PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

November 11, 2018

Sambungan keempat: Sejarah Desa Lebo


Uji nyali



Prahara Kehidupan







Ujian Hidup Pertama

Suatu saat kadang ia merenung bahwa suratan takdir seakan telah menuntun dirinya masuk ke dalam pusaran prahara kehidupan. Prahara itu datang silih berganti menyambangi hidupnya bagaikan buih gelombang laut menerjang pantai. Hanya saja, satu hal patut disyukuri bahwa setinggi apapun gelombang cobaan hidup yang harus dilalui, ia senantiasa diberi kemampuan untuk menghadapi dan mengatasinya. Babak pertama cobaan itu datang saat ia duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD). Ia jatuh sakit berat terserang penyakit typhus. Kondisi fasilitas kesehatan pada umumnya yang minim saat itu, lebih-lebih di desa, menyebabkan sakitnya bertambah parah sehingga ia harus menghadapi pergulatan antara hidup dan mati. Bibinya yang masih terbilang famili meninggal dunia karena menderita sakit yang sama. Padahal bibinya itu jatuh sakit menyusul setelah lebih dulu menimpa dirinya. Perbandingan tersebut dapat menjadi gambaran betapa ganasnya penyakit thypus itu. Keadaan sakitnya cukup mengundang perhatian dan keprihatinan para orang tua. Namun demikian andai saja tidak ada nenek sambung yang merawat dirinya tanpa mengenal lelah, baik siang maupun malam, dengan tekun dan penuh kesabaran hingga pulih sehat walafiat, mungkin tulisan ini tak akan pernah ada.

Dari kiri ke kanan: Sri Wuryaningsih, Umiyati (mbah Umi, duduk memangku bayi), Indiyarto (dipangku), Amin Suyitno, Chairul Yanah


Foto ini secara kebetulan atau tak sengaja ternyata sarat dengan makna dan kenangan. Coba sejenak simak keterangan berikut ini.
  • Foto itu sendiri pada zaman itu hanya dapat dan memungkinkan untuk dibuat di sebuah studio foto di Weleri.
  • Untuk dapat membuat foto itu diperlukan kreativitas, kemauan (khususnya bude Yanah) dan kondisi keuangan yg relatif memadai. Mengingat profesi petani dari zaman dulu sampai sekarang pun secara finansial tidak pernah memiliki cukup nilai.
  • Pada waktu dan tempat yang sama Rudy juga diambil foto tersendiri. Foto itu dibuat gegara ia ngedrel (tidak boleh tidak) meminta agar rambutnya dikeriting..!! Kala itu ia memang keterlaluan manja sekali.. ! Pengambilan foto itu dimaksudkan sebagai pengganti dan penghibur, karena pada zaman itu untuk mengeriting rambut hanya tersedia dan dapat dilakukan di Semarang, dan hal itu tentu membutuhkan biaya yang lebih besar.
  • Setelah direnungkan kemudian, rupanya foto itu menjadi tonggak sejarah perjalanan hidup keluarga keturunan mbahGumuk/mbhDurahim, di mana foto tersebut ternyata menjadi simbol dan firasat bagi akhir dari keutuhan dan sekaligus awal dari pecah berantakan keluarga itu. Kini setelah lebih dari setengah abad, meskipun sebagian mulai menunjukkan tanda2 kebangkitan, namun yang pasti bukan keutuhan karena rasanya hal itu tidak akan mungkin terjadi dan terwujud kembali.


Masih terbayang dalam ingatan, setiap ia “anfal” (kambuh) dalam kondisi antara pingsan dan sadar karena temperatur badan naik hingga empat puluh derajat celcius membuat neneknya panik dan buru-buru memanggil kakak iparnya, Munari yang bekerja sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit, untuk memberi pertolongan darurat. Entah untuk kali ke berapa sudah ia mendapat suntikan obat sejenis penurun panas atau antibiotik. Dalam keadaan demikian, kadang-kadang ia merasa seperti sedang berada di sebuah dataran sangat luas di bawah cahaya putih kemilau terang sekali. Dari kejauhan ia melihat seperti seorang nenek mengajaknya untuk pulang, kemudian kabur tak jelas ujungnya. Selama menderita sakit tak kurang dari dua bulan ia hanya terbaring di tempat tidur. Cukup banyak tusukan jarum suntik membekas dan menyisakan bercak-bercak hitam di seputar lengan dan setelah lama baru bisa hilang.



Suatu hari bertepatan dengan musim panen, ingin sekali ia makan es lilin. Ia meminta  neneknya untuk membelikannya pada penjual es keliling yang biasa memangkal di depan rumah. Tetapi neneknya mencegah seraya mengingatkan bahwa makan es dapat mengakibatkan penyakitnya tak kunjung sembuh. Sebenarnya ia cukup dapat memahami, tetapi keinginannya mengalahkan nasihat itu. Dengan nada memelas dan mata berkaca-kaca ia berkata setengah berbisik di telinga neneknya: “Menjilat saja!”. Maksudnya, cukup dengan menjilat satu kali saja, sebagai “tombo kepingin” (obat penawar rindu). Mendengar rengekan memelas seperti itu neneknya tak sampai hati juga, sehingga kemudian ia meluluskan permintaan cucunya. Tak lama kemudian dalam hati ia bersorak gembira saat melihat neneknya datang  dengan sebuah es lilin di genggaman tangannya. Minggu demi minggu berlalu, ketika tanda-tanda kesembuhan mulai terasa, ia mencoba berdiri di atas tempat tidur setelah lebih dari dua bulan ia terbaring tak berdaya. Ia bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung, bumi serasa seperti berputar dan miring sembilan puluh derajat.

Halaman: 1 2 3 4 5 6



Bersambung: Sambungan kelima: Sejarah Desa Lebo
Kembali ke: Sambungan ketiga: Sejarah Desa Lebo

Simak Juga:




Posting Komentar