Jika ditarik agak sedikit ke belakang dalam catatan sejarah, ideologi khilafah bermula dan dikenal di Indonesia sejak pasca Perang Dunia II tepatnya pada dekade 1950-an dengan munculnya gerakan Pan-Islamisme yang digagas dan dicetuskan oleh cendekiawan muslim asal Afghanistan, Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan penyebutan istilah khilafah itu sendiri sesungguhnya lebih merupakan
wujud romantisme dan bentuk manifestasi kerinduan masa lampau zaman keemasan atau kejayaan imperium kaum muslim, seperti misalnya zaman pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin. Namun kondisi dan perkembangan politik di Indonesia waktu itu tidak memberikan ruang cukup bagi berkembangnya ideologi politik khilafah tersebut. Setelah melewati masa beberapa dekade, baru pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu gerakan politik khilafah tersebut seakan "menemukan momentumnya" yang memang sudah sejak lama ditunggu-tunggu. Dan hal itu terbukti kemudian dalam waktu singkat bermetamorfosis menjadi gerakan politik berbau radikalisme dan fundamentalisme, di mana secara terang-terangan mereka menyatakan akan membongkar azas Pancasila sebagai pemersatu bangsa itu demi mewujudkan cita-cita membentuk negara berazaskan Islam (versi) khilafah, seraya menganggap sistem demokrasi tidak islami. Adapun pertanyaan mengenai mengapa Indonesia memilih Pancasila sebagai satu-satunya azas bernegara dan menolak ideologi politik khilafah, namun bukan juga negara sekuler itu banyak sekali sudah dibahas. Namun secara ringkas dapat dikatakan bahwa para founding fathers (pendiri bangsa) telah sepakat meletakkan dasar pendirian dan pembentukan negara Indonesia sebagai negara bangsa yang inklusif, merangkul dan menaungi segenap komponen bangsa mencakup banyak suku, etnis, ras, dan agama. Sekaligus menolak ideologi lain seperti khilafah yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara agama.
Persamaan dan Perbedaan Prinsip Ideologi Khilafah dan Komunisme
Terlepas dari penolakan Indonesia sebagai negara agama, dalam hal ini Islam, yang sesungguhnya selain karena tidak realistis dan juga ahistoris, jika dirunut dan benar-benar didalami sesungguhnya ideologi khilafah tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan spirit dan ajaran Islam yang sejati. Sebelum membahas lebih jauh tentang ideologi khilafah, supaya jelas pangkal persoalannya ada baiknya terlebih dahulu menilik dan menelisik perbandingan pokok dan sipirit ajaran Islam dan Komunisme. Mengapa komunisme dipilih sebagai perbandingannya? Sebagai sebuah konsep pembangunan khususnya teori ekonomi dan sosial, tercatat dalam sejarah dunia, komunismelah yang paling menonjol di antara paham-paham lain yang muncul dan berkembang pasca runtuhnya imperium muslim, dan sempat "menyihir" serta diikuti oleh hampir dua pertiga penduduk dunia. Dalam soal jumlah pemeluk atau pengikut, demikian juga dengan Islam. Secara prinsip dan unsur mendasar dalam konsep tata kelola dunia dan masyarakat (teori pembangunan) Islam dan Komunisme sama-sama menaruh perhatian pada kaum lemah. Islam menyebutnya dengan istilah 'kaum dhuafa', sedangkan Komunisme menyebutnya sebagai 'kaum proletar" atau belakangan lebih dramatis disebut 'kaum tertindas'. Keduanya sama-sama memiliki konsep dan bercita-cita hendak membangun dan mendirikan sebuah kekuasaan politik tunggal secara internasional (transnasional) di bawah kekuasaan seorang pemimpin absolut (monarki) atau beberapa penguasa absolut (oligarki). Namun dalam praktik dan implementasinya, konsep Islam dan Komunisme memiliki perbedaan yang mendasar dalam pendekatannya. Guna mengatasi kesenjangan dan ketimpangan sosial khususnya dalam bidang ekonomi Islam menggunakan dan atau melalui pendekatan berdimensi theologis yang memancarkan kesadaran dari dalam batin dalam bentuk akhlak mulia yang ditanamkan pada setiap individu muslim atau biasa disebut sebagai teori bottom-up dengan merujuk ayat Alquran berikut.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْإِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْوَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
At-Taubah 103
Sebahagian ulama menafsirkan kata "ambillah" dalam ayat tersebut adalah kata perintah yang memiliki daya paksa (law enforcement) yang tentu saja secara teknis diatur dalam tatanan pemerintahan.
Simak juga: Agamis vs Nasionalis
Sementara Komunisme memandang kesenjangan dan ketimpangan tersebut sebagai akibat dari keserahