Sebagai Zoon Politikon menurut Aristoteles filosof besar asal Yunani, atau Homo Homini Socius menurut "begawan" ekonomi dunia Adam Smith, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari lingkungan dan pergaulan masyarakat di mana ia tumbuh dan dibesarkan. Secara individu
sesungguhnya seorang manusia dalam mengarungi hidup dan kehidupan di dunia laksana berjalan di tengah kegelapan. Oleh karenanya, ia harus belajar banyak seraya dibimbing oleh cahaya semacam suluh, obor atau penerang agar tidak tersesat dalam perjalanan. Beruntunglah seorang anak manusia yang lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang masih memiliki dan melestarikan nilai-nilai luhur tradisi dan budayanya. Karena di samping nilai-nilai luhur ajaran agama yang pada umumnya mengandung nilai-nilai dasar, juga nilai-nilai luhur ajaran tradisi budaya masyarakatnya yang akan menyuluhi dan menerangi serta membimbing perjalanan hidupnya dengan selamat sehingga berhasil meraih kemenangan dan kebahagiaan yang abadi.
Adapun manusia yang dalam mengarungi hidup dan kehidupannya tanpa bimbingan dan mengenal tata nilai kebajikan dan keluhuran, sesungguhnya ia laksana berjalan di tengah kegelapan tanpa atau mengabaikan bimbingan sinar dan cahaya obor serta suluh yang seharusnya dibawa serta. Selain kesulitan dalam perjalanan, maka tentulah besar kemungkinan sesat jalan yang akan dijumpai dan didapatkannya. Sebagai contoh, banyak tradisi budaya lama dari masyarakat suku Jawa yang tertuang dalam karya sastra, antara lain dalam bentuk peribahasa yang mengandung ajaran nilai-nilai luhur dan selama berabad-abad telah menuntun serta menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Jawa, seperti misalnya becik ketitik olo ketoro, anak polah bopo kepradah, ngalah luhur wekasane, adigang adigung adiguno, ojo dumèh, kêgêdèn êmpyak kurang cagak, ngunduh wohing pakarti, kacang ora ninggal lanjarane, mikul duwur mêndhêm jêro, welas tanpo alis, ambeg parama arta, menang tanpo ngasorake, gemi mikolehi, kebo nusu gudel, tego larane ora tego patine dan segudang ajaran nilai-nilai kebajikan lainnya yang selama ini dikenal dan disebut sebagai kearifan lokal, namun kini tampaknya sudah dianggap usang dan alih-alih dikenal malah tak dipakai lagi. Demikian pula dengan tradisi budaya dari masyarakat suku lain di seantero wilayah Nusantara. Banyak contoh manusia yang tidak mengenal apalagi tanpa suluh dan bimbingan ajaran nilai-nilai tradisi budaya masyarakat di mana ia lahir dan dibesarkan, tampak dari polah tingkahnya mencerminkan keadaan jiwanya yang tandus dan kering, ketika merasa segalanya dianggap cukup hanya menyandarkan pada ajaran nilai-nilai agama yang formalis, skriptualis dan dogmatis. Inilah satu contoh lagi penafsiran dan pemahaman yang tidak tepat terhadap pernyataan atau sabda Nabi saw 'aku sempurnakan' yang dikutip dalam ayat berikut.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu
Al-Maidah 3
Kesempurnaan tersebut dimaksudkan dalam arti tidak menafikan fakta bahwa di luar (Islam) banyak atau tak sedikit ajaran nilai-nilai kebajikan yang tidak bertentangan bahkan selaras dengan ajaran Islam, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Sebab jika diperas pada intinya dan sesungguhnya Islam adalah ajaran akhlak juga. Sebagaimana sabda Rasululullah saw:
انّمابعثت لاتمّم مكارم الاخلاق
Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah swt) semata-mata (goal akhirnya adalah) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (manusia)
Jika ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa memahami hadis tersebut secara harfiah dikhawatirkan dapat mengabaikan bahkan meninggalkan syari'at atau hukum Islam, sesungguhnya tidaklah berdasar. Karena syari'at ujung-ujungnya atau goal akhirnya adalah menyempurnakan kemuliaan akhlak juga, yaitu dengan cara senantiasa menjaga hubungan dengan Tuhan (sesuai dengan definisi "ihsan" dalam hadist lain), sebagaimana dapat disimak dalam ayat berikut.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنكَرِ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar...
