PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Februari 18, 2019

Berdagang Sukses, Meneladani Nabi saw




Ketika salah seorang ahli ekonomi syariah Dr. Syafii Antonio berbicara mengenai ilmu bisnis maka dengan fasih dan meyakinkan ia akan menyebutkan dan menguraikan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang pedagang yang piawai sekaligus juga amanah yang
jarang diungkapkan dan dibahas dalam forum-forum pengajian. Kepandaian itu didapat antara lain berkat pernikahan pertamanya dengan Siti Hatijah seorang janda pengusaha kaya raya, yang merupakan mentornya dalam bidang usaha. Suatu hal yang sangat manusiawi. Namun demikian harus diingat bahwa kedudukan beliau sebagai rasul utusan Tuhan adalah di atas segala-galanya dengan misi utamanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak atau budi pekerti manusia di bumi. Tugas tersebut dilaksanakan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan sepeser pun, bahkan segenap cinta dan empati dicurahkan kepada seluruh umatnya. Cinta dan empati itu diungkapkan dan dinyatakan tidak dalam kata-kata apalagi teriakan, akan tetapi dalam bentuk tindakan nyata dengan membimbing umat menuju jalan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Tak hanya itu, puncak dari kecintaan dan empati beliau kepada umatnya adalah pemberian “syafa’at” (doa yang pasti dikabulkan Tuhan di hari kiamat kelak) khusus kepada mereka yang dengan setulus hati dan sepenuh jiwa membalas cinta beliau dengan mengikuti ajaran beliau sebagai bukti nyata, -- bukan sebatas lisan ataupun teriakan yell takbir bernuansa “riya” bahkan beraroma politik. Pendek kata seluruh sikap, langkah dan tindakan Nabi Muhammad Saw kepada umatnya pada dasarnya mengandung spirit dan dimensi “memberi” tanpa pamrih atau mengharapkan balasan sebagaimana layaknya orang tua secara naluriah memperlakukan anaknya. Sehingga sukses berdagang bagi Nabi saw bukan diukur dari gelimang harta, karena di akhir hayat beliau hampir tidak banyak harta kekayaan yang ditinggalkan kepada ahli waris. Tetapi karena beliau telah membimbing dan mengantarkan umat pengikutnya menuju keselamatan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin

At-Taubah128

يَوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَـٰنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا

Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya

Thoha 109

Menjual Agama Fenomena Lama


Lalu apa bedanya beliau dengan pedagang pada umumnya? Nabi Saw memandang masyarakat sebagai umat pengikutnya yang dicintai dan disayangi. Sementara para pedagang atau orang yang berjiwa bisnis memandang masyarakat sebagai target group guna memasarkan dan menjual produknya. Sehingga dengan mindset dan paradigma bermunculanlah fenomena motif ekonomi berkedok agama dengan mengatasnamakan atau menggunakan simbol-simbol agama, mulai dari yang paling vulgar sebagaimana yang dilakukan oleh seorang “Ustadz” Guntur Bumi hingga yang tersamar seperti kegiatan sinkretisme tradisi keagamaan. Hal itu dapat terjadi akibat dari kondisi kekurangpahaman atau keawaman masyarakat tentang agama, khususnya tentang peran dan makna doa serta kehausan masyarakat akan solusi spiritual dalam menghadapi berbagai problem kehidupan ternyata oleh sementara media massa, khususnya stasiun televisi, dipandang sebagai peluang bisnis. Pandangan itu memunculkan gagasan untuk berkolaborasi dengan sebagian ustasz yang memang cenderung memiliki orientasi bisnis, sehingga tak terhindarkan lagi terjadi apa yang disebut sebagai komersialisasi agama. Maka jadilah sebuah lahan usaha yang subur tak ubahnya komersialisasi selebriti. Suatu fenomena yang serupa tapi tak sama dialami oleh kaum Nasrani di benua Europa pada abad pertengahan yang lalu. Di Indonesia hal tersebut dapat terjadi salah satu sebabnya adalah minimnya pemahaman masyarakat dalam soal-soal agama yang mendasar, dan --meminjam istilah seorang antropolog senior asal negeri Paman Sam, Clifford Geertz yang pernah mengadakan penelitian tentang budaya masyarakat di Jawa Timur (1950-an)-- pemahaman agama direduksi sebatas urusan “ganjaran dan kuburan”, sehingga tercipta hubungan yang bersifat 'simbiosis mutualistis' di antara pendakwah dan umatnya. Minimnya tingkat pemahaman umat dalam agama tersebut terkesan seperti 'dibiarkan' bahkan seakan-akan 'dipelihara', sehingga disadari atau tidak disadari kelompok umat dianggap sebagai 'pasar' yang dijadikan lahan usaha dan sumber ekonomi, sementara misi dakwah sendiri akhirnya berpotensi terabaikan.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّـهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَـٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّـهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih

Al-Baqarah 174

Kesan 'dibiarkan' dan 'dipelihara' dalam hubungan saling menguntungkan antara sebagian pemuka agama dan umatnya tersebut muncul karena kondisi tersebut telah berlangsung lama tanpa kemajuan yang berarti. Klimaksnya adalah saat diselenggarakan perhelatan politik Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 lalu, suatu kejadian sangat luar biasa dan belum pernah terjadi sepanjang sejarah republik Indonesia berdiri. Dalam peristiwa daerah yang bereskalasi dan berskala nasional tersebut membuktikan bahwa minimnya umat dalam soal agama bukan saja dapat 'dimanfaatkan' untuk tujuan dan kepentingan ekonomi, akan tetapi dapat juga digunakan untuk tujuan politik dan kepentingan sempit sesaat dengan cara memobilisasi massa (umat).

Simak Juga:




Posting Komentar