Uji nyali
Prahara Kehidupan
Ujian Hidup Pertama
Suatu saat kadang ia merenung bahwa suratan takdir seakan telah menuntun dirinya masuk ke dalam pusaran prahara kehidupan. Prahara itu datang silih berganti menyambangi hidupnya bagaikan buih gelombang laut menerjang pantai. Hanya saja, satu hal patut disyukuri bahwa setinggi apapun gelombang cobaan hidup yang harus dilalui, ia senantiasa diberi kemampuan untuk menghadapi dan mengatasinya. Babak pertama cobaan itu datang saat ia duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD). Ia jatuh sakit berat terserang penyakit typhus. Kondisi fasilitas kesehatan pada umumnya yang minim saat itu, lebih-lebih di desa, menyebabkan sakitnya bertambah parah sehingga ia harus menghadapi pergulatan antara hidup dan mati. Bibinya yang masih terbilang famili meninggal dunia karena menderita sakit yang sama. Padahal bibinya itu jatuh sakit menyusul setelah lebih dulu menimpa dirinya. Perbandingan tersebut dapat menjadi gambaran betapa ganasnya penyakit thypus itu. Keadaan sakitnya cukup mengundang perhatian dan keprihatinan para orang tua. Namun demikian andai saja tidak ada nenek sambung yang merawat dirinya tanpa mengenal lelah, baik siang maupun malam, dengan tekun dan penuh kesabaran hingga pulih sehat walafiat, mungkin tulisan ini tak akan pernah ada.
Dari kiri ke kanan: Sri Wuryaningsih, Umiyati (mbah Umi, duduk memangku bayi), Indiyarto (dipangku), Amin Suyitno, Chairul Yanah
Foto ini secara kebetulan atau tak sengaja ternyata sarat dengan makna dan kenangan. Coba sejenak simak keterangan berikut ini.
- Foto itu sendiri pada zaman itu hanya dapat dan memungkinkan untuk dibuat di sebuah studio foto di Weleri.
- Untuk dapat membuat foto itu diperlukan kreativitas, kemauan (khususnya bude Yanah) dan kondisi keuangan yg relatif memadai. Mengingat profesi petani dari zaman dulu sampai sekarang pun secara finansial tidak pernah memiliki cukup nilai.
- Pada waktu dan tempat yang sama Rudy juga diambil foto tersendiri. Foto itu dibuat gegara ia ngedrel (tidak boleh tidak) meminta agar rambutnya dikeriting..!! Kala itu ia memang keterlaluan manja sekali.. ! Pengambilan foto itu dimaksudkan sebagai pengganti dan penghibur, karena pada zaman itu untuk mengeriting rambut hanya tersedia dan dapat dilakukan di Semarang, dan hal itu tentu membutuhkan biaya yang lebih besar.
- Setelah direnungkan kemudian, rupanya foto itu menjadi tonggak sejarah perjalanan hidup keluarga keturunan mbahGumuk/mbhDurahim, di mana foto tersebut ternyata menjadi simbol dan firasat bagi akhir dari keutuhan dan sekaligus awal dari pecah berantakan keluarga itu. Kini setelah lebih dari setengah abad, meskipun sebagian mulai menunjukkan tanda2 kebangkitan, namun yang pasti bukan keutuhan karena rasanya hal itu tidak akan mungkin terjadi dan terwujud kembali.
Masih terbayang dalam ingatan, setiap ia “anfal” (kambuh) dalam kondisi antara pingsan dan sadar karena temperatur badan naik hingga empat puluh derajat celcius membuat neneknya panik dan buru-buru memanggil kakak iparnya, Munari yang bekerja sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit, untuk memberi pertolongan darurat. Entah untuk kali ke berapa sudah ia mendapat suntikan obat sejenis penurun panas atau antibiotik. Dalam keadaan demikian, kadang-kadang ia merasa seperti sedang berada di sebuah dataran sangat luas di bawah cahaya putih kemilau terang sekali. Dari kejauhan ia melihat seperti seorang nenek mengajaknya untuk pulang, kemudian kabur tak jelas ujungnya. Selama menderita sakit tak kurang dari dua bulan ia hanya terbaring di tempat tidur. Cukup banyak tusukan jarum suntik membekas dan menyisakan bercak-bercak hitam di seputar lengan dan setelah lama baru bisa hilang.
Suatu hari bertepatan dengan musim panen, ingin sekali ia makan es lilin. Ia meminta neneknya untuk membelikannya pada penjual es keliling yang biasa memangkal di depan rumah. Tetapi neneknya mencegah seraya mengingatkan bahwa makan es dapat mengakibatkan penyakitnya tak kunjung sembuh. Sebenarnya ia cukup dapat memahami, tetapi keinginannya mengalahkan nasihat itu. Dengan nada memelas dan mata berkaca-kaca ia berkata setengah berbisik di telinga neneknya: “Menjilat saja!”. Maksudnya, cukup dengan menjilat satu kali saja, sebagai “tombo kepingin” (obat penawar rindu). Mendengar rengekan memelas seperti itu neneknya tak sampai hati juga, sehingga kemudian ia meluluskan permintaan cucunya. Tak lama kemudian dalam hati ia bersorak gembira saat melihat neneknya datang dengan sebuah es lilin di genggaman tangannya. Minggu demi minggu berlalu, ketika tanda-tanda kesembuhan mulai terasa, ia mencoba berdiri di atas tempat tidur setelah lebih dari dua bulan ia terbaring tak berdaya. Ia bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung, bumi serasa seperti berputar dan miring sembilan puluh derajat.
Ujian Hidup Kedua
Proses masuk sekolah PGAP yang menguras perasaan belum lagi habis, ujian hidup babak kedua pun muncul. Bertepatan dengan liburan panjang bulan Ramadan menjelang kenaikan kelas dua PGAP, ia dikhitankan. Pada hari pelaksanaannya ia mencium gelagat kurang beres. Sepertinya kakak sulungnya memaksakan keadaan untuk mengadakan selamatan khitanan karena ingin menyenangkan hatinya. Mungkin ia pikir karena ia merupakan anak bungsu. Tidak ada yang menduga, selang waktu satu atau dua hari usai hajatan, secara mendadak kakaknya menunjukkan tingkah laku yang aneh, seperti orang gelisah dan kebingungan. Sorot matanya tampak asing dan garang, mulutnya komat-kamit seperti geram seraya berceloteh, tingkah laku yang tak pernah terlihat sebelumnya. Salah satu celotehnya adalah tiba-tiba ia mengharapkan Mbah Umi segera mati saja agar harta miliknya bisa diambil alih sebagai warisan. Mendengar serapah seperti itu, neneknya merasa amat bersedih seraya menahan tangis. Padahal setahunya ia tipe orang yang tabah dan tak mudah meneteskan air mata. Hari berikutnya, perilaku kakaknya semakin aneh sehingga membuat hati sekeluarga merasa pilu dan kebingungan. Betapa tidak, sambil mengenakan celana pendek, kaca mata hitam, topi (pet) dan sapu lidi di tangan, ia berjalan mondar mandir dan keluar masuk rumah, sambil mulutnya terus mengomel dan menunjukkan amarah kepada siapa saja yang hendak mencoba mencegahnya, termasuk kepada suaminya. Kadang ia berdiri di atas bangku kecil yang dibawa dan ditaruh di tengah halaman rumah. Bahkan kemudian ia menuju jalan desa di depan rumah, sambil menari dan bernyanyi di atas bangku yang dibawanya. Hari berikutnya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dengan kesepakatan keluarga dengan sangat terpaksa ia disekap di dalam kamar. Tetapi yang terjadi kemudian justru di luar dugaan. Tak disangka dan tak dinyana tiba-tiba ia sudah bergelantungan di karpus rumah dengan cara memanjat dinding kamar, seperti layaknya pemain akrobat! Semua kejadian yang sangat mendadak itu benar-benar telah membuat seluruh anggota keluarga “shock”. Di hari-hari yang kalut itu kedua keponakannya yang masih balita benar-benar bak anak ayam kehilangan induk. Mungkin karena pengaruh situasi kalut hampir satu bulan kemudian luka khitannya baru sembuh. Baginya, musibah yang dialami kakak sulungnya merupakan sebuah lonceng kematian dan berarti kehilangan besar, karena kecil kemungkinan untuk dapat pulih seperti sediakala. Beruntung hatinya segera terhibur dan bangkit dari keterpurukan karena waktunya lebih banyak di rantau untuk bersekolah. Ia menduga malapetaka yang menimpa kakaknya karena memikul beban moril di luar batas kemampuan dalam memikirkan kelangsungan hidup dan masa depan adik-adiknya. Di matanya ia bagaikan sebuah lilin. Cahayanya menerangi sekeliling, tetapi dirinya sendiri meleleh habis terbakar. Pengalaman itu mengingatkannya akan sebuah peristiwa yang cukup mengejutkan dan menggegerkan di kalangan masyarakat Lebo waktu itu. Suami dari adik bungsu neneknya juga mengalami seperti kehilangan ingatan. Ia menderita “shock” dan depresi berat konon gara-gara anak sulungnya tersangkut masalah hukum di tempat kerjanya di Jakarta. Sepanjang hari kerjanya keluyuran di sekitar desa, bertingkah laku aneh dan bicaranya mengawur dan mengacau.
