Tugu Yogya
Bersama Aswab Mahasin Berburu Ilmu
Semenjak awal sekolah di PGAP dia duduk berdampingan satu bangku dengan Aswab Mahasin dalam satu ruang kelas yang sama. Pada awalnya ia kurang peduli dan tertarik dengan sikapnya yang agak berbeda dengan teman-teman sekelas lainnya. Menurutnya, rasa percaya diri yang tampak pada diri Aswab lebih karena ia merasa berasal dari Susukan, sebuah desa kecil tak jauh di
selatan kota Salatiga. Seperti di bawah alam sadar sejak kecil Rudy merasa memiliki semacam daya magnit pribadi yang kerapkali membuat orang menaruh perhatian dan tertarik pada dirinya. Demikian pula Aswab yang aktif dan selalu ingin mendekati Rudy yang berwatak pendiam, sehingga membuat hubungan mereka kian hari kian bertambah akrab. Saling berkunjung dan menginap di rumah orang tua dan kampung halaman masing-masing pada suatu kesempatan liburan, sekalipun hanya sekali dalam seumur hidup, menandai sekaligus mempererat hubungan persahabatan mereka. Bahkan hubungan; tersebut tidak sebatas persahabatan antara mereka, tetapi lebih mendalam menjadi hubungan kekeluargaan. Hal ini dapat dilihat misalnya, hampir seluruh anggota keluarga Aswab mengenal dirinya dengan baik dan dekat. Ketika duduk di kelas dua PGAP beberapa kali ia mendengar sejumlah teman sekolah mengolok-olok Aswab dengan julukan filosof. Hal itu gara-gara mereka melihat Aswab seringkali menenteng-nenteng buku filsafat dan berbicara tentang Plato, Socrates dan Aristoteles, yang sebenarnya tidak mereka pahami. Belakangan sebutan filosof itu malah diganti menjadi Socrates. Diperlakukan demikian, sepertinya ia tak tersinggung dan sepertinya dianggap angin lalu. Memang, tak hanya bidang filsafat, rupanya Aswab juga memiliki minat dan selera cukup baik di bidang musik. Saat itu musik
Rock and Roll dan Elvis Presley sebagai bintang penyanyi dengan gayanya yang khas sedang banyak digandrungi para remaja, tak terkecuali Aswab. Dalam sebuah pentas inaugurasi ia pernah tampil sebagai salah satu penyanyi, dan membawakan lagu seraya menirukan gaya Elvis Presley, lengkap dengan atribut celana model super lebar di ujung kaki dan potongan rambut berjambul. Kelak jauh di kemudian hari jika diingatkan kembali tingkahnya dulu, ia hanya senyum tersipu. Selain lagu-lagu pop, Aswab juga menyukai dan seringkali membawakan sebuah lagu klasik instrumental yang cukup populer karya komponis besar Ludwig van Beethoven. Sedangkan dalam mata pelajaran olah raga ia kurang maju, mungkin karena fisiknya yang kurang menunjang. Ia mendengar cerita dari kawan-kawannya kalau Aswab rajin berpuasa sunat hari Senin dan Kamis. Sampai lulus dari PGAP alih-alih berminat Rudy sama sekali belum mengerti apa itu filsafat termasuk juga musik. Secara jujur ia memberikan apresiasi dan merasa terkejut juga ketika kemudian mengetahui bahwa Rudy berhasil meraih peringkat pertama dalam ujian akhir PGAP. Sementara ia sendiri menduduki peringkat ketiga dan ikut terpilih dapat melanjutkan sekolah di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogya. Sekadar catatan bahwa siswa yang dapat melanjutkan jenjang pendidikan di PHIN adalah siswa lulusan dari PGAP di seluruh Indonesia hanya diambil empat orang siswa dari rangking satu sampai empat. Sisanya meneruskan ke jenjang pendidikan lanjutan atas di Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) di Solo. Entah mengapa, memasuki tahun ketiga sekolah di PGAP otak Rudy seperti terbuka lebar dan daya ingatnya semakin tajam seakan mencapai titik puncaknya. Sedemikian kuat daya ingatnya sehingga ia hampir hapal dan dapat mengingat dengan jelas di halaman berapa suatu materi pelajaran tercantum di dalam buku. Perubahan tersebut sunggguh merupakan lompatan besar mengingat saat tahun-tahun terakhir sekolah di SR Gringsing dulu prestasi belajarnya benar-benar terpuruk. Hampir enam puluh persen nilai rapornya berwarna merah. Saat menghadapi ujian akhir PGAP sementara teman-teman kos tekun belajar dengan menjinjing setumpuk buku seraya memisahkan diri di bawah pohon rindang jauh di halaman rumah. Dia sendiri sebenarnya merasa risau dan gelisah sendiri, karena tak tahu apa yang harus dibaca dan dipelajari. Ketika ia mencoba untuk menanyakan apa yang dibaca dan dipelajari teman-teman, mereka malah mengusirnya sambil mengatakan bahwa ia sudah pandai dan tak perlu lagi belajar. Dan benar saja, ketika ia berhasil mengintip ternyata banyak materi pelajaran yang mereka baca sesungguhnya sudah ia kuasai dan pahami. Ia masih ingat pada saat mengerjakan soal Ilmu Fiqh dalam ujian akhir PGAP, yang seluruh materinya merupakan hapalan, dapat dikerjakan dengan lancar tanpa jeda berpikir seperti layaknya menyalin sebuah teks dalam tempo relatif cepat sehingga masih tersisa dua puluh menit dari waktu yang disediakan.
Dalam banyak hal kadang ia merasa kerapkali lebih beruntung dibandingkan dengan teman-teman lain, seperti misalnya ketika ia harus hijrah dan sekolah di Yogyakarta. Masalah utama dan pertama yang kerap dihadapi dan harus mendapatkan solusi adalah mengenai tempat tinggal atau rumah pemondokan. Ia merasa lebih beruntung dibanding teman-teman seangkatannya. Pada tahun pertama ia kost di rumah satu keluarga yang masih tergolong famili di Gondomanan di bilangan belakang keraton kesultanan Yogya. Meskipun antara pihak keluarganya dan famili tersebut sudah puluhan tahun tidak berjumpa dan bersilaturohim, namun berkat bantuan Mbah Sual –dalam subjudul tersendiri dikisahkan pengalamannya yang menyeramkan— yang kebetulan masih menyimpan alamat mereka, sehingga hubungan persaudaraan tersebut dapat terjalin kembali. Memasuki tahun kedua menetap di Yogya kesadaran dan pemikiran tentang berbagai ilmu serasa kian terbuka. Lingkungan pergaulan dengan latar belakang beragam, baik etnis dan budaya ataupun tingkat pendidikan cukup mempengaruhi dirinya. Perbincangan sehari-hari tentang agama ataupun pengetahuan umum lain kerapkali mewarnai pergaulan sesama teman atau kelompok. Sehingga mau tak mau ia terbawa arus untuk mengikuti diskusi tak resmi tersebut. Menurutnya, kesukaan Aswab untuk merenung dan berpikir berpengaruh besar dalam memberikan motivasi dan dorongan pada kawan-kawan sepergaulan untuk melakukan hal yang sama. Dalam banyak kesempatan tak jarang Rudy seperti ditantang untuk berdiskusi bahkan berdebat tentang berbagai hal, terkadang tentang tetek bengek seperti ada atau tidak ada makhluk hantu. Lucunya, belakangan baru diketahui rupanya dia termasuk sosok yang takut pada hantu. Rudy sendiri, kendati ia berasal dari perdesaan, tetapi ia kurang percaya dengan hantu.
