Singa jinak
Ilmu fikih merupakan bidang dan disiplin ilmu yang mengkaji dan mendalami tentang
syariat atau hukum Islam sebagai tuntunan serta pedoman bagi umat muslim menyangkut berbagai segi kehidupan pribadi dan kemasyarakatan. Sebagaimana diketahui bahwa buku-buku ilmu fikih yang dikenal selama ini secara umum
dan garis besar menginduk dan merujuk pada hasil penelitian dari empat ulama besar, yakni Syafi'i, Maliki (Malik), Hanafi (Abu Hanifah) dan Hambali (Ahmad bin Hambal) yang selama hampir satu setengah milenium dipakai sebagai "babon ilmu" syariat Islam yang kemudian melahirkan mazhab dan dianut oleh hampir seluruh umat muslim di muka bumi.
Syariat Islam Ditinjau Kembali
Sebagai produk ilmu hukum dan juga hukum yang secara theologis spiritual mengikat umat muslim, bagaimanapun ia adalah merupakan
hasil dari sebuah penafsiran dan pemahaman --sesuai dengan arti kata "fikih" itu sendiri yang berarti memahami secara cermat dan mendalam-- terhadap dua pedoman dan sumber utama ajaran Islam, yakni Alquran dan As-Sunnah. Dalam upaya memahami kedua sumber utama dan pertama ajaran Islam tersebut, menurut
Mohammed Arkoun, seorang Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Sorbone, Paris, Prancis, sesungguhnya tak lepas dari konteks dan kondisi sosial yang mempengaruhi dan membentuk alam pikiran serta paradigma para ulama khususnya empat Imam Mazhab tersebut. Sementara itu, seiring berjalannya waktu selama hampir satu setengah milenium tersebut konteks dan kondisi masyarakat dalam berbagai bidang telah mengalami perkembangan dan banyak perubahan bahkan sangat jauh berbeda, khususnya bidang hukum. Sebagai contoh, dalam bidang filsafat hukum modern "teori pembalasan", sebagaimana dalam hukum Islam dikenal sebagai "hukum qisas", dianggap "usang" atau ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan paham demokrasi dan deklarasi Hak Azasi Manusia yang telah menjadi issu dunia modern. Sehingga bertolak dari falsafah hukum dan pandangan yang menolak "teori pembalasan" tersebut, maka lahirlah pemidanaan dengan sistem lembaga pemasyarakatan sebagai pengganti dari sistem pemenjaraan. Namun sebaliknya di pihak lain, tidak semua hal yang berhubungan dengan hukum (Islam) cenderung dianggap kuno dan tidak sesuai lagi dengan perubahan dan kebutuhan serta tuntutan zaman.
Hukum Riba
Salah satu contohnya adalah mengenai hukum dan praktik "riba" dalam sistem perbankan dan jasa keuangan lain, khususnya di Indonesia justru mengalami dan menunjukkan arah perkembangan yang positif dengan kian tumbuh kembangnya perbankan syariah. Meskipun dalam praktiknya masih perlu terus dicermati, apakah sekadar memenuhi syarat serta unsur formil dan legalistik atau sudah sampai dan mencapai tingkat materiil dan substansial. Seperti belakangan ini muncul sorotan problematis terhadap praktik penggunaan jasa "pembelian dn pengantaran" khusus makanan (kuliner) oleh perusahaan aplikasi online, seperti "go-Food" dan dari "Grap".
Hukum Musik
Contoh lain adalah mengenai hukum musik yang oleh
sebagian ahli tafsir dikatakan banyak sekali referensi dari Alquran dan Hadist yang mengharamkan, di antaranya adalah sebagai berikut.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاأُولَـٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan
Luqman 6
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik. Hadist riwayat HR Bukhari
Dalam berbagai hal, "perkataan" (baca: sabda, pen) dan "komentar" Nabi saw tentang sesuatu hal bertolak dari realitas kondisi dan tradisi masyarakat Arab, khususnya kaum muslimin, yang "belum lama terlepas" dari belenggu karakter dan tradisi jahiliyah, seperti sangat mencoloknya gaya hidup hedonistis yang akrab dengan musik dan seks (perempuan). Bahkan sebagai contoh, karakteristik dan pembawaan bangsa Arab yang demikian itu masih kerapkali dapat dijumpai saat ini dengan kehadiran banyak turis asal negeri petro dolar tersebut dengan menghamburkan uang di lokasi wisata wilayah Puncak, Jawa Barat, yang nota bene memang akrab dengan gaya hidup hedonisme. Jadi, sabda Nabi saw tersebut dapat (saja) diartikan dan bersifat spesifik dan kasuistis dialamatkan kepada masyarakat Arab saat itu, sehingga tidak dapat
digeneralisasikan alias "digebyah uyah" (Jawa). Sedangkan mengenai ayat 6 surat Luqman yang dijadikan dasar dan referensi masih diperlukan kajian yang lebih cermat dan mendalam, karena tidak secara spesifik menyebutkan definisi dan "legal standing" tentang musik. Karena pada dasarnya larangan terhadap perbuatan zina sudah sangat jelas, bahkan untuk sekadar mendekati.