Ujian Hidup Ketiga
Menginjak tahun kedua masa sekolah di Yogyakarta, ujian hidup ketiga kembali muncul. Satu hari jelang bulan Ramadan ia tengah mengobrol sambil minum teh bersama M.Yasak, kakaknya ketiga dan istrinya. Usia pernikahan mereka belum genap satu tahun dan belum dikaruniai anak. Di tengah asyik mengobrol tiba-tiba kakaknya merasa tidak enak badan, diikuti gejala “cegukan” seperti masuk angin. Mereka mulai gelisah karena cegukan terus menerus terjadi hampir tanpa jeda. Selang kira-kira dua jam kemudian cegukan berkurang, tetapi kemudian hampir setiap lima belas menit sekali ia mengalami muntah-muntah. Kejadiannya demikian cepat dan eskalatif. Menjelang Isya istrinya dengan muka pucat pasi tergopoh-gopoh keluar dari kamar untuk meminta bantuan, karena muntahnya sudah bercampur darah segar. Menginjak tengah malam muntahnya berubah menjadi gumpalan darah berwarna hitam. Hampir setiap jam sekali muntah itu terus terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan mengerikan sehingga membuat perasaan anggota keluarga yang hadir terguncang dan kebingungan bercampur kasihan, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Menjelang dini hari ia sempat melihat tubuh kakaknya yang cukup kekar seperti sudah kehabisan tenaga dan lemah sekali.
Malam itu ia terpaksa harus berangkat sendiri, karena tidak ada pilihan lain, menuju ke rumah mertua kakaknya yang letaknya tak begitu jauh untuk menyampaikan kabar buruk tersebut. Cuacanya mendung, langit tertutup awan hitam pekat membuat malam semakin gelap gulita. Hanya sekali-sekali tampak cahaya kilat menerangi bumi disusul suara guruh membahana dari kejauhan. Ia seperti sudah kebal dan terbiasa menghadapi sambaran kilat dan petir yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Seingatnya, sejak kecil ia memang tak pernah memiliki perasaan takut pada kilat dan petir, bahkan cenderung menikmatinya.
Proses masuk sekolah PGAP yang menguras perasaan belum lagi habis, ujian hidup babak kedua pun muncul. Bertepatan dengan liburan panjang bulan Ramadan menjelang kenaikan kelas dua PGAP, ia dikhitankan. Pada hari pelaksanaannya ia mencium gelagat kurang beres. Sepertinya kakak sulungnya memaksakan keadaan untuk mengadakan selamatan khitanan karena ingin menyenangkan hatinya. Mungkin ia pikir karena ia merupakan anak bungsu. Tidak ada yang menduga, selang waktu satu atau dua hari usai hajatan, secara mendadak kakaknya menunjukkan tingkah laku yang aneh, seperti orang gelisah dan kebingungan. Sorot matanya tampak asing dan garang, mulutnya komat-kamit seperti geram seraya berceloteh, tingkah laku yang tak pernah terlihat sebelumnya. Salah satu celotehnya adalah tiba-tiba ia mengharapkan Mbah Umi segera mati saja agar harta miliknya bisa diambil alih sebagai warisan. Mendengar serapah seperti itu, neneknya merasa amat bersedih seraya menahan tangis. Padahal setahunya ia tipe orang yang tabah dan tak mudah meneteskan air mata. Hari berikutnya, perilaku kakaknya semakin aneh sehingga membuat hati sekeluarga merasa pilu dan kebingungan. Betapa tidak, sambil mengenakan celana pendek, kaca mata hitam, topi (pet) dan sapu lidi di tangan, ia berjalan mondar mandir dan keluar masuk rumah, sambil mulutnya terus mengomel dan menunjukkan amarah kepada siapa saja yang hendak mencoba mencegahnya, termasuk kepada suaminya. Kadang ia berdiri di atas bangku kecil yang dibawa dan ditaruh di tengah halaman rumah. Bahkan kemudian ia menuju jalan desa di depan rumah, sambil menari dan bernyanyi di atas bangku yang dibawanya. Hari berikutnya, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dengan kesepakatan keluarga dengan sangat terpaksa ia disekap di dalam kamar. Tetapi yang terjadi kemudian justru di luar dugaan. Tak disangka dan tak dinyana tiba-tiba ia sudah bergelantungan di karpus rumah dengan cara memanjat dinding kamar, seperti layaknya pemain akrobat! Semua kejadian yang sangat mendadak itu benar-benar telah membuat seluruh anggota keluarga “shock”. Di hari-hari yang kalut itu kedua keponakannya yang masih balita benar-benar bak anak ayam kehilangan induk. Mungkin karena pengaruh situasi kalut hampir satu bulan kemudian luka khitannya baru sembuh. Baginya, musibah yang dialami kakak sulungnya merupakan sebuah lonceng kematian dan berarti kehilangan besar, karena kecil kemungkinan untuk dapat pulih seperti sediakala. Beruntung hatinya segera terhibur dan bangkit dari keterpurukan karena waktunya lebih banyak di rantau untuk bersekolah. Ia menduga malapetaka yang menimpa kakaknya karena memikul beban moril di luar batas kemampuan dalam memikirkan kelangsungan hidup dan masa depan adik-adiknya. Di matanya ia bagaikan sebuah lilin. Cahayanya menerangi sekeliling, tetapi dirinya sendiri meleleh habis terbakar. Pengalaman itu mengingatkannya akan sebuah peristiwa yang cukup mengejutkan dan menggegerkan di kalangan masyarakat Lebo waktu itu. Suami dari adik bungsu neneknya juga mengalami seperti kehilangan ingatan. Ia menderita “shock” dan depresi berat konon gara-gara anak sulungnya tersangkut masalah hukum di tempat kerjanya di Jakarta. Sepanjang hari kerjanya keluyuran di sekitar desa, bertingkah laku aneh dan bicaranya mengawur dan mengacau.
Ujian Hidup Ketiga
Menginjak tahun kedua masa sekolah di Yogyakarta, ujian hidup ketiga kembali muncul. Satu hari jelang bulan Ramadan ia tengah mengobrol sambil minum teh bersama M.Yasak, kakaknya ketiga dan istrinya. Usia pernikahan mereka belum genap satu tahun dan belum dikaruniai anak. Di tengah asyik mengobrol tiba-tiba kakaknya merasa tidak enak badan, diikuti gejala “cegukan” seperti masuk angin. Mereka mulai gelisah karena cegukan terus menerus terjadi hampir tanpa jeda. Selang kira-kira dua jam kemudian cegukan berkurang, tetapi kemudian hampir setiap lima belas menit sekali ia mengalami muntah-muntah. Kejadiannya demikian cepat dan eskalatif. Menjelang Isya istrinya dengan muka pucat pasi tergopoh-gopoh keluar dari kamar untuk meminta bantuan, karena muntahnya sudah bercampur darah segar. Menginjak tengah malam muntahnya berubah menjadi gumpalan darah berwarna hitam. Hampir setiap jam sekali muntah itu terus terjadi. Kejadiannya sangat cepat dan mengerikan sehingga membuat perasaan anggota keluarga yang hadir terguncang dan kebingungan bercampur kasihan, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Menjelang dini hari ia sempat melihat tubuh kakaknya yang cukup kekar seperti sudah kehabisan tenaga dan lemah sekali.
