss!! Bebbaasss…!!”. Lalu disambut oleh hadirin dengan suara serempak dan keras pula seraya mengepalkan dan mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi: “Bebbaaa…asss!! Bebbaasss…!!”. Hebatnya, meski suasana tegang terasa hingga ke pelosok desa, namun tidak pernah terjadi konflik horisontal.
Salah seorang pentolan PKI yang cukup militan dan agresif bernama Busmin yang tidak tamat SR dan bertempat tinggal persis di tetangga sebelah, di saat senggang terkadang datang ke surau dan menghampiri anak-anak seraya berujar: “Anak-anak! Coba buktikan kalau Tuhan itu ada, kalian minta tembakau semprul (jenis tembakau kualitas rendah, maksudnya untuk meledek). Mana buktinya? Apakah Tuhan mengasih?”. Mendengar ocehan tersebut anak-anak tidak menjawab dan hanya saling memandang mungkin karena bingung. Pada masa puncak kejayaannya tahun 1964 memasuki 1965 di beberapa daerah mereka melakukan aksi sepihak terkait dengan masalah kepemilikan lahan dan Undang-undang Land Reform. Sawah miliknya hasil pembagian harta warisan dari orang tua tak luput menjadi korban dan sasaran aksi sepihak. Salah seorang simpatisan atau anggota PKI yang orang tuanya pernah menjadi anak buah kakeknya tanpa seizinnya langsung menggarap sawah miliknya tersebut. Aksi sepihak tersebut sempat menimbulkan ketegangan dan hampir saja berujung pada bentrok fisik. Pasca meletusnya peristiwa G30S tokoh pentolan PKI tersebut konon kabarnya “diciduk” dan dikurung di gudang penggilingan padi bersama tahanan PKI lainnya. Sepanjang hari mereka disuruh berdiri di halaman beralaskan lembaran seng di bawah terik sinar matahari, hanya diberikan makan peretelan jagung mentah dan minum air dengan cara disiramkan sampai akhirnya mati serta tak diketahui kuburannya.
Krisis Politik dan Ekonomi
Sejak tahun pertama ia hijrah dan bermukim di Yogyakarta, Negara Indonesia tengah menghadapi masa-masa sulit dan krisis ekonomi yang kian hari tampaknya semakin memburuk. Ketegangan politik yang dilatarbelakangi perang dingin antara dua negara adikuasa Uni Soviet dan Amerika Serikat ditandai dengan meningkatkannya eskalasi dan meruncingnya persaingan antar kekuatan politik yang dipelopori Partai Komunis Indonesia (PKI) dan golongan Islam imbasnya benar-benar serius bahkan dirasakan hingga rakyat kecil. Saat itu PKI masih berkiblat [berporos] pada Negara Komunis Uni Soviet sebelum berpindah ke negara Cina. Salah satu kerjasama dalam bentuk uji coba penggunaan “endrin”, suatu bahan kimia buatan Uni Soviet, dengan maksud untuk memberantas hama tanaman, tetapi justru berbuah malapetaka yang akhirnya menjadikan Indonesia hanya sebagai kelinci percobaan. Gara-gara penggunaan racun serangga mematikan tersebut secara luas dan massif, mengakibatkan hampir seluruh jenis binatang serangga tanpa kecuali termasuk serangga yang membantu proses pembuahan, mati sia-sia dan musnah tak tersisa. Akibatnya berlarut-larut, selama tak kurang dari lima tahun kemudian segala macam tanaman buah, seperti pohon kelapa sama sekali tidak dapat lagi berbuah. Sementara hama tikus merajalela di mana-mana di samping hama wereng, sehingga banyak tanaman padi mengalami puso. Hampir seluruh jenis ikan di perairan sirna seperti menghilang ditelan bumi. Mungkin disebabkan karena ikan-ikan itu termakan serangga yang mati keracunan.
Tiap liburan sekolah ia selalu pulang ke Lebo. Suatu hari ia meminta neneknya untuk menyediakan hidangan, karena ia ingin mengajak makan bersama beberapa teman masa kecil di rumah. Tetapi di luar dugaan, dengan wajah memelas dan suara setengah berbisik, neneknya mengatakan bahwa hari itu tidak ada beras untuk dimakan. Sedangkan persediaan beras yang ada sudah dalam kondisi tak layak karena dikerumuni ulat. Untuk mencukupi kebutuhan terkadang terpaksa harus dicampur dengan jagung. Mendengar penuturan tersebut Rudy hanya dapat tersentak dan termangu karena tak dapat membayangkan bagaimana keadaan dan nasib masyarakat kelas bawah. Pertarungan politik dan perebutan pengaruh saat ini dampaknya sungguh sangat luas dan dirasakan hingga menjangkau kehidupan masyarakat kelas paling bawah. Berbeda dengan situasi politik yang terjadi menjelang pemilihan umum yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955 lalu. Selama musim kampanye masyarakat berbondong-bondong menghadiri rapat raksasa (sekarang rapat akbar), terutama rapat yang diselenggarakan oleh partai besar seperti Partai Nahdhotul Ulama (NU) dan PKI, penuh semangat dan gembira ria seperti layaknya menghadiri sebuah bazar. Mereka datang berduyun-duyun dengan berjalan kaki, tak peduli jauh jaraknya hingga melewati beberapa desa. Maklum saat itu trasportasi masih sulit. Giliran saat pencoblosan tiba, demi menjaga keamanan dan mencegah hal-hal yang tak diinginkan, setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) dalam radius seratus meter disterilkan dari segala macam jenis senjata, tak terkecuali senjata tajam. Peraturan seperti itu justru sempat menimbulkan kesan seakan-akan keadaan sedang gawat sehingga menciptakan perasaan tegang di tengah masyarakat.
1 komentar:
https://www.ecomparemo.com/credit-card