وَلَا تَقْرَبُواالزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk
Al-Isra 32
Dan sebagaimana diketahui bahwa dalam era digital ini, bukan hanya musik tetapi apapun termasuk salah satunya adalah media sosial seperti Face Book tak jarang dapat saja mengantarkan manusia kepada perbuatan zina. Artinya dan akhirnya tergantung pada manusianya bagaimana memahami sebuah petunjuk secara bijak. Sebab jika pemahamannya dilakukan secara analogis, maka umat muslim harus kembali ke zaman Nabi saw serta mengisolasi diri dari dunia nyata secara murni dan konsekuen, serta tidak sebatas simbolik formalistik. Oleh karenanya dalam hal ini, kiranya lebih relevan dan tepat jika umat mukmin jika bersandar serta berpegang ada ayat berikut.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
انتم اعلم باموردنياكم
Kalian lebih mengetahui dengan perkara dunia kalian
Pengertian Reinterpretasi dan Rekstualisasi Syariat Islam
Pada penghujung abad yang lalu,
Prof Munawir Sjadzali yang pernah menjabat sebagai menteri agama dalam kabinet pembangunan era rezim Orde Baru, sekaligus dikenal dan disebut sebagai tokoh pembaharu Islam, memprakarsai semacam sebuah "proyek" gagasan untuk mengadakan reinterpretasi (penafsiran kembali) dan reaktualisasi atau kontekstualisasi (mendekatkan kembali sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman) atas hukum atau syariat Islam. Menurutnya, pemahaman yang secara harfiyah atau tekstual akan ayat-ayat Alquran dan Hadits harus segera disudahi dan dihentikan. Sebaliknya harus digunakan pendekatan yang kontekstual atau bahkan situasional. Realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui ajaran Islam sejauh yang diketahui selama ini, namun dalam praktiknya sebagian besar dari mereka tidak mengamalkan ajaran itu sehingga kerapkali muncul sikap ambigu dan menggunakan standar ganda dalam beragama terutama dengan hukum Islam, seperti misalnya dalam perkara yang berkenaan dengan bunga bank, pernikahan, dan hak waris. Namun gagasan dan rencana besar dan strategis tersebut saat itu kurang mendapat sambutan dan dukungan bahkan penolakan dari banyak kalangan ulama, mungkin karena dianggap masih terlalu sensitif, sehingga akhirnya hanya berhenti pada gagasan sampai hari ini. Sebagai contoh, penafsiran dan pemahaman ayat tentang gender, yakni kedudukan dan hubungan antara lelaki dan perempuan khususnya dalam hubungan pernikahan yang selama ini menganut sistem patrilinial yang ditengarai akibat pengaruh dan konteks budaya suku bangsa Arab semasa hidup Nabi saw yang menempatkan kaum lelaki sebagai warga kelas satu, sedangkan perempuan sebagai warga kelas dua. Padahal dalam spirit Islam sejak awal kelahirannya telah mengumandangkan semangat kesetaraan antara lelaki dan perempuan, bahkan mengangkat derajat perempuan yang berdimensi "memanusiakan manusia". Bila belakangan ini di Indonesia muncul dengan santer wacana mengenai
Islam Nusantara, sesungguhnya wacana tersebut secara tak langsung telah dimulai secara substantif dan esensial sejak gagasan untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi fiqih Islam digulirkan oleh Munawir Sjadzali. Sebagaimana diketahui bahwa dalam kasus Islam turun di tengah masyarakat Arab yang jahiliyah ketika itu Islam membongkar total budaya jahiliyah dan digantikan dengan budaya baru yang bernafaskan Islam. Sementara kasusnya berbeda ketika Islam datang ke wilayah Nusantara yang pada umumnya telah memiliki budaya dan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan spirit Islam. Oleh karenanya, kehadiran dan peran Islam di wilayah tersebut lebih pada 'memonotheiskan' atau mensyahadatkan kepercayaan masyarakat yang berabad-abad sebelumnya merupakan pemeluk agama Hindu-Budha. Dari kedua kasus