Malam itu ia terpaksa harus berangkat sendiri, karena tidak ada pilihan lain, menuju ke rumah mertua kakaknya yang letaknya tak begitu jauh untuk menyampaikan kabar buruk tersebut. Cuacanya mendung, langit tertutup awan hitam pekat membuat malam semakin gelap gulita. Hanya sekali-sekali tampak cahaya kilat menerangi bumi disusul suara guruh membahana dari kejauhan. Ia seperti sudah kebal dan terbiasa menghadapi sambaran kilat dan petir yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidupnya. Seingatnya, sejak kecil ia memang tak pernah memiliki perasaan takut pada kilat dan petir, bahkan cenderung menikmatinya.
Hujan lebat 30-05-2020 (di tengah pandemi covid-19)
Untuk melawan rasa takut ia mengenakan kain sarung layaknya cadar menutup seluruh badan, kecuali mata agar dapat melihat. Orang-orang sekampung sudah tertidur lelap ketika ia berjalan sendiri menembus gelapnya malam. Usai melaksanakan tugas berat tersebut, setiba di rumah ia masih harus kembali pergi di tengah kesunyian malam bersama kakak iparnya menuju rumah Mbah Beni, seorang kiai kharismatik masih terbilang famili juga untuk meminta doa dan “air kesembuhan”. Esok harinya, dalam kondisi infrastruktur jalan yang buruk dan sangat becek kakaknya sempat dibawa ke rumah sakit Kendal. Namun sungguh tragis, lagi-lagi karena kondisi pelayanan rumah sakit yang amat buruk, selama satu malam menginap rupanya sama sekali tidak seorang dokter pun yang menangani, sehingga jiwanya tak tertolong dan akhirnya meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Puncak dari tragedi itu terjadi, baik pada saat berangkat menuju rumah sakit maupun pulangnya. Karena kondisi jalan Lebo-Gringsing yang sangat becek, berlumpur dan licin di tengah hujan gerimis rintik-rintik, dia terpaksa harus digotong dengan menggunakan sebuah dipan terbuat dari bambu mirip tandu, mirip Jenderal Sudirman ketika melakukan long march bergerilya melawan penjajah Belanda.
Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, tampak ratusan orang, baik tua dan muda maupun anak-anak, datang berduyun-duyun dari hampir segenap penjuru desa Lebo menuju jalan desa. Dengan wajah tegang, cemas bercampur pilu, mereka berjajar dan berdesakan di sepanjang jalan seperti tak sabar menunggu untuk menyaksikan apa yang terjadi. Sebahagian dari mereka akan melayat, namun sebagian lain mungkin sekadar ingin tahu atau melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran berita duka yang mengejutkan itu. Sejak usia menginjak dewasa, baru kali pertama ini ia menyaksikan salah seorang anggota keluarga terdekat meninggal. Kematian kakaknya ketiga benar-benar telah meruntuhkan semangat hidup neneknya yang tidak dikaruniai anak itu. Hal itu dapat dimaklumi karena selama ini memang dialah yang mengasuh kakaknya sedari kecil dan dianggap sebagai anak sendiri. Musibah itu membuat neneknya terkulai lemas dan tertidur lama, sepertinya jatuh pingsan, dan baru siuman setelah tiga hari tiga malam kemudian. Seluruh keluarga benar-benar larut dalam kesedihan yang mendalam, terutama karena perasaan kehilangan besar sosok figur yang selama ini dianggap sebagai pengayom dan sumber semangat hidup keluarga. Ia sempat termenung dan bertanya dalam hati, mengapa ujian hidup setiap kali datang dan terjadi di (awal) bulan Ramadan. Hikmah apakah gerangan yang terkandung di dalamnya? Di samping itu, ibu dan kakak kedua meninggal juga karena mengalami penderitaan yang sama. Padahal setahunya, gangguan semacam itu bukan sejenis penyakit menurun. Belajar dari berbagai pengalaman ujian hidup yang dilakoni, maka sesungguhnya bahwa sebesar apapun ujian yang dihadapi akan diarasakan sebagai hikmah yang patut disyukuri sepanjang diberikan kemampuan untuk mengatasinya.
Waktu terus berjalan. Entah bagaimana mulanya, kakak ipar pertama yang pendiam itu dapat berkenalan dengan Pak Darussalam, seorang pedagang batik di pasar Weleri, sebuah kota kecil terdekat dari desanya. Rudy menduga kakak iparnya pernah bercurah hati kepada pedagang batik itu bahwa saat itu dia mendapat amanah berat dari almarhum ayah mertuanya untuk merawat dan membesarkan adik-adik iparnya, dan salah satunya adalah Rudy sebagai anak bungsu. Rupanya pedagang batik asal Klaten itu merupakan seorang pengikut setia organisasi massa keagamaan Muhammadiyah. Setiap pengikut ormas Islam terbesar setelah NU tersebut pada umumnya mengetahui pesan penting KH Ahmad Dahlan, sang pendiri, tentang kewajiban tiap muslim untuk tidak menelantarkan anak yatim. Sehingga ketika mendengar penuturan kakak iparnya, ia menyarankan agar Rudy, adik iparnya, didaftarkan untuk mengikuti ujian masuk sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) yang berlokasi di Salatiga. Meskipun ia telah menamatkan SR di Gringsing, tetapi ia terpaksa berpindah sekolah dan harus mengulang pelajaran kelas enam di sebuah SR di Weleri. Kelas enam ulangan ditempuh selama lebih kurang enam bulan seraya menunggu ujian masuk PGAP dilaksanakan.
Mohammad Yasak |
Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, tampak ratusan orang, baik tua dan muda maupun anak-anak, datang berduyun-duyun dari hampir segenap penjuru desa Lebo menuju jalan desa. Dengan wajah tegang, cemas bercampur pilu, mereka berjajar dan berdesakan di sepanjang jalan seperti tak sabar menunggu untuk menyaksikan apa yang terjadi. Sebahagian dari mereka akan melayat, namun sebagian lain mungkin sekadar ingin tahu atau melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran berita duka yang mengejutkan itu. Sejak usia menginjak dewasa, baru kali pertama ini ia menyaksikan salah seorang anggota keluarga terdekat meninggal. Kematian kakaknya ketiga benar-benar telah meruntuhkan semangat hidup neneknya yang tidak dikaruniai anak itu. Hal itu dapat dimaklumi karena selama ini memang dialah yang mengasuh kakaknya sedari kecil dan dianggap sebagai anak sendiri. Musibah itu membuat neneknya terkulai lemas dan tertidur lama, sepertinya jatuh pingsan, dan baru siuman setelah tiga hari tiga malam kemudian. Seluruh keluarga benar-benar larut dalam kesedihan yang mendalam, terutama karena perasaan kehilangan besar sosok figur yang selama ini dianggap sebagai pengayom dan sumber semangat hidup keluarga. Ia sempat termenung dan bertanya dalam hati, mengapa ujian hidup setiap kali datang dan terjadi di (awal) bulan Ramadan. Hikmah apakah gerangan yang terkandung di dalamnya? Di samping itu, ibu dan kakak kedua meninggal juga karena mengalami penderitaan yang sama. Padahal setahunya, gangguan semacam itu bukan sejenis penyakit menurun. Belajar dari berbagai pengalaman ujian hidup yang dilakoni, maka sesungguhnya bahwa sebesar apapun ujian yang dihadapi akan diarasakan sebagai hikmah yang patut disyukuri sepanjang diberikan kemampuan untuk mengatasinya.
