Selama ini di kalangan umat muslim kebanyakan, disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja, seringkali mencampuradukkan pengertian antara Islam dan muslim (pemeluk Islam), terutama dari sebagian ulama karena untuk meraih kepentingan atau maksud dan tujuan tertentu. Berbeda dengan ulama terdahulu yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan selain tujuan untuk menyampaikan kebenaran meenurut pendapat dan pemahamannya. Karena satu hal yang harus digarisbawahi bahwa firman Allah swt sebagai wahyu yang diturunkan dalam bentuk Alquran dan tafsir atau pemahaman atas maksud Alquran yang dilakukan Nabi Muhammad saw adalah mutlak benarnya. Sedangkan penafsiran dan pemahaman oleh siapapun sepeninggal beliau dan para sahabat yang mengalami hidup sezaman bersama beliau kebenarannya bersifat relatif dan subyektif. Dalam kaitan tersebut Imam Syafi'i salah satu imam dari empat mazhab besar yang dianut pahamnya oleh sebagian besar umat muslim di dunia pernah mengatakan bahwa Tinggalkan pendapatku jika menyelisihi Hadits.
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah itu dan jangan pedulikan ucapan orang (termasuk pendapatnya) (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).
Dalam konteks yang sama, Mohammed Arkoun, guru besar ilmu sejarah dan studi Islam di Universitas Sorbone, Paris, Prancis mengatakan bahwa selama ini sebuah cabang ilmu yang disebut sebagai sejarah islam sesungguhnya merupakan sejarah muslim. Sedangkan sejarah islam sendiri hingga kini belum pernah disusun.
Pencampuradukan bahkan pengaburan pengertian antara islam sebagai pedoman dan petunjuk atau obyek dan muslim sebagai pemeluk islam atau subyek berawal dari pertikaian politik yang berlarut di kalangan umat muslim sendiri hingga hari ini.Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.
- Islam mengajarkan bahwa "jika terjadi silang pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul".
يَـٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّـهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّـهِ وَٱلرَّسُول إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّـهِ وَٱلْيَوْمِ ٱـ اخِر
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
An-Nisaa 59)
- Faktanya, di kalangan umat muslim sendiri spirit ajaran untuk kembali kepada Alquran dan Hadis tersebut tidak otomatis mengakhiri perbedaan pandangan dan perselisihan pendapat. Bahkan di situ terbuka kemungkinan medan silang pendapat baru akibat dari perbedaan pemahaman terhadap Alquran dan Hadis itu sendiri. Dapat ditelisik mulai dari soal2 kecil atau ranting ( furu' , seperti batalnya wudlu, doa qunut salat subuh, tahlil dan lain sebagainya, hingga soal besar seperti ilmu ketuhanan (theologi) yang melahirkan berbagai paham seperti aliran jabbariyah, mu'tazilah, murji'ah dan lain-lain, seperti kesulitan dalam membedakan antara Islam dan etnis dan budaya Arab atau masalah kepemimpinan negara sebagaimana disebut dalam surat al-Maidah 51 yang kemudian di DKI Jakarta sempat menggegerkan, bahkan masalah yang lebih fundamental seperti status kenabian Muhammad saw yang juga tak kalah kontroversialnya
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّـهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧن
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi
Al Ahzab 40
Faktanya, dari kalimat yang sama melahirkan pengertian dan pemahaman yang sangat jauh berlawanan secara diametral. Contohnya, sebagian (besar) umat muslim menganggap atau percaya dan meyakini bahwa Muhammad saw adalah nabi terakhir. Sementara kelompok atau golongan muslim yang lain lagi (Ahmadiyah yang juga mengaku muslim) menganggap dan percaya bahwa masih ada nabi setelah Muhammad saw, yaitu Mirza Ghulam Ahmad
Jadi, pihak yang mengikuti Alquran dan Hadis saja masih belum dapat menyelesaikan masalah, apalagi jika tidak mengikuti tuntunan.