Tak hanya itu, Aswab rupanya juga tipe sosok peragu. Kadangkala ia mempersonifikasikan dirinya dengan tokoh pemeran utama dalam cerita Hamlet yang memiliki sifat penunda, karya William Shakespeare. Sehingga seringkali ia seperti dihantui perasaan waswas ketika hendak melakukan ibadah salat. Setiap kali hendak memulai salat ia harus berulang-ulang membaca kalimat pembuka (takbir). Dari pergaulan tersebut kemudian lebih membuka mata dan muncul kesadaran akan kekurangan ilmu pada dirinya tentang berbagai hal yang tidak dapat diperoleh dari bangku sekolah. Semenjak itu diam-diam ia bertekad untuk mengejar ketertinggalan dengan banyak membaca dan menonton film. Setidaknya tiga hari dalam seminggu di luar jam belajar kegiatannya mengaduk-aduk dan membaca buku bermutu di sebuah perpustakaan umum milik koran Kedaulatan Rakyat. Selama kurang lebih satu tahun hampir seluruh buku di perpustakaan habis dilalap untuk memuaskan dahaga ilmu yang dirasakan. Buku-buku kajian agama karya Hamka, Hasbi Ash-Shideiqy, Mohammad Natsir, Mohammad Iqbal, Sidi Gazalba, dan lain-lain menjadi pilihan. Selain itu karya-karya sastra pujangga lama dan pujangga baru, seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, termasuk puisi-puisi Amir Hamzah dan tak ketinggalan puisi dari pujangga legendaris, Chairil Anwar. Buku-buku biografi serta artikel tentang tokoh pemikir dan pujangga seperti William Shakespeare, Rabindranat Tagore, Mahatma Gandhi, Ernest Hamingway, Charles Dicken, Leo Tolstoy, Mohammad Iqbal, Jamaluddin Al-Afgani, Budha Gautama, bahkan Trotsky serta majalah-majalah sastra seperti Panji Masyarakat dan Penyebar Semangat tak luput dari jamahan tangannya seakan menjadi menu wajib untuk dibaca. Di kemudian hari ia tak dapat membayangkan bagaimana kegiatan itu mampu dilakukan di tengah pelajaran sekolah yang padat dan menumpuk.
Mengikuti berbagai persoalan dan pembahasan yang berkembang pada saat itu menurutnya, polemik Hashbi Ash-Shidieqy dan ulama Persis A. Hassan tentang jabatan tangan antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu mendesak, bila dibandingkan misalnya dengan hal yang lebih mendasar dan strategis seperti tentang sebuah ayat Alquran yang sering dipahami secara salah kaprah. Ayat yang menyebutkan bahwa “sesungguhnya salat itu mencegah (perbuatan) keji dan durhaka”. kebanyakan dimaknai dan dipahami bahwa dengan melaksanakan ibadah salat –termasuk ibadah-ibadah lain— maka secara otomatis akan jauh dari perbuatan keji dan durhaka. Sehingga pemaknaan dan pemahaman semacam itu seringkali memunculkan pertanyaan sekaligus hujatan terhadap realitas dan fenomena sosial, seperti sindiran ‘rajin ibadah, rajin pula berbuat salah (maksiat)’. Pertanyaannya, mengapa ibadah tidak fungsional dan operasional seperti dimaksudkan Alquran? Pasti ada sesuatu yang salah dalam memahami dan melaksanakan pesan wahyu tersebut. Abu Sangkan selaku seorang ustad yang gigih dan secara khusus mendalami praktik salat, tetapi nampaknya tidak melakukan penelitian tentang mengapa salat tidak berfungsi secara optimal. Contoh lain adalah tentang hakikat serta makna doa dan usaha versus takdir yang setiap kali mengusik pikiran dan menimbulkan pertanyaan di banyak kalangan umat, namun sejauh ini belum ditemukan jawaban yang tuntas dan memuaskan.
Tahun kedua ia memutuskan untuk berpindah kos di daerah Terban yang jaraknya lebih dekat dengan lokasi sekolah PHIN. Dari sebelas orang teman sepemondokan, lima orang di antaranya adalah alumni Pondok Modern Gontor dan tengah melanjutkan studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Selama bergaul dengan ia dapat meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Arab. Meskipun bahasa Arab merupakan salah satu mata pelajaran yang di ajarkan sejak di PGAP hingga PHIN, tetapi peserta didik memang tidak diharuskan untuk mahir dalam percakapan. Guna meningkatkan kemampuan dalam bahasa Inggris ia juga pernah mengikuti kursus bahasa Inggris di perpustakaan Jafferson, konon mendapat bantuan dana dari pemerintah Amerika Serikat. Saat itu ia belum mengetahui dan tidak menyadari pentingnya bahasa Inggris dalam pergaulan masyarakat kelak, sehingga ia kurang tertarik dan serius untuk mempelajarinya. Kendati demikian kemampuannya dalam pelajaran bahasa Inggris sesungguhnya tidak terlalu buruk juga. Terbukti selagi ia masih sering bertemu dengan Aswab dan beberapa kawan dekat kerapkali menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Kelak sesudah hijrah ke Jakarta melalui seleksi yang cukup ketat ia sempat terdaftar sebagai anggota perpustakaan dan mengikuti kursus bahasa Inggris di United States of Information Services (USIS) konon juga berafiliasi pada pemerintah Amerika Serikat, yang kemudian bermetamorfose menjadi Lembaga Indonesia-Amerika (LIA). Ia merasa lemah terutama dalam penguasaan perbendaharaan kata dan malas menghapalkan ataupun memperhatikan idiom, sehingga kurang dapat menghayatinya. Namun demikian berbekal sedikit kemampuan dalam bahasa Inggris telah berhasil juga mengantarkannya sehingga sempat bekerja di Tedjo Express, sebuah perusahaan penjualan tiket pesawat cukup besar milik Tionghoa di Jakarta.