Mengasah Intelektualitas
Tak Kenal Keluh Kesah dan Menyerah
Waktu terus berjalan. Entah bagaimana mulanya, kakak ipar pertama yang pendiam itu dapat berkenalan dengan Pak Darussalam, seorang pedagang batik di pasar Weleri, sebuah kota kecil terdekat dari desanya. Rudy menduga kakak iparnya pernah bercurah hati kepada pedagang batik itu bahwa saat itu dia mendapat amanah berat dari almarhum ayah mertuanya untuk merawat dan membesarkan adik-adik iparnya, dan salah satunya adalah Rudy sebagai anak bungsu. Rupanya pedagang batik asal Klaten itu merupakan seorang pengikut setia organisasi massa keagamaan Muhammadiyah. Setiap pengikut ormas Islam terbesar setelah NU tersebut pada umumnya mengetahui pesan penting KH Ahmad Dahlan, sang pendiri, tentang kewajiban tiap muslim untuk tidak menelantarkan anak yatim. Sehingga ketika mendengar penuturan kakak iparnya, ia menyarankan agar Rudy, adik iparnya, didaftarkan untuk mengikuti ujian masuk sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) yang berlokasi di Salatiga. Meskipun ia telah menamatkan SR di Gringsing, tetapi ia terpaksa berpindah sekolah dan harus mengulang pelajaran kelas enam di sebuah SR di Weleri. Kelas enam ulangan ditempuh selama lebih kurang enam bulan seraya menunggu ujian masuk PGAP dilaksanakan.
Jarak antara desa Lebo dan Weleri sekitar sepuluh kilometer ditempuh dengan kendaraan kereta api. Selepas salat subuh ia berangkat menuju stasiun kereta api Krengseng, ditemani kakak iparnya dan Kusno, sahabatnya. Dalam konteks budaya masyarakat waktu itu ia merasa bahwa hubungan dirinya dan Kusno dapat disebut lebih sebagai sublemasi antara staria dan punakawan dalam kisah wayang. Setelah satu bulan berjalan kakak iparnya tidak lagi ikut mengantarkan, karena dianggap cukup ditemani Kusno. Saat pulang sekolah ia naik delman, satu-satunya kendaraan yang dapat ditumpangi untuk pulang. Sehingga setiap hari setelah masuk waktu ashar baru ia tiba di rumah. Meskipun dengan bekal uang saku ala kadarnya —-meskipun hanya cukup untuk membeli minuman dan makanan kecil, tetapi jarang terganggu perasaan lapar — dengan tabah perjalanan menuntut ilmu itu tetap ditempuh tanpa banyak mengeluh dan mengenal kata menyerah.
Saat itu sedang musim penghujan. Dalam keadaan hujan gerimis ia bersama sahabatnya berangkat memakai payung yang nantinya akan dibawa pulang bersama Kusno. Tetapi kira-kira delapan puluh meter menjelang tiba di stasiun, ternyata kereta api sudah bercokol di stasiun bahkan kepala stasiun terdengar sudah membunyikan peluit sebagai tanda kereta api siap untuk diberangkatkan. Karuan saja mereka kaget bukan alang kepalang. Ketika kereta api mulai bergerak perlahan-lahan mereka pun panik kemudian terbirit-birit berlari dengan posisi melawan arah jalannya kereta menyusur rel di sebelahnya, supaya tidak ketinggalan kereta. Rudy sendiri sambil berlari-lari kecil dengan cepat tangannya menggamit pegangan tangan di pintu masuk kereta, seraya melompat dan naik di tangga kereta. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan langsung membentur dinding pintu kereta. Aksi akrobatik tersebut sempat mengundang reaksi petugas stasiun dan mereka sempat berteriak untuk mencegah, tetapi kereta api terus berjalan. Beberapa saat setelah berada di dalam kereta, dengan nafas masih terengah-engah, baru ia menyadari kalau payung masih berada dalam genggaman tangannya. Menyadari hal tersebut, dengan tergopoh-gopoh ia memanggi-manggil Kusno dengan suara keras sambil mengayun-ayunkan payung di pinggir pintu bordes. Tetapi sahabatnya tampak asyik berjalan dengan kepala menunduk, sepertinya tak mendengar suara panggilannya. Dalam detik-detik yang menegangkan tiba-tiba payung yang terbuat dari kertas dan kayu terbuka lebar akibat terpaan angin kencang. Tak ayal, tanpa menunggu lama payung segera dilepaskan. Akibatnya payung berputar-putar seperti baling-baling sebelum akhirnya jatuh tersungkur di atas pinggiran rel. Sementara melanjutkan perjalanan ia tersenyum sendiri sambil membayangkan kemungkinan nasib payungnya. Namun di sore harinya sepulang dari sekolah ia terkejut, ternyata payung tersebut telah berada di rumah. Sahabatnya bercerita, saat kejadian lucu pagi tadi rupanya ada seorang ibu yang tengah menjemur cucian pakaian di halaman rumahnya memberitahukan padanya bahwa seseorang anak telah menjatuhkan payung dari atas kereta api.
Sampai waktunya tiba Rudy mengikuti testing penerimaan siswa baru ikatan dinas (sekarang beasiswa) di sekolah PGAP, diselenggarakan oleh Departemen Agama RI. Pada masa itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI juga menyelenggarakan program sekolah ikatan dinas untuk Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA). Selama dua hari mengikuti ujian masuk ia bersama M. Taslim, anak Pak Darussalam, bermalam di rumah seorang anggota DPRD di Jl. Waluyo, Kendal. Ketika tiba saatnya keluar pengumuman hasil ujian dan ia dinyatakan lulus, ali-alih bergembira justru hatinya diliputi perasaan gelisah dan cemas. Hal tersebut karena baginya sama artinya ia harus berpisah jauh dari sanak keluarga dan desa kelahiran yang dicintai selama ini. Lebih-lebih, pasal perjanjian ikatan dinas yang mewajibkan penerimanya setelah lulus nanti untuk siap dan bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia, benar-benar mengganggu pikiran dan menjadi beban perasaannya. Maklum, kala itu jangankan merantau sampai menyeberang laut, bepergian ke kota kecil terdekat seperti Weleri saja bagi orang-orang dewasa apalagi anak-anak tidak tentu setahun sekali. Setelah dewasa kelak, diam-diam ia menaruh rasa kagum sekaligus apresiasi kepada Yanah, kakak sulungnya. Meskipun hanya tamatan kelas tiga SR namun ia mampu memberikan motivasi dan membujuk hatinya sehingga adiknya mau dan bersedia untuk mengambil status ikatan dinas tersebut. Tibalah waktunya usai Hari Raya Iedul Fitri pada tahun 1957 Rudy harus berangkat menuju kota Salatiga dan bermukim di sana untuk melanjutkan sekolah tingkat menengah pertama di PGAP yang ditempuh selama empat tahun.
Baginya dan mungkin teman-teman sekolahnya merasakan hal yang sama tentang kota Salatiga yang menyimpan sejuta kenangan indah tak terlupakan. Deretan pohon mahoni besar yang sudah berumur puluhan tahun tertanam di kiri dan kanan sepanjang jalan Tuntang membuat kota Salatiga semakin sejuk. Sekalipun jalan tersebut merupakan jalan protokol dan jalan penghubung antara kota Semarang dan Solo, namun demikian suasana lalu lintas terasa lengang dan hanya sesekali mobil berjalan melenggang. Maklum, populasi kendaraan memang masih belum begitu banyak seperti yang terjadi pada beberapa dasawarsa kemudian. Karena jumlah ruang kelas terbatas murid kelas satu mendapat jadwal belajar pada siang hari dimulai selepas salat dhuhur dengan menyewa gedung sekolah milik SGB yang letaknya jauh dari rumah kos. Giliran pulang di sore hari menjelang maghrib murid-murid berlarian agar tiba di rumah kos sebelum gelap. Sepanjang perjalanan menuju pulang terdengar suara binatang tonggeret, keras bersahut-sahutan dan baru berhenti setelah hari gelap. Selama empat tahun sekolah di PGAP ia senantiasa teringat dan terkesan pada Pak Jumadi, guru pelajaran bahasa daerah. Wajahnya selalu tampak tersenyum. Jalannya lemah gemulai seperti seorang seniman tari, pandai bercerita dan melantunkan tembang suluk Jawa layaknya dalang. Sayang, ia tidak lama mengajar di sana karena kabarnya dimutasi ke sekolah PGAP di kota lain.
Suatu saat di kota Salatiga dibangun sebuah terminal bus yang dikabarkan sebagai termodern di Indonesia. Sebenarnya terminal tersebut merupakan sebuah bangunan gedung kantor berlantai dua, dilengkapi atap yang memanjang dan ditopang sejumlah tiang konstruksi beton cor sebagai tempat persinggahan bus dengan kapasitas sekitar sepuluh buah kendaraan sekaligus. Terminal tersebut dianggap modern dan unik mungkin karena dibangun di sebuah lembah kecil sedalam sekitar empat meter di bawah permukaan jalan. Bagaimanapun sebutan modern itu boleh jadi memang layak untuk disematkan, jika dibandingkan dengan terminal bus di kota Semarang yang hanya berbentuk emperan plat logam berukuran 10x20 meter dan disangga oleh beberapa pilar besi. Terminal bus tersebut terletak persis di seberang jalan Pasar Johar, sebuah pasar terbesar di pusat kota provinsi tersebut. Selaras dengan tahap kemampuan pikir dan daya upaya manusia pada zamannya, mesjid Syuhada di kawasan Kota Baru, Yogyakarta, juga pernah dijuluki sebagai mesjid modern yang dalam beberapa kurun waktu sempat menjadi pusat perhatian dan menarik minat banyak pungunjung wisata dari berbagai daerah. Kesan mesjid Syuhada baginya adalah saat ia mengikuti kursus qiroah (membaca indah) Alquran dengan guru-guru pemenang juara qiroah sebagai staf pengajarnya. Di samping itu, di tengah kesibukan belajar ia juga masih dapat mengikuti kursus joget di balai Langenbudoyo.
Saat itu sedang musim penghujan. Dalam keadaan hujan gerimis ia bersama sahabatnya berangkat memakai payung yang nantinya akan dibawa pulang bersama Kusno. Tetapi kira-kira delapan puluh meter menjelang tiba di stasiun, ternyata kereta api sudah bercokol di stasiun bahkan kepala stasiun terdengar sudah membunyikan peluit sebagai tanda kereta api siap untuk diberangkatkan. Karuan saja mereka kaget bukan alang kepalang. Ketika kereta api mulai bergerak perlahan-lahan mereka pun panik kemudian terbirit-birit berlari dengan posisi melawan arah jalannya kereta menyusur rel di sebelahnya, supaya tidak ketinggalan kereta. Rudy sendiri sambil berlari-lari kecil dengan cepat tangannya menggamit pegangan tangan di pintu masuk kereta, seraya melompat dan naik di tangga kereta. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan langsung membentur dinding pintu kereta. Aksi akrobatik tersebut sempat mengundang reaksi petugas stasiun dan mereka sempat berteriak untuk mencegah, tetapi kereta api terus berjalan. Beberapa saat setelah berada di dalam kereta, dengan nafas masih terengah-engah, baru ia menyadari kalau payung masih berada dalam genggaman tangannya. Menyadari hal tersebut, dengan tergopoh-gopoh ia memanggi-manggil Kusno dengan suara keras sambil mengayun-ayunkan payung di pinggir pintu bordes. Tetapi sahabatnya tampak asyik berjalan dengan kepala menunduk, sepertinya tak mendengar suara panggilannya. Dalam detik-detik yang menegangkan tiba-tiba payung yang terbuat dari kertas dan kayu terbuka lebar akibat terpaan angin kencang. Tak ayal, tanpa menunggu lama payung segera dilepaskan. Akibatnya payung berputar-putar seperti baling-baling sebelum akhirnya jatuh tersungkur di atas pinggiran rel. Sementara melanjutkan perjalanan ia tersenyum sendiri sambil membayangkan kemungkinan nasib payungnya. Namun di sore harinya sepulang dari sekolah ia terkejut, ternyata payung tersebut telah berada di rumah. Sahabatnya bercerita, saat kejadian lucu pagi tadi rupanya ada seorang ibu yang tengah menjemur cucian pakaian di halaman rumahnya memberitahukan padanya bahwa seseorang anak telah menjatuhkan payung dari atas kereta api.
Dengan Beasiswa Menggapai Asa
Sampai waktunya tiba Rudy mengikuti testing penerimaan siswa baru ikatan dinas (sekarang beasiswa) di sekolah PGAP, diselenggarakan oleh Departemen Agama RI. Pada masa itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI juga menyelenggarakan program sekolah ikatan dinas untuk Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA). Selama dua hari mengikuti ujian masuk ia bersama M. Taslim, anak Pak Darussalam, bermalam di rumah seorang anggota DPRD di Jl. Waluyo, Kendal. Ketika tiba saatnya keluar pengumuman hasil ujian dan ia dinyatakan lulus, ali-alih bergembira justru hatinya diliputi perasaan gelisah dan cemas. Hal tersebut karena baginya sama artinya ia harus berpisah jauh dari sanak keluarga dan desa kelahiran yang dicintai selama ini. Lebih-lebih, pasal perjanjian ikatan dinas yang mewajibkan penerimanya setelah lulus nanti untuk siap dan bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia, benar-benar mengganggu pikiran dan menjadi beban perasaannya. Maklum, kala itu jangankan merantau sampai menyeberang laut, bepergian ke kota kecil terdekat seperti Weleri saja bagi orang-orang dewasa apalagi anak-anak tidak tentu setahun sekali. Setelah dewasa kelak, diam-diam ia menaruh rasa kagum sekaligus apresiasi kepada Yanah, kakak sulungnya. Meskipun hanya tamatan kelas tiga SR namun ia mampu memberikan motivasi dan membujuk hatinya sehingga adiknya mau dan bersedia untuk mengambil status ikatan dinas tersebut. Tibalah waktunya usai Hari Raya Iedul Fitri pada tahun 1957 Rudy harus berangkat menuju kota Salatiga dan bermukim di sana untuk melanjutkan sekolah tingkat menengah pertama di PGAP yang ditempuh selama empat tahun.
Salatiga tempoe doeloe |
Baginya dan mungkin teman-teman sekolahnya merasakan hal yang sama tentang kota Salatiga yang menyimpan sejuta kenangan indah tak terlupakan. Deretan pohon mahoni besar yang sudah berumur puluhan tahun tertanam di kiri dan kanan sepanjang jalan Tuntang membuat kota Salatiga semakin sejuk. Sekalipun jalan tersebut merupakan jalan protokol dan jalan penghubung antara kota Semarang dan Solo, namun demikian suasana lalu lintas terasa lengang dan hanya sesekali mobil berjalan melenggang. Maklum, populasi kendaraan memang masih belum begitu banyak seperti yang terjadi pada beberapa dasawarsa kemudian. Karena jumlah ruang kelas terbatas murid kelas satu mendapat jadwal belajar pada siang hari dimulai selepas salat dhuhur dengan menyewa gedung sekolah milik SGB yang letaknya jauh dari rumah kos. Giliran pulang di sore hari menjelang maghrib murid-murid berlarian agar tiba di rumah kos sebelum gelap. Sepanjang perjalanan menuju pulang terdengar suara binatang tonggeret, keras bersahut-sahutan dan baru berhenti setelah hari gelap. Selama empat tahun sekolah di PGAP ia senantiasa teringat dan terkesan pada Pak Jumadi, guru pelajaran bahasa daerah. Wajahnya selalu tampak tersenyum. Jalannya lemah gemulai seperti seorang seniman tari, pandai bercerita dan melantunkan tembang suluk Jawa layaknya dalang. Sayang, ia tidak lama mengajar di sana karena kabarnya dimutasi ke sekolah PGAP di kota lain.
Suatu saat di kota Salatiga dibangun sebuah terminal bus yang dikabarkan sebagai termodern di Indonesia. Sebenarnya terminal tersebut merupakan sebuah bangunan gedung kantor berlantai dua, dilengkapi atap yang memanjang dan ditopang sejumlah tiang konstruksi beton cor sebagai tempat persinggahan bus dengan kapasitas sekitar sepuluh buah kendaraan sekaligus. Terminal tersebut dianggap modern dan unik mungkin karena dibangun di sebuah lembah kecil sedalam sekitar empat meter di bawah permukaan jalan. Bagaimanapun sebutan modern itu boleh jadi memang layak untuk disematkan, jika dibandingkan dengan terminal bus di kota Semarang yang hanya berbentuk emperan plat logam berukuran 10x20 meter dan disangga oleh beberapa pilar besi. Terminal bus tersebut terletak persis di seberang jalan Pasar Johar, sebuah pasar terbesar di pusat kota provinsi tersebut. Selaras dengan tahap kemampuan pikir dan daya upaya manusia pada zamannya, mesjid Syuhada di kawasan Kota Baru, Yogyakarta, juga pernah dijuluki sebagai mesjid modern yang dalam beberapa kurun waktu sempat menjadi pusat perhatian dan menarik minat banyak pungunjung wisata dari berbagai daerah. Kesan mesjid Syuhada baginya adalah saat ia mengikuti kursus qiroah (membaca indah) Alquran dengan guru-guru pemenang juara qiroah sebagai staf pengajarnya. Di samping itu, di tengah kesibukan belajar ia juga masih dapat mengikuti kursus joget di balai Langenbudoyo.
Membayar Hutang Budi
Di Salatiga ia kost (dulu disebut indekos) bersama sepuluh sesama anak sekolah di sebuah keluarga yang memang biasa menerima dan mengurusi anak-anak sekolah dari luar kota. Rudy menempati satu kamar bersama tiga teman lain termasuk M.Taslim anak Pak Darussalam, yang di kemudian hari baru disadari bahwa baginya dia adalah malaikat penolong. Setelah hampir satu tahun tinggal bersama sebelas anak di dalam pondokan, pada suaru pagi di hari libur M.Taslim tiba-tiba menangis tersedu karena dompet berisi uang untuk membayar biaya bulanan indokos raib. Teman-teman yang mengetahui hal tersebut segera ikut membantu mencarinya di sudut-sudut kamar, tetapi tak juga dapat ditemukan. Rudy menaruh curiga pada salah seorang anak pondokan yang umurnya memang lebih tua dan perawakannya kelihatan lebih dewasa sebagai pengambilnya. Sejak kecil dia memang seperti memiliki perasaan yang tajam. Akhirnya Rudy yang sebenarnya berperawakan kecil dibandingkan dengan beberapa teman lainnya mengambil inisiatif dengan mengundang semua kawan sepondokan untuk berkumpul di ruang tamu. Dari dalam kamar ia membawa segelas air putih dan diletakkan di atas meja di hadapan teman-teman yang sudah berkumpul. seraya berkata: “Teman-teman, apabila kalian tidak merasa menyembunyikan atau mengambil dompet silakan minum air putih ini. Tetapi bagi yang melakukan jangan coba-coba, karena akan muntah darah..!”.Mendengar pemberitahuan tersebut mereka terdiam sejenak dan hanya saling memandang satu dengan yang lain. Tiba-tiba anak yang dicurigai menyahut: “Coba dicari dulu lagi..!” seraya beranjak ke dalam kamarnya. Teman-teman lain mengikuti dan menyusul dari belakang. Dalam hati Rudy tersenyum seraya tertegun sendiri menyaksikan mereka percaya pada omongannya. Tak lama kemudian dompet yang hilang berhasil ditemukan, tersembunyi di atas lobang plafon. Rumah pondokan tersebut memang terbuat dari dinding papan dan plafonnya yang rendah terbuat dari bilik bambu, sehingga mudah dijangkau. Kelak di kemudian hari Rudy merasa bahwa kejadian tersebut merupakan satu-satunya kenangan pertama dan terakhir, yang tanpa sengaja ternyata seakan menjadi cara dan jalan baginya untuk membayar hutang budi pada ayahnya, Pak Darussalam. Karena kesibukan masing-masing semenjak itu Rudy dan M.Taslim jarang berinteraksi dan hingga buku ini diterbitkan tak pernah bersua lagi. Rudy memang sangat terkesan dan senantiasa tertanam dalam jiwanya ketika mendengarkan uraian guru mata palajaran bahasa Indonesia mengenai makna sebuah peribahasa yang menurutnya merupakan puncak dari ajaran budi pekerti dalam budaya Nusantara yang berbunyi: “Hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati”.
Koresponden di Tengah Pra-Perang Dingin AS dan US
Ketika naik kelas dua ia sangat tertarik dengan sistem kerja kantor pos. Hatinya senang sekali ketika menerima kiriman uang melalui wesel pos dari kampung halaman. Meskipun dari uang bekal dari ikatan dinas sebesar Rp110 untuk membayar biaya indekos sebesar Rp90 per bulan sudah termasuk mendapat makan tiga kali sehari, sehingga masih tersisa untuk uang saku sebesar Rp20, sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup. Tetapi kadang-kadang ia masih meminta kiriman uang dari kampung, dan biasanya ia mendapat kiriman sebesar Rp25. Ketertarikannya pada sistem kerja kantor pos mendorongnya untuk berlangganan majalah terbitan USIS dari Kedutaan Besar Amerika dan Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta yang tengah berlomba dan gencar melancarkan propaganda, cukup dengan mengisi sebuah formulir yang disediakan dan dikirimkan melalui kantor pos. Sehingga kemudian cukup banyak majalah dengan teknik cetak yang mewah dan berwarna penuh ia terima dan disimpan sebagai koleksi bacaan. Di samping itu, ia juga kerapkali berkoresponden dengan perusahaan jamu cap “Jago”, yang tengah gencar melancarkan promosi, untuk mendapatkan kiriman berbagai barang cetakan.
Di kesempatan lain ia terkagum dan gembira sekali menerima balasan surat dari seorang famili setingkat paman yang baru saja lulus dari pendidikan dan bertugas sebagai polisi brimob (waktu itu masih bernama mobrig, singkatan dari mobil brigade). Untuk pertama kali ia ditempatkan di garis depan tatkala meletus pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang didukung pemerintah Amerika Serikat dan oleh sejarawan disebut sebagai pemberontakan setengah hati. Isi suratnya cukup puitis dan sentimental. Katanya, surat tersebut ditulis di bawah sorot obor sumbu minyak tanah saat ia mendapat tugas piket di gardu jaga. Peristiwa pemberontakan demi pemberontakan yang berkobar di berbagai daerah waktu itu tak kunjung dapat dipadamkan sampai dia hijrah ke Yogyakarta. Teman sepondokan asal Aceh pernah mengalami kesulitan keuangan sangat serius hingga berbulan-bulan karena kiriman uang dari orang tuanya menemui hambatan akibat gangguan keamanan dari gerombolan pemberontak di jalur logistik.
Di kemudian hari ia baru mengetahui kalau dia merupakan satu-satunya anak (desa) se-kecamatan Gringsing, atau malah se-kabupaten Pekalongan, yang berhasil meraih bea siswa berturut-turut selama tujuh tahun dan bersekolah di sebuah kota yang letaknya jauh dari kampung halaman. Tak hanya itu, perasaan bangga dan cukup membesarkan hati ketika kemudian ia juga mengetahui bahwa keberhasilannya dalam pendidikan tersebut telah memotivasi dan mendorong anak-anak desa angkatan sesudahnya untuk mengikuti jejak langkahnya. Demikian pula beberapa dekade kemudian hal yang sama terjadi ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1997. Tak sedikit orang, baik dari kalangan keluarga maupun tetangga dan handai taulan yang kemudian menyusul menjadi tamu Allah. Sehingga secara langsung ataupun tak langsung masyarakat sekitar menganggapnya sebagai perintis dan pelopor kemajuan khususnya di bidang pendidikan.