tersebut membuktikan bahwa pada dasarnya Islam tidak secara otomatis dianggap identik dengan Arab sebagaimana selama ini dipikirkan dan dipropagandakan oleh kelompok Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia itu. Perdebatan ataupun polemik tentang istilah dan penyebutan Islam Nusantara atau Nusantara Islam yang dipahami secara dikotomis sesungguhnya tidak perlu terjadi bila saja mau sedikit mencermati segi kebahasaan. Karena keduanya tetap memiliki makna positif. Untuk membuktikannya dapat dibuat simulasi kalimat sebagai berikut. Bila kata 'Islam' diganti dengan kata 'olah raga' dan kata 'Nusantara' diganti dengan kata 'masyarakat', maka akan dapat disusun dua macam kalimat yang tetap bermakna positif sebagai berikut: (1) Menģolahragakan masyarakat, hasilnya memastikan masyarakat (mau/menyukai) berolah raga; (2) Memasyarakatkan olah raga, hasilnya masyarakat (lebih) mengenal olah raga.
Jika semasa pemerintahan Orde Baru waktu itu gagasan tersebut dimunculkan dalam suasana desakan politik agar Pancasila dijadikan sebagai azas tunggal, maka belum lama ini sempat mencuat gerakan politik justru akan menggusur Pancasila dan menggantikannya dengan ide
negara (sistem) khilafah. Suatu hal yang tidak dikehendaki bahkan sangat bertentangan dengan pandangan dan keyakinan sang penggagas itu sendiri.
Demikian pula tentang kedudukan perempuan dalam hubungan rumah tangga dan pernikahan.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّـهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...
An-Nisaa 34
Selama ini hampir semua ahli tafsir mengartikan kata 'ar-rijal' dengan (kaum) 'lelaki' vis a vis 'an-nisaa' (kaum) 'perempuan' dalam ayat tersebut sebagai perbedaan kelamin. Sementara kalimat berikutnya sebagai predikat, yakni "
Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" yang sesungguhnya dan seharusnya merupakan satu kesatuan sepertinya diabaikan dan dipahami secara terpisah. Padahal utamanya pada zaman mutakhir ini peran kaum perempuan dalam berbagai bidang kehidupan semakin di depan dan dapat melebihi kaum lelaki, tidak lagi sekadar menempati peran domistik. Sehingga bisa jadi kata "lelaki" dalam ayat tersebut tidak semata-mata merujuk pada jenis kelamin, tetapi lebih pada peran dalam hubungan antara kedua pihak khususnya dalam ikatan pernikahan dengan prinsip hubingan kesetaraan derajat dan martabat. Sebagai kosekuensi dan kelanjutan dari hal tersebut adalah berkaitan dengan hukum waris dalam Islam yang dikenal selama ini menganut prinsip pembagian 'perempuan mendapatkan 50% (separoh bagian) atau segendongan (
Jawa) dan lelaki 100% (satu bagian) atau sepikulan (
Jawa), dianggap sudah tidak relevan dan aktual atau realistis lagi dengan perkembangan kondisi sosial sebagaimana diuraikan tersebut. Oleh karenya dipandang perlu untuk dilakukan interpretasi dan penafsiran baru yang lebih sesuai, aktual dan realistis, yakni pembagian harta waris dengan nilai nominal dan besaran yang sama antara lelaki dan perempuan.
Contoh lain dapat dikemukakan misalnya adalah tentang hukum 'potong tangan' bagi pelaku tindak pencurian.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّـهِ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Al-Maidah 38
Kata 'tangan' dalam ayat mengenai hukum pencurian tersebut dapat diartikan dan ditafsirkan secara 'majazi' (kias atau analogi), sebagaimana pengertian kata 'tangan Tuhan' dalam ayat berikut. Karena manusia tidak dapat mengetahui hakikat zat Tuhan, apakah yang dimaksud Tuhan memiliki tangan seperti manusia atau kata 'tangan' dalam arti jangkauan kekuasaan sebagaimana dimaksudkan ayat berikut.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّـهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki..