Kala itu Indonesia sedang kebanjiran film-film impor khususnya produksi Hollywood, Amerika Serikat. Banyak film-film besar dan bermutu telah ditonton bersama temannya, seperti Giant, Benhur, Count of Dracula, One Eyed Jack, Janggo, dan Cleopatra dengan bintang-bintang tersohor pujaan para remaja, seperti Marlon Brando, Rock Hudson, James Dean, Elizabeth Taylor, Sophia Loren, dan Elvis Presley. Baginya, semua itu selain menghibur juga dapat menambah dan memperluas wawasan. Jauh di belakangan hari baru diketahui dalam buku biografinya bahwa Abadurahman Wahid atau Gur Dur selama belajar di Universitas Kairo, Mesir rupanya juga kerapkali menghabiskan waktu di gedung bioskop untuk menonton film, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berpindah belajar di Irak. Menurut Rudy, banyak pelajaran tentang kehidupan dan kearifan hidup dapat dipetik dari karya seni, seperti film, wayang atau cerita silat. Dari sederet judul film yang pernah ditonton, ia merasa sangat terkesan dan senantiasa teringat jalan cerita film berjudul “One Eyed Jack”, bersama Marlon Brando, bintang watak legendaris berwajah ganteng, sebagai peran protagonis. Sedangkan peran antagonis dimainkan oleh Karl Malden si wajah bengis. Inti ceritanya mengisahkan tentang kesetiaan dan pengkhiatan antara dua orang sahabat. Keduanya terlibat dalam kejahatan perampokan emas di sebuah bank. Pesan moralnya adalah sejahat apapun seseorang terkadang masih menyisakan ruang atau memiliki hati nurani dan perasaan bersalah.
Perkenalannya dengan dunia seni khususnya di bidang musik dimulai ketika Aswab mengajaknya untuk bertemu dan berkenalan dengan Ismail Soebardjo asal Kutoarjo sejak masih sekolah di Yogya. Demikian pula minat dan ketertarikannya pada dunia filsafat juga lebih banyak karena terpengaruh dan terbawa oleh semangat dan perhatian Aswab pada bidang tersebut. Lagi pula ilmu filsafat memang menjadi salah satu mata pelajaran di PHIN. Ismail membentuk grup band musik bersama beberapa teman sekolah di SMA de Brito. Ismail pernah mengajaknya bersama Aswab mengikuti pentas musik di Purworejo, dekat kota asalnya. Pertemanan itu berlanjut hingga mereka sama-sama hijrah ke Jakarta. Di antara mereka pernah terjalin persahabatan erat sekali layaknya kakak beradik.