Zaerudy dan Sri Pandamyatie (istri) menunaikan ibadah haji (1997 |
Wisata Belajar Kaya Nuansa
Waktu itu jarak antara kota Salatiga dan Lebo yang hanya sekitar 100 kilometer serasa jauh sekali. Ia menduga salah satu sebabnya adalah karena fasilitas transportasi yang masih terbatas. Menginjak tahun kedua, dalam rangka untuk meningkatkan wawasan para peserta didik, pihak penyelenggara sekolah mengadakan acara wisata belajar (study tour) yang diikuti oleh seluruh siswa seangkatannya ke candi-candi Borobudur, Prambanan, Mendut, dan Pawon, termasuk pabrik besi di Yogyakarta, pabrik gula di Madukismo, dan industri logam di Batuceper. Sekalipun sudah satu tahun berlalu ia mulai terbiasa menempuh jarak perjalanan yang cukup jauh antara desa Lebo dan Salatiga, namun mengikuti perjalanan yang jaraknya lebih dekat kala itu benar-benar seperti mimpi pergi ke negeri entah berantah. Rasanya jauh sekali. Ia sempat memperhatikan teman-temannya juga merasakan hal yang sama. Ia pikir, mobil truk sewaan milik tentara yang memang tertutup terpal rapat bak belakangnya sehingga pandangan mata penumpang hanya mengarah, kelihatannya menjadi biang masalahnya. Meskipun obyek yang dikunjungi jumlahnya cukup banyak dan letaknya terpencar, tetapi seluruhnya dapat ditempuh dan dijangkau hanya dalam waktu satu hari saja. Sungguh sebuah trip piknik luar biasa yang hampir mustahil untuk dilakukan pada beberapa dekade kemudian. Sebentar lagi saatnya rombongan tiba di lokasi dan memasuki areal candi Borobudur. Di tengah suasana hening perdesaan, dari celah-celah dedaunan beberapa pohon besar dan sejumlah pohon nyiur yang tumbuh di sekeliling candi mulai kelihatan bangunan besar bersejarah yang masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia itu. Stupanya menjulang tinggi tampak megah, rilief dan arca-arca yang tampak diam membisu kian membuat bangunan candi tersebut kelihatan angker sekali. Di seberang jalan, tampak beberapa rumah penduduk setempat berdinding bilik terbuat dari bambu dan halamannya yang cukup luas. Seorang perempuan setengah tua mengenakan selembar kain dan kutang di dada sedang menyapu sampah dedaun menggunakan sapu lidi. Mengetahui kedatangan mobil truk ia mendongakkan kepala seraya melempangkan badan seraya berdiri sejenak untuk mengamati rombongan wisata, kemudian melanjutkan pekerjaan menyapu lagi. Suasana tenang dan damai perdesaan masih terasa sekali. Hingga kini ia merasa beruntung dapat menyaksikan betapa indahnya pemandangan candi Borobudur yang masih sepi dan lengang, jauh dari kebisingan dan kesan eksploitasi. Sepintas lalu ia sempat membayangkan betapa tinggi tingkat peradaban masyarakat tatkala candi tersebut dibangun. Sementara dalam kurun waktu yang hampir sezaman ketika Muhammad saw diangkat sebagai Rasulullah, masyarakat di semenanjung Arab justru masih berada dalam masa kegelapan dan jahiliyah. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah kawasan industri kecil Batuceper, di bagian selatan Yogyakarta. Rombongan mengunjungi sebuah pabrik pembuat alat setrika model lama berbahan bakar arang. Awalnya, rombongan diajak menyaksikan cara mencairkan logam kuningan yang dipanaskan dengan suhu sangat tinggi melalui sebuah lubang kaca pengintip dalam sebuah tungku raksasa. Kemudian tampak seorang pekerja pabrik membawa sebuah ember khusus bergagang panjang seraya membuka kran, tampak cairan logam kuningan menyala-nyala mengalir ke dalam ember tersebut. Dengan sangat hati-hati cairan logam panas tersebut dituangkan ke dalam jajaran cetakan, satu demi satu. Untuk anak seusianya menyaksikan peragaan semacam itu sungguh menakjubkan dan sangat menarik hati.
Setiap kali masa liburan tiba ia selalu pulang ke kampung halaman. Selama berlibur hari-harinya lebih banyak diisi dengan berkunjung secara silih berganti ke rumah kakak-kakaknya untuk sekadar saling bercurah hati, bercengkerama dan berbagi cerita tentang keluarga atau kemasyarakatan, serta kadang-kadang diselingi diskusi tentang agama dan pendidikan anak. Saat itu kakaknya kelima membuka usaha warung sembako, kelihatannya cukup maju juga. Ketika masa liburan usai dan harus kembali masuk sekolah di Salatiga, kakak perempuannya yang ketiga (Kiptiyah) selalu memberinya sabun cuci, sabun mandi, dan pasta gigi, kadang-kadang margarin atau abon sebagai bekal tambahan. Sejauh ini ia memiliki hubungan khusus dengan kakaknya keempat tidak sebatas sebagai saudara, tetapi lebih dari itu sebagai sahabat tempat saling mencurahkan berbagai rasa. Ketika krisis politik G30S PKI baru saja berlalu pada tahun 1967, untuk kali pertama ia bersama kakaknya keempat dan ketiga bersama anak sulungnya pergi berjalan-jalan ke kota Bandung. Sekalipun kondisi keuangan terbatas, pada esok harinya mereka memutuskan untuk berangkat menuju sebuah kota yang sama sekali belum pernah dikenal dan dikunjungi. Perjalanan dilakukan dengan kereta api yang pada waktu itu masih menggunakan roda gigi. Saat kereta api berhenti untuk beristirahat sejenak di stasiun Sukabumi, banyak pedagang asongan menawarkan dagangan mereka melalui jendela kereta dengan menggunakan bahasa Sunda yang di telinga mereka dirasakan masih asing dan lucu. Kakaknya dengan pembawaan suka melucu, berlagak mau membeli dan menyapa salah seorang pedagang yang tampak masih belia dalam bahasa Jawa.
Tentu saja anak tersebut tidak mengerti dan hanya tersenyum. Setelah kepala stasiun membunyikan peluit, kereta api pun kembali meluncur di atas rel yang berkelok-kelok mengeluarkan bunyi berderit akibat gesekan antara roda dan rel. Kereta terus berjalan menyusuri tebing dan lereng pegunungan berlatar belakang pemandangan nan hijau dan eksotis, tampak silih berganti dari balik jendela kereta. Kini keberadaannya hanya tinggal menjadi kenangan.
