PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Maret 23, 2017

Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Islam




Dalam artikel lain telah dipaparkan dan dibahas secara mendasar tentang bagaimana hubungan antara Islam dan Demokrasi. Tulisan kali ini membahas dan mengupas dasar hubungan antara Pencasila dan Demokrasi. Topik ini sengaja diangkat terutama guna menanggapi
sekaligus mencoba untuk meluruskan pandangan yang dikemukakan oleh Sang Ideolog Indonesia terkemuka, Surya Paloh. Ia acapkali melontarkan dan mengemukakan pandangannya tentang hakikat
dan filosofi Pancasila. khususnya sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan” yang diperhadapkan vis avis bahkan dinilai kontradiktif dengan demokrasi sebagai sebuah dasar hidup bermasyarakat dan bernegara yang saat ini menerapkan sistem “one man one vote” untuk memilih wakilnya. Sementara penjabaran dan implementasi sila keempat dari Pancasila tersebut sejauh ini harus diakui belum menemukan format sebagaimana yang diharapkan dan dimaksudkan oleh para penggagas dan pencetus Pancasila. Hal tersebut mengemuka setelah menyimak kenyataan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang belum merata untuk tidak mengatakan sangat timpang di berbagai kondisi dan strata sosial

Demokrasi dalam Islam


Kuat dugaan bahwa pemakaian kata “permusyawatan” dalam sila keempat dari Pancasila terinspirasi dan mengadopsi ajaran Islam mengenai kehidupan bermasyarakat sebagaimana termaktub dalam Aluran surat As-Shura (42:38) yang sejak berabad-abad lalu dijadikan rujukan utama jika berbicara mengenai sistem demokrasi:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Persoalannya adalah secara teknis musyawarah seperti apa, untuk dapat disebut sebagai jalan musyawarah, agar dapat dan seharusnya dilakukan guna mencapai kata sepakat atau mufakat? Jika orang yang bermusyawarah jumlahnya hanya lima atau sepuluh orang  barangkali tidak akan terlalu sukar untuk mencapai kata sepakat. Tetapi apabila anggota yang akan bermusyawarah jutaan jumlahnya, bagaimana? Kalau sistem “one man one vote” dianggap bukan penjabaran dan penerapan dari azas musyawarah, mengapa atau apa alasannya? Mungkin karena sistem tersebut kesannya sangat induvidualistis, sehingga dianggap tidak mencerminkan azas kebersamaan dan kegotong-royongan yang menjadi ciri warisan budaya dan kepribadian bangsa Indonesia. Sedangkan sistem  aklamasi mungkin saja untuk dipilih sebagai cara alternatif untuk menempuh jalan musyawarah itu, kendati dalam praktiknya karena sifat “tepo sliro” dan “unggah-ungguh” (tenggang rasa, toleransi) khususnya bagi masyarakat Jawa, bukan tidak mungkin acapkali justru berujung kekecewaan setelah berlalu dari meja musyawarah.

Simak Juga:




Posting Komentar