Meskipun belakangan karena kesibukan masing-masing komunikasi terputus lama sehingga ajal menjemputnya. Hal yang hampir sama terjadi antara dia dan Aswab, selain karena kesibukan juga lebih karena perubahan lingkungan dunia kerja masing-masing. Menurutnya, Ismail adalah seorang multi talenta yang ulet, kreatif dan selalu bersikap optimistis. Di Jakarta ia pernah bekerja sebagai wartawan di surat kabar Harian Abadi. Terakhir ia meniti karier di bidang sinematografi sebagai sutradara film layar lebar dan pernah berhasil meraih Piala Citra dalam film “Perempuan dalam Pasungan”. Sedangkan Aswab Mahasin setelah menyelesaikan studi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya, kembali hijrah untuk mengadu nasib di ibukota. Dalam perjalanannya ia sempat menjabat sebagai direktur LP3ES. Pada saat itulah karier berkembang sehingga kemudian cukup dikenal sebagai intelektual muslim. Ia juga turut aktif di bidang penegakan demokrasi dan Hak Azasi Manusia (HAM), sebagaimana disampaikan pengacara senior Adnan Buyung Nasution dalam kata sambutan pada acara pemakamannya saat meninggal. Menyimak perjalanan karier Aswab Mahasin dan Dawam Rahardjo sebagai sosok model, dapat diibaratkan sebagai bibit tanaman dan lahan tempat menanam. Suatu sibit yang bagus ditanamkan di lahan yang subur atau tepat, maka hasilnya akan optimal. Demikian pula sebaliknya. Sebelum bergabung di LP3ES Aswab Mahasin bekerja di sebuah perusahaan iklan. Di perusahaan tersebut ia tidak dapat mengembangkan dirinya dan tidak menjadi siapa-siapa. Menurut Firmanzah, seorang ekonom muda sukses yang mengalami hidup susah di masa kecil mengatakan bahwa hidup ini tidak ada yang kebetulan. Pendapat tersebut mungkin benar sepanjang manusia mampu menyadari dan menguak kodrat dirinya.
Berangkat Menjadi Seorang Birokrat
Tidak seperti orang-orang lain pada umumnya yang mengadu nasib di Jakarta dengan urbanisasi mandiri, pada bulan April 1964 setelah lulus dari PHIN sebagai penerima beasiswa, ia bersama tiga orang teman seangkatan, salah satunya adalah Aswab, ditempatkan di kantor pusat Departemen (sekarang Kementerian) Agama RI, di Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Lagi-lagi ia merasa beruntung, kepindahannya ke Jakarta tidak mengalami kesulitan dalam masalah tempat tinggal. Seorang familinya setingkat bibi menawarkan kepadanya untuk menempati salah satu kamar rumah miliknya di bilangan Guntur, Jakarta Selatan sementara ia belum mendapatkan tempat pemondokan lain. Suaminya asal Yogya bekerja sebagai tenaga ahli senior di Bank Indonesia. Pertama kali keberangkatannya bersama bibinya ke Jakarta sungguh-sungguh merupakan perjalanan yang sangat membosankan dan melelahkan. Betapa tidak, sepanjang perjalanan tiga puluh enam jam dari Gringsing ke Jakarta, bus DAMRI yang mereka tumpangi harus menempuh kondisi jalan yang rusak berat. Saat itu bertepatan dengan musim hujan, sehingga bus terpaksa harus berjalan perlahan tak lebih dari lima kilometer per jam, sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan, menyusuri jalan berlubang-lubang penuh air sedalam setengah meter bagaikan kubangan kerbau.
Di kantor Departemen Agama RI ia ditempatkan sebagai staf di lingkungan Biro Penelitian dan Pengembangan (Litbang) —belakangan baru diketahui kalau bidang tersebut sesungguhnya merupakan profesi yang cukup bergengsi— di bawah pimpinan Nur Asyik, MA lulusan Universitas Kairo, Mesir, asal Aceh yang sangat baik hati dan bijaksana. Baru sekitar enam bulan bekerja ia ditugasi mengoreksi lembar kerja peserta ujian seleksi masuk IAIN Ciputat yang dikirim dari berbagai daerah di seluruh Tanah Air. Pada tahun itu juga ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa sekaligus di dua perguruan tinggi. Pertama, Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab Universitas Indonesia yang berlokasi di Rawamangun dengan jadwal kuliah pagi. Kedua, Sekolah Tinggi Publisistik (STP), sekarang IISIP, dimana kelak aku sendiri merupakan salah satu alumninya, dengan jadwal kuliah pada malam hari. Tahun berikutnya, di Universitas Indonesia ia berpindah jurusan ke Fakultas Hukum ekstensi jurusan Ilmu Kemasyarakatan dan lokasi kuliah di jalan Salemba Raya. Waktu itu masuk kuliah di UI termasuk berpindah fakultas atau jurusan rasanya bukan hal yang sulit. Karena kendala biaya dan waktu, kuliah di STP terbengkelai dan akhirnya terpaksa dilepaskan.