Itulah sebabnya mengapa Islam juga mengajarkan agar menghargai nilai-nilai luhur dari tradisi budaya setempat dan hidup sebelum Islam masuk tanpa harus membongkar dan menggantikannya dengan budaya bangsa lain (seperti misalnya Arabisasi) dengan mengatasnamakan untuk tidak mengatakan berkedok agama. Sehingga jangan sampai seperti pada awal kehadiran organisasi keagamaan Muhammadiyah yang membawa misi mengikis serta memberantas sinkretisme dalam praktik agama Islam, tetapi kemudian oleh Kuntowijoyo seorang budayawan sekaligus guru besar ilmu sejarah Universitas Gajah Mada, dinilai sebagai 'gerakan budaya tanpa budaya'. Begitu pula kehadiran ormas keagamaan lain, seperti Front Pembela Islam (FPI) di bawah komando seorang peranakan Habib Riziek Shihab yang visi dan misinya belakangan secara vulgar terkesan hendak "meng-Arab-kan" bangsa dan budaya Nusantara. Bahkan lebih dari itu, gerakan politik yang dikemas sebagai gerakan ormas keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibrangus itu, bukan hanya hendak meng-Arabkan, akan tetapi malah hendak membongkar serta merombak fondasi negara kebangsaan yang bersumber dari hasil musyawarah untuk mufakat para founding fathers (pendiri bangsa) menjadi negara khilafah, fenomena yang muncul dalam era demokrasi liberal seperti saat ini yang patut diwaspadai. Karena sebagaimana banyak disalahpahami selama ini sekaligus perlu digarisbawahi bahwa Islam tidak identik dengan Arab. Demikian pula perlu dicatat sekaligus diluruskan bahwa muslim tidak identik dengan Islam.
Alquran telah menggambarkan keadaan jiwa orang yang demikian secara artistik sekaligus dramatis dan sangat menyentuh hati.
يكادالبرق يخطف ابصارهم كلّمااضاءلهم مشوافيه واذااظلم عليهم قاموا ولوشاء اللّه لذهب بسمعهم وابصرهم انّ اللّه علئ كلّ شيءقـدير
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menyelimuti mereka, maka mereka pun berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Al-Baqarah 20
sesungguhnya seorang manusia dalam mengarungi hidup dan kehidupan di dunia laksana berjalan di tengah kegelapan. Oleh karenanya, ia harus belajar banyak seraya dibimbing oleh cahaya semacam suluh, obor atau penerang agar tidak tersesat dalam perjalanan. Beruntunglah seorang anak manusia yang lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang masih memiliki dan melestarikan nilai-nilai luhur tradisi dan budayanya. Karena di samping nilai-nilai luhur ajaran agama yang pada umumnya mengandung nilai-nilai dasar, juga nilai-nilai luhur ajaran tradisi budaya masyarakatnya yang akan menyuluhi dan menerangi serta membimbing perjalanan hidupnya dengan selamat sehingga berhasil meraih kemenangan dan kebahagiaan yang abadi.