Waktu terus berlalu, seusai lulus dari PGAP pada awal tahun 1961 ia mengikuti jenjang pendidikan berikutnya di sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) selama tiga tahun di Yogyakarta. Sebagaimana halnya SGB dan SGA, penyeleng-garaan sekolah PGAP dan PHIN bertujuan untuk mengisi kekurangan tenaga pengajar agama dan hakim agama di berbagai penjuru tanah air. Di Salatiga ia sudah terbiasa berkumpul dan bergaul dengan teman-teman sekolah dengan berbagai macam latar belakang tradisi lokal Jawa. Sementara di Yogyakarta spektrumnya nasional, meliputi lebih hampir seluruh etnis dan budaya di Indonesia. Ia tinggal di sebuah pondokan bersama sepuluh orang teman berasal dari berbagai latar belakang suku dan budaya, seperti Aceh, Medan, Riau, Banjar dan Jawa Barat. Dari lingkungan pergaulan tersebut tanpa disadari telah menumbuhkan sikap toleran dan kebersamaan di kalangan remaja. Di pemondokan ia tinggal satu kamar bersama Nurmansyah asal Kandangan, Kalimantan Selatan, yang tengah melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bersama lima orang temannya lulusan Pondok Modern Gontor. Di suatu hari libur temannya yang sudah menjadi sahabat tersebut pernah bermain dan menginap di desa Lebo. Ia merasakan aneh, karena beberapa dasawarsa kemudian tanpa sengaja ia sempat berkunjung ke Kandangan dalam rangka kegiatan penelitian saat ia bekerja di LP3ES. Rudy bersama Aswab Mahasin bersahabat dengan Mohammad Irsyad asal dari Pamekasan, Madura, dan duduk di dalam satu ruang kelas yang sama. Mereka bertiga dikenal sebagai pasangan trio dan kadang berbuat ulah sehingga membuat kesal pihak sekolah. Di dalam ruang kelas sikap mereka selalu kritis dan adakalanya melibatkan guru yang masih muda dalam suatu diskusi bahkan perdebatan kecil yang cukup sengit bercampur canda. Seperti persahabatannya dengan Aswab, ia juga bersahabat dengan Irsyad. Persahabatan dan kedekatan hubungan itu lagi-lagi dikukuhkan dan diperlihatkan dalam bentuk saling mengunjungi dan menginap di rumah orang tua di kampung halaman masing-masing. Di ujung akhir masa sekolah selepas lulus dari PHIN ia berkesempatan untuk bermain dan menginap di rumah orang tua Irsyad. Dengan segala keberanian dan bekal uang seadanya ia berangkat bersama Irsyad menuju kampung halamannya. Untuk pertama dan terakhir kali ia merasakan naik kapal feri dari Surabaya menyeberangi selat Madura menuju pelabuhan Bangkalan. Perjalanan menyusuri pantai dengan menumpang mobil dari Bangkalan menuju Pamekasan sungguh melelahkan karena rasanya jauh sekali. Setelah menginap satu malam ia pun berpamitan pulang sendirian. Dari pelabuhan Surabaya ia naik trem menuju stasiun kereta api. Dengan kecepatan sedang trem yang ditumpangi melaju dan menyibak perkampungan padat penduduk. Ia merasa tercengang bercampur kagum menyaksikan sikap tenang dan tak peduli penduduk permukiman yang dilalui trem. Sementara debu bercampur berbagai sampah kering beterbangan diterpa angin kencang bersama lajunya trem mengotori udara sekitar. Tiba di stasiun ternyata ia telah ketinggalan kereta, membuatnya sedikit panik dan bingung. Beruntung kemudian ia ditolong seseorang berwajah Arab peranakan dan diajak untuk menginap di rumahnya. Semula ia sedikit menaruh curiga padanya, tetapi akhirnya ia memilih untuk pasrah saja. Esok paginya ia melanjutkan perjalanan hingga tiba kembali di rumah dengan selamat. Satu kenangan yang unik dan tak terlupakan adalah peristiwa meletusnya gunung Merapi pada tahun pertama ia duduk di bangku sekolah PHIN. Diawali dengan gempa vulkanik yang cukup keras, ketika itu ia sedang menimba air di sumur keluarga untuk mandi. Tiba-tiba pijakan balok dari kayu pohon kelapa di pinggir sumur terasa bergoncang keras sehingga hampir-hampir saja ia terperosok ke dalam sumur. Tak lama kemudian langit tampak remang-remang tertutup abu vulkanik dan udara serta pemandangan seluruh kota Yogyakarta seketika berubah menjadi putih menyilaukan.
Sejarah kereta api
Tentu saja anak tersebut tidak mengerti dan hanya tersenyum. Setelah kepala stasiun membunyikan peluit, kereta api pun kembali meluncur di atas rel yang berkelok-kelok mengeluarkan bunyi berderit akibat gesekan antara roda dan rel. Kereta terus berjalan menyusuri tebing dan lereng pegunungan berlatar belakang pemandangan nan hijau dan eksotis, tampak silih berganti dari balik jendela kereta. Kini keberadaannya hanya tinggal menjadi kenangan.
Memupuk Jiwa Toleran dan Solider
Waktu terus berlalu, seusai lulus dari PGAP pada awal tahun 1961 ia mengikuti jenjang pendidikan berikutnya di sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) selama tiga tahun di Yogyakarta. Sebagaimana halnya SGB dan SGA, penyeleng-garaan sekolah PGAP dan PHIN bertujuan untuk mengisi kekurangan tenaga pengajar agama dan hakim agama di berbagai penjuru tanah air. Di Salatiga ia sudah terbiasa berkumpul dan bergaul dengan teman-teman sekolah dengan berbagai macam latar belakang tradisi lokal Jawa. Sementara di Yogyakarta spektrumnya nasional, meliputi lebih hampir seluruh etnis dan budaya di Indonesia. Ia tinggal di sebuah pondokan bersama sepuluh orang teman berasal dari berbagai latar belakang suku dan budaya, seperti Aceh, Medan, Riau, Banjar dan Jawa Barat. Dari lingkungan pergaulan tersebut tanpa disadari telah menumbuhkan sikap toleran dan kebersamaan di kalangan remaja. Di pemondokan ia tinggal satu kamar bersama Nurmansyah asal Kandangan, Kalimantan Selatan, yang tengah melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bersama lima orang temannya lulusan Pondok Modern Gontor. Di suatu hari libur temannya yang sudah menjadi sahabat tersebut pernah bermain dan menginap di desa Lebo. Ia merasakan aneh, karena beberapa dasawarsa kemudian tanpa sengaja ia sempat berkunjung ke Kandangan dalam rangka kegiatan penelitian saat ia bekerja di LP3ES. Rudy bersama Aswab Mahasin bersahabat dengan Mohammad Irsyad asal dari Pamekasan, Madura, dan duduk di dalam satu ruang kelas yang sama. Mereka bertiga dikenal sebagai pasangan trio dan kadang berbuat ulah sehingga membuat kesal pihak sekolah. Di dalam ruang kelas sikap mereka selalu kritis dan adakalanya melibatkan guru yang masih muda dalam suatu diskusi bahkan perdebatan kecil yang cukup sengit bercampur canda. Seperti persahabatannya dengan Aswab, ia juga bersahabat dengan Irsyad. Persahabatan dan kedekatan hubungan itu lagi-lagi dikukuhkan dan diperlihatkan dalam bentuk saling mengunjungi dan menginap di rumah orang tua di kampung halaman masing-masing. Di ujung akhir masa sekolah selepas lulus dari PHIN ia berkesempatan untuk bermain dan menginap di rumah orang tua Irsyad. Dengan segala keberanian dan bekal uang seadanya ia berangkat bersama Irsyad menuju kampung halamannya. Untuk pertama dan terakhir kali ia merasakan naik kapal feri dari Surabaya menyeberangi selat Madura menuju pelabuhan Bangkalan. Perjalanan menyusuri pantai dengan menumpang mobil dari Bangkalan menuju Pamekasan sungguh melelahkan karena rasanya jauh sekali. Setelah menginap satu malam ia pun berpamitan pulang sendirian. Dari pelabuhan Surabaya ia naik trem menuju stasiun kereta api. Dengan kecepatan sedang trem yang ditumpangi melaju dan menyibak perkampungan padat penduduk. Ia merasa tercengang bercampur kagum menyaksikan sikap tenang dan tak peduli penduduk permukiman yang dilalui trem. Sementara debu bercampur berbagai sampah kering beterbangan diterpa angin kencang bersama lajunya trem mengotori udara sekitar. Tiba di stasiun ternyata ia telah ketinggalan kereta, membuatnya sedikit panik dan bingung. Beruntung kemudian ia ditolong seseorang berwajah Arab peranakan dan diajak untuk menginap di rumahnya. Semula ia sedikit menaruh curiga padanya, tetapi akhirnya ia memilih untuk pasrah saja. Esok paginya ia melanjutkan perjalanan hingga tiba kembali di rumah dengan selamat. Satu kenangan yang unik dan tak terlupakan adalah peristiwa meletusnya gunung Merapi pada tahun pertama ia duduk di bangku sekolah PHIN. Diawali dengan gempa vulkanik yang cukup keras, ketika itu ia sedang menimba air di sumur keluarga untuk mandi. Tiba-tiba pijakan balok dari kayu pohon kelapa di pinggir sumur terasa bergoncang keras sehingga hampir-hampir saja ia terperosok ke dalam sumur. Tak lama kemudian langit tampak remang-remang tertutup abu vulkanik dan udara serta pemandangan seluruh kota Yogyakarta seketika berubah menjadi putih menyilaukan.
Bersambung: Sambungan kelima: Sejarah Desa Lebo
Kembali ke: Sambungan ketiga: Sejarah Desa Lebo