Mendukung HMI dan Demokrasi
Di Universitas Indonesia ia masuk organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama-sama dengan Ismail Soebardjo yang pada saat itu juga kuliah di STP. Pada momen itulah Rudy mulai mengenal beberapa tokoh aktivis mahasiswa yang kemudian menjadi tokoh nasional, seperti Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan era Orde Baru, Farida Rachman, adik Arief Rachman Hakim yang kelak menjadi seorang tokoh pendidik, dan Eky Syahrudin yang di kemudian hari sempat menjabat sebagai Duta Besar RI di Jepang. Di kalangan anak-anak mahasiswa HMI cabang Jalan Diponegoro, Mar’ie Muhammad dijuluki Karl Mark-nya HMI, karena dia kerapkali memberikan ceramah politik dan keorganisasian.
Sekitar dua bulan menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI berencana mengadakan rapat raksasa di Istora Senayan dalam rangka memperingati hari jadinya. Pada malam menjelang esoknya jatuh “hari H” dilaksanakan rapat raksasa, anak-anak mahasiswa CGMI (organisasi mahasiswa di bawah binaan PKI) bergerak serentak melakukan aksi corat coret dinding tembok dengan menggunakan cat minyak di sekitar jalan Diponegoro dan Salemba, Jakarta Pusat. Kata-katanya ditulis dengan kalimat singkat yang pada intinya mengandung isi dan pesan mendiskreditkan organisasi musuh bebuyutan mereka, HMI, seperti misalnya “HMI antek CIA’, “HMI antek Nekolim”, “HMI anti Nasakom”, “Bubarkan HMI”, dan sebagainya. Waktu itu tidak ada larangan sama sekali ataupun pengawasan terhadap aksi corat coret di atas fasilitas atau di tempat umum, sehingga warga dengan bebas melakukannya. Mengetahui hal tersebut Posko PB HMI Diponegoro mengadakan rapat kilat yang pada pokoknya untuk mengambil langkah tandingan agar corat coret yang berbau provokasi dan intimidasi tersebut tidak tersebar luas. Untuk itu, Rudy dan Ismail bersama beberapa teman HMI yang biasa bertugas di lapangan, lepas tengah malam melakukan aksi tandingan corat coret dinding tembok di lokasi yang sama. Karena mereka khawatir ketahuan pihak mahasiswa CGMI aksi tersebut harus dilakukan dengan cepat. Caranya cukup kreatif. Kata “antek” pada tulisan “HMI antek CIA” misalnya, cukup ditutup dengan garis tebal membentuk huruf X dengan warna menyolok, sehingga maknanya berubah dan berlawanan. Pidato pemimpin tertinggi PKI D.N Aidit yang kemudian sangat tersohor dalam rapat raksasa tersebut adalah sesumbarnya akan memakai kain sarung apabila ia tidak mampu membubarkan HMI. Sesumbar demikian rupanya juga menarik dan kemudian diikuti jejaknya oleh beberapa politisi pada era demokrasi. Aktivitas dan keterlibatannya di HMI semakin jauh seiring dengan suhu politik yang semakin memanas. Hampir enam bulan terakhir praktis ia sudah tidak lagi aktif dan akhirnya meninggalkan begitu saja pekerjaan di Departemen Agama tanpa pemberitahuan.
Pada awal gelombang demonstrasi mahasiswa pasca peristiwa G-30-S/PKI, ia bersama Ismail Soebardjo sahabat sejak dari Yogya dan sesama aktivis HMI di Jakarta kebagian tugas untuk membuat dan menyiapkan spanduk sebagai salah satu sarana bagi para demonstran dalam kegiatan aksi mereka. Puluhan spanduk terbuat dari “bagor”, semacam karung wadah beras terbuat dari bahan serat sejenis daun pandan. Berbagai kalimat tuntutan dan yel-yel di tulis tangan dengan menggunakan cat minyak berwarna warni harus dirampungkan dalam semalam dan terkadang terpaksa kerja lembur hingga menjelang subuh. Keesokan paginya mereka “teler” diserang rasa kantuk dan kelelahan. Mereka memilih untuk tidur beristirahat dan tidak dapat mengikuti teman-teman mahasiswa lain turun ke jalan untuk berdemontrasi. Pembuatan ratusan spanduk tersebut didanai oleh Syarifudin Harahap, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri RI dan aktivis PMII. Setiap kali dibutuhkan dana ia memberikannya cukup dengan mencabut sebagian dari gepokan uang yang masih 'gres' tanpa dihitung lagi. Tahun itu uang rupiah telah mengalami devaluasi dari seribu rupiah menjadi satu rupiah.
|
Foto diambil bertepatan dengan dua peristiwa bersejarah di dalam negeri (1966): 1. Devaluasi mata uang rupiah (Rp1.000 menjadi Rp1); 2. Sidang MahMiLuB (Mahkamah Militer Luar Biasa) atas terdakwa mantan PM (Perdana Menteri) era OrdeLama, DR Soebandrio yang divonis hukuman mati.
Ironisnya, tokoh yg mengadilinya, yakni Ali Said, SH (Hakim Ketua), Durmawel, SH (Oditur), termasuk Presiden RI ke-2 Soeharto sendiri akhirnya lebih dulu mati. Sementara DR Soebandrio setelah dibebaskan dari tahanan atas desakan komunitas HAM internasional, masih menjalani hidup beberapa tahun kemudian. |
Pada malam tanggal 30 September 1965 ia seorang diri mendapat tugas dari Posko HMI untuk mengamati pergerakan yang menarik atau menyolok di sekitar Monas. Sejak tengah malam hingga dini hari ia berjaga dan bernaung di sebuah emperan toko sekitar patung Pak Tani di jalan Kwitang, Suasana sepi sekali ketika tiba-tiba terdengar deru suara mesin barisan mobil truk militer bermuatan penuh tentara bersenjata lengkap dan mengenakan simbol seutas kain berwarna kuning di bagian pangkal lengannya. Mereka datang dari arah perempatan Pasar Senen menuju lapangan Monas. Esok harinya ia mendapat berita simpang siur kalau tentara tersebut didatangkan dari Magelang. Kabar lain mengatakan bahwa mereka adalah tentara Banteng Reiders dari Semarang yang konon berafiliasi PKI. Saat itu di Jakarta diberlakukan jam malam. Demonstran mahasiswa dari kelompok agama khususnya HMI acapkali dilakukan di kawasan Taman Suropati. Mungkin karena letaknya yang berdekatan dengan kantor atau markas Pengurus Besar HMI di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Kelompok mahasiswa lain melakukan demontrasi di UI Salemba, di depan kantor CC PKI Jl Kramat Raya, dan di depan kantor Baperki yang kelak berubah menjadi kampus Trisakti. Eky Syahrudin dan Subchan ZE, seorang tokoh muda NU, kerap tampil sebagai orator utama. Bahkan rekaman video aksi Eky Syahrudin dalam salah satu orasinya di Taman Suropati masih tersimpan apik di Arsip Nasional hingga sekarang. Selang kira-kira sepuluhan tahun kemudian ia sempat berteman dengan Eky Syahrudin saat bekerja di sebuah perusahaan iklan selama dua tahun, namun kemudian terhenti. Sampai akhirnya ia bekerja di LP3ES beberapa kali mereka dipertemukan kembali, dan lagi-lagi komunikasi kembali terputus. Tanpa sengaja saat membaca koran Kompas dalam sebuah pojok beritanya disebutkan bahwa dia menjabat sebagai Duta Besar RI di Jepang. Namun beberapa tahun kemudian tersiar kabar ia meninggal dunia.
Situasi tegang dan mencekam serta suhu politik luar biasa panas yang melanda ibukota kala itu tanpa terasa memasuki tahun kedua. Klimaksnya adalah pada bulan Maret 1966 ketika defile atau parade militer yang melibatkan sejumlah kekuatan persenjataan utama militer, seperti tank, panser dan mobil truk yang dipenuhi tentara, berbaur menjadi satu dengan gemuruh ribuan masyarakat ibukota. Parade militer tersebut memang dimaksudkan sebagai “show of force” dan dukungan angkatan bersenjata terhadap gelombang demonstrasi mahasiswa dengan mengangkat tema surat sakti “Super Semar” yang menandai kemenangan sekaligus menjadi tonggak awal lahirnya era pemerintahan Orde Baru. Rudy bersama beberapa teman HMI ikut naik salah satu truk dan larut dalam perasaan haru biru menyatu dengan tentara, disambut lautan manusia yang berdesakan sepanjang jalan mulai dari parkir Timur Senayan melalui jalan-jalan Sudirman, MH.Thamrin, Merdeka Utara dan berakhir di Cawang.