Pengertian Islam (di) Nusantara
Adapun manusia yang dalam mengarungi hidup dan kehidupannya tanpa bimbingan dan mengenal tata nilai kebajikan dan keluhuran, sesungguhnya ia laksana berjalan di tengah kegelapan tanpa atau mengabaikan bimbingan sinar dan cahaya obor serta suluh yang seharusnya dibawa serta. Selain kesulitan dalam perjalanan, maka tentulah besar kemungkinan sesat jalan yang akan dijumpai dan didapatkannya. Sebagai contoh, banyak tradisi budaya lama dari masyarakat suku Jawa yang tertuang dalam karya sastra, antara lain dalam bentuk peribahasa yang mengandung ajaran nilai-nilai luhur dan selama berabad-abad telah menuntun serta menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Jawa, seperti misalnya becik ketitik olo ketoro, anak polah bopo kepradah, ngalah luhur wekasane, adigang adigung adiguno, ojo dumèh, kêgêdèn êmpyak kurang cagak, ngunduh wohing pakarti, kacang ora ninggal lanjarane, mikul duwur mêndhêm jêro, welas tanpo alis, ambeg parama arta, menang tanpo ngasorake, gemi mikolehi, kebo nusu gudel, tego larane ora tego patine dan segudang ajaran nilai-nilai kebajikan lainnya yang selama ini dikenal dan disebut sebagai kearifan lokal, namun kini tampaknya sudah dianggap usang dan alih-alih dikenal malah tak dipakai lagi. Demikian pula dengan tradisi budaya dari masyarakat suku lain di seantero wilayah Nusantara. Banyak contoh manusia yang tidak mengenal apalagi tanpa suluh dan bimbingan ajaran nilai-nilai tradisi budaya masyarakat di mana ia lahir dan dibesarkan, tampak dari polah tingkahnya mencerminkan keadaan jiwanya yang tandus dan kering, ketika merasa segalanya dianggap cukup hanya menyandarkan pada ajaran nilai-nilai agama yang formalis, skriptualis dan dogmatis. Inilah satu contoh lagi penafsiran dan pemahaman yang tidak tepat terhadap pernyataan atau sabda Nabi saw 'aku sempurnakan' yang dikutip dalam ayat berikut.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu
Al-Maidah 3
Kesempurnaan tersebut dimaksudkan dalam arti tidak menafikan fakta bahwa di luar (Islam) banyak atau tak sedikit ajaran nilai-nilai kebajikan yang tidak bertentangan bahkan selaras dengan ajaran Islam, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Sebab jika diperas pada intinya dan sesungguhnya Islam adalah ajaran akhlak juga. Sebagaimana sabda Rasululullah saw:
انّمابعثت لاتمّم مكارم الاخلاق
Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah swt) semata-mata (goal akhirnya adalah) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (manusia)
Jika ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa memahami hadis tersebut secara harfiah dikhawatirkan dapat mengabaikan bahkan meninggalkan syari'at atau hukum Islam, sesungguhnya tidaklah berdasar. Karena syari'at ujung-ujungnya atau goal akhirnya adalah menyempurnakan kemuliaan akhlak juga, yaitu dengan cara senantiasa menjaga hubungan dengan Tuhan (sesuai dengan definisi "ihsan" dalam hadist lain), sebagaimana dapat disimak dalam ayat berikut.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنكَرِ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar...
Itulah sebabnya mengapa Islam juga mengajarkan agar menghargai nilai-nilai luhur dari tradisi budaya setempat dan hidup sebelum Islam masuk tanpa harus membongkar dan menggantikannya dengan budaya bangsa lain (seperti misalnya Arabisasi) dengan mengatasnamakan untuk tidak mengatakan berkedok agama. Sehingga jangan sampai seperti pada awal kehadiran organisasi keagamaan Muhammadiyah yang membawa misi mengikis serta memberantas sinkretisme dalam praktik agama Islam, tetapi kemudian oleh Kuntowijoyo seorang budayawan sekaligus guru besar ilmu sejarah Universitas Gajah Mada, dinilai sebagai 'gerakan budaya tanpa budaya'. Begitu pula kehadiran ormas keagamaan lain, seperti Front Pembela Islam (FPI) di bawah komando seorang peranakan Habib Riziek Shihab yang visi dan misinya belakangan secara vulgar terkesan hendak "meng-Arab-kan" bangsa dan budaya Nusantara. Bahkan lebih dari itu, gerakan politik yang dikemas sebagai gerakan ormas keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibrangus itu, bukan hanya hendak meng-Arabkan, akan tetapi malah hendak membongkar serta merombak fondasi negara kebangsaan yang bersumber dari hasil musyawarah untuk mufakat para founding fathers (pendiri bangsa) menjadi negara khilafah, fenomena yang muncul dalam era demokrasi liberal seperti saat ini yang patut diwaspadai. Karena sebagaimana banyak disalahpahami selama ini sekaligus perlu digarisbawahi bahwa Islam tidak identik dengan Arab. Demikian pula perlu dicatat sekaligus diluruskan bahwa muslim tidak identik dengan Islam.
Alquran telah menggambarkan keadaan jiwa orang yang demikian secara artistik sekaligus dramatis dan sangat menyentuh hati.
يكادالبرق يخطف ابصارهم كلّمااضاءلهم مشوافيه واذااظلم عليهم قاموا ولوشاء اللّه لذهب بسمعهم وابصرهم انّ اللّه علئ كلّ شيءقـدير
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menyelimuti mereka, maka mereka pun berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Al-Baqarah 20