PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Desember 26, 2016

Aksi 411 dalam Perspektif Agama dan Logika







Banyak orang yang mengira bahwa banyaknya jumlah orang yang mengikuti sesuatu hal atau pendapat, maka hal atau pendapat tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran. Padahal mendasarkan jumlah orang (pengikut) sebagai tolok ukur sebuah kebenaran sesungguhnya dapat menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan, jika mengikuti kaidah dan
metode berpikir yang benar, sebagaimana dinyatakan dan diisyaratkan dalam Alquran.

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو اللَّـهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّـهِ

Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.

Al-Baqarah 249

Dalam istilah bahasa Jawa kondisi seperti itu disebut sebagai salah kaprah, dalam artian sesuatu hal atau pendapat yang sebenarnya salah, tetapi diikuti oleh banyak orang. Contohnya, percaya pada adanya hantu dan tahayul (hayalan) lainnya. Atau aksi unjuk rasa GNPF-MUI 411 pada bulan lalu yang diikuti oleh konon jutaan orang itu yang memang dinilai benar secara konstitusi, tetapi bisa jadi dianggap atau dikira juga benar secara agama. Padahal sesungguhnya aksi reaksi dari kelompok umat muslim tersebut jelas bukan bagian dari perintah agama karena sama sekali tidak ditemukan dasarnya secara eksplisit, baik secara naqly maupun sunnah nabi. Apalagi jika kemudian aksi tersebut sekadar pelampiasan hawa nafsu amarah dan kecewa serta tidak lagi murni permasalahan agama, melainkan ditengarai telah disusupi muatan politik (memburu kekuasaan) tentu saja dari para pemuka dan elitenya, maka akan menjauhkan dari nilai hakiki dari sebuah kebenaran teologis yang berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa dan negara Indonesia yang dibangun dengan banyak pengorbanan darah dan ribuan nyawa dari para pahlawan kesuma bangsa. Dengan demikian adalah keliru besar jika mungkin beberapa gelintir pemuka dan elite mengira atau membayangkan bahwa aksi unjuk rasa yang pada awalnya didasari dan didorong  oleh spontanitas umat itu dapat dimanfaatkan ("berselancar") untuk tujuan atau kepentingan dan praktik politik yang sempit (pribadi dan atau kelompok) serta tidak islami (menjurus fasik).  Karena pada dasarnya berkumpulnya manusia dalam hal ini umat muslim ketika itu bukan karena dilatarbelakangi atau dilandasi kepatuhan pada suatu sosok figur tokoh tertentu, tetapi lebih karena persepsi pribadi terhadap persoalan yang sedang terjadi. yakni dugaan penistaan agama Dalam hal itu Tuhan mengingatkan.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

Al-An’am 116

Mungkin masih segar dalam ingatan bahwa kondisi tersebut sesungguhnya dapat dibandingkan dengan mengambil hikmah dari kejadian dan pengalaman dai kondang, KH Zainuddin MZ. Sebagaimana diketahui bahwa dia adalah seorang cendekiawan muslim atau ulama asal Betawi asli yang dijuluki “dai sejuta umat” karena “fans”nya yang konon jumlahnya jutaan tersebar di berbagai penjuru tanah air. Dan tak kalah penting sebagai tokoh agama dia tentu saja sangat dihormati dan dihargai di banyak kalangan bukan saja karena pandangan agamanya yang inklusif dan moderat, tetapi juga perilaku dan sikap hidupnya yang cair dan tawadlu (rendah hati), jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan sosok ulama asal tanah Arab yang kini tinggal di Tanah Abang dan selama ini dikenal gemar mengumbar kekerasan dan intimidasi yang konon diakui sebagai bagian dari strategi dakwahnya. Dengan atau dalam posisi seperti itu orang atau mungkin termasuk sang dai sendiri mengira dan membayangkan bahwa “fans”-nya yang jumlahnya jutaan itu akan patuh atau setidaknya mengikuti jejak dan mendukungnya, sampai ketika dia berencana dan akhirnya mendirikan sebuah partai politik bernama PBR pecahan dari PPP, namun prediksinya meleset dan kenyataan pun berbicara lain. Lalu, sebagaimana diketahui parpol yang didirikan itu nasibnya kemudian bagaikan “bunga melati dari Jayagiri” --seperti cuplikan syair lagu kelompok musik asal Bandung “Bimbo”-- yakni layu sebelum berkembang. Dan seiring berlalunya waktu kemudian, parpol bersama mimpi “ambisi kekuasaan” itupun sirna ditelan bumi bersama dai sang pendiri.

Memang pikiran manusia dengan kemampuannya yang terbatas terkadang salah membaca, bedanya kehendak Tuhan dan kehendak manusia yang “seakan-akan (pseudo-) kehendak Tuhan”, bedanya Islam yang mutlak benarnya dan Muslim, yakni pemahaman manusia selain Nabi Muhammad SAW, baik tingkat ulama maupun empat mazhab Imam sekalipun yang kebenarannya bersifat relatif atau nisbi. Dengan demikian, banyaknya jumlah tidak menjamin adanya sebuah kebenaran (dan kebaikan). Lagi pula bila dicoba hitung secara lebih cermat, perkiraan simpang siur bahwa pengunjuk rasa 411 yang oleh salah satu pihak penyelenggara disebutkan jumlahnya mencapai 7 juta, meski terkesan dibesar-besarkan dan kurang masuk akal, namun jumlah tersebut toch masih terbilang sebagian kecil saja dan sudah barang tentu tidak dapat diklaim mewakili seluruh umat muslim Indonesia yang jumlahnya jauh lebih besar.



Simak Juga:




Posting Komentar