Sungguhpun ia mengalami sejumlah peristiwa yang kurang mengenakkan, namun sesungguhnya ia tidak terlalu merasakan berurusan atau ganjalan apapun dengan kelompok komunis tersebut. Baginya, apa yang pernah ia lakukan dulu tak lebih hanya semacam “sparingan” layaknya bermain bulu tangkis saja. Ia merasa kecewa justru setelah kemudian mengetahui bahwa kekuatan dan semangat mahasiswa saat itu ternyata dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan sehingga rakyat Indonesia harus terbelenggu dalam kekuasaan tirani hingga lebih dari tiga dasawarsa. Pikirannya sedikit lega setelah membaca penjelasan HM Rasjidi, Associated Professor dalam ilmu agama Islam di Universitas McGill, Kanada, dan Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam bukunya “Filsafat Agama” bahwa lebih penting untuk menemukan jawaban atas keberhasilan komunisme sebagai suatu kepercayaan yang menyaingi kepercayaan agama daripada menelaah ajaran komunisme sebagai sebuah “pseudo-agama” yang argumentasinya relatif lebih mudah untuk dipatahkan. Setelah komunisme di dunia mengalami keruntuhan, perdamaian dunia saat ini mendapat ancaman sangat serius justru dari kelompok yang hendak meraih kekuasaan politik dengan mengatasnamakan agama.
Mitos Foto Bertiga
Di belakang hari ia baru menyadari kalau hubungannya dengan tiga orang sahabatnya menyisakan sebuah misteri atau dengan istilah populer disebut aneh tapi nyata. Setelah berpisah beberapa dekade, terakhir ia mendengar kabar kalau sahabatnya Mohammad Irsyad pada tahun 1990 meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal tertabrak mobil truk saat menyeberang jalan di Madiun. Saat terjadi kecelakaan posisi terakhir ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama di Semarang. Kesadaran tentang kisah aneh tapi nyata itu muncul sembilan tahun kemudian pasca Aswab Mahasin meninggal dunia pada tahun 1999. Selama hubungan persahabatan di Yogya dulu Rudy, Aswab dan Irsyad pernah mengambil foto bersama. Dalam foto tersebut Rudy mengambil posisi di tengah mengingat postur tubuhnya yang sedikit lebih pendek daripada mereka agar tampak serasi dan seimbang. Sebelumnya ia pernah mendengar sebuah mitos mengenai mitos tabu untuk mengambil foto bertiga, tetapi ia tak mempedulikan dan tidak juga terlalu mempercayainya. Menurut mitos tersebut, orang yang berada di posisi tengah suatu saat nanti akan terkena musibah. Sungguh aneh, sembilan tahun kemudian cerita tentang mitos tersebut kembali muncul, ketika sahabatnya Ismail Soebardjo menyusul Aswab, meninggal. Sementara Rudy, Aswab dan Ismail juga pernah mengambil gambar bersama dan lagi-lagi dalam foto tersebut Rudy berada di posisi tengah. Hanya saja bedanya, terlepas dari kontroversi tentang benar tidaknya sebuah mitos dalam kenyataannya kedua sahabat yang meninggal tersebut tidak berada di posisi tengah, tetapi justru berada di posisi pinggir. Tak hanya itu, misteri mitos tersebut kian maruyak ketika di tengah kesibukan Rudy bersama sahabatnya Ismail menulis dan mempersiapkan spanduk untuk keperluan demonstasi anak-anak HMI juga pernah mengambil pose foto bertiga dengan tetangga kontrakan sebagai karyawan perusahaan asuransi "Ramayana" berkantor di bilangan Kota, Jakarta Utara. Lagi-lagi Rudy mengambil posisi di tengah. Sungguh luar biasa, pada tahun 2000-an tetangga tersebut juga meninggal dunia.
Djaerodi kecil dan Sri Pandamyatie balita |
|
Zaerudy dewasa |
|
Buku rapor PHIN (Djaerodi) |
Bersambung ke: Sambungan keenam: Sejarah Desa Lebo
Kembali ke: Sambungan keempat: Sejarah Desa Lebo