Al-Maidah 64
Sehingga jika kata 'tangan' dalam ayat mengenai hukum pencurian tersebut diartikan dan dipahami secara 'majazi', maka hukum
'potong tangan' dalam kasus pencurian tersebut juga dapat diartikan dan dipahami sebagai 'dimiskinkan' misalnya, sebagaimana yang banyak disuarakan oleh kalangan masyarakat anti korupsi di Indonesia belakangan ini terhadap
tindak pidana korupsi, selain hukuman 'ditembak sampai mati' seperti yang dibelakukan dan dilaksanakan di negeri Tirai Bambu.
Sebagai ilustrasi dapat disebutkan bahwa Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta pernah dikanai dan mendapat hukuman sosial (dalam bentuk 'dimatikan hak perdatanya', antara lain dengan cara memblokir rekening bank, layaknya 'ikan yang dikeringkan air habibatnya sehingga secara perlahan tapi pasti ia akan mati dengan sendirinya', demikian menurut Pak Harto) gegara ia ikut bergabung dalam gerakan politik 'Petisi Lima Puluh' (terdiri dari lima puluh pensiunan jenderal dari berbagai angkatan) yang bertujuan untuk mengkritisi dan mengoreksi penguasa otoriter presiden Soeharto.
- Tafsir baru yang berpandangan bahwa riwayat keluarnya Adam as bersama istrinya dari sorga dan kemudian turun ke bumi bukan diusir karena dosa (makan buah khuldi) alias musibah, tetapi justru berkah (karena sebelumnya sudah mendapat ampunan dari Tuhan), tampaknya BELUM POPULER DI KALANGAN ULAMA PADA UMUMNYA. Padahal perubahan sudut pandang yang berbeda secara diametral tersebut sangat penting dan mendasar bagi paradigma eksistensi manusia dan kehidupannya di muka bumi.
Dan yang tak kalah penting dan perlu dicatat adalah dosa Adam as yang dianggap sebagai dosa turunan yang kemudian melahirkan ritual penebusan dosa dikombinasi dengan kultus individu pada nabi Isa as yang melahirkan trinitas, keduanya merupakan konsep dasar akidah dan theologi kaum Nasrani yang syirik atau melenceng jauh dari ajaran asli dari Tuhan, monotheisme.
- Pada pertengahan abad 20 sebagian dari para mufasir berpendapat bahwa sorga yg digambarkan dalam Alquran bermakna majazi (simbolik). Contoh, deskripsi tentang sungai yang mengalir abadi di bawah sorga dan bidadari sesungguhnya merupakan gambaran kenikmatan yang ditujukan bagi orang Arab yang tinggal di padang tandus, dan karakter libido mereka yang seperti "kambing bandot", dimana jika melihat atau berdekatan dengan kambing betina langsung naik birahi dan dengan gerakan khas mendekati sang betina seraya mulutnya mengeluarkan suara: "êmmbèè..èè..èèk..èèk..èèkkk..!"
Di bagian lain, berbagai ayat Alquran yang isinya mengandung kecaman terhadap kaum Yahudi dan Nasrani sesungguhnya harus dimaknai bahwa kecaman tersebut dialamatkan kepada
orang atau pemeluk, dan lebih spesifik adalah orang-orang atau kaum Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw, bukan agama Yahudi atau Nasrani itu sendiri. Sebab secara nalar, Nabi Musa as dan Nabi Isa as pembawa kedua agama tersebut juga merupakan utusan Tuhan, sehingga mustahil Tuhan mengecam ciptaanNya sendiri. Pencampuradukan pengertian antara agama dan pemeluknya, tak terkecuali di lingkungan umat muslim, sudah sejak dahulu kerapkali sengaja dilakukan karena latar belakang dan untuk tujuan lain (seperti politik dan atau ekonomi) yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengertian kebenaran agama itu sendiri. Lebih dari itu, upaya reinterpretasi serta reaktualisasi fiqih Islam tersebut juga termasuk kajian mengenai dan dalam masalah
poligami. Turunnya ayat poligami yang mengizinkan laki-laki lebih dari satu beristri hingga empat perempuan sesungguhnya kian menegaskan pendekatan Alquran pada budaya Arab yang sebelumnya mempraktikkan poligami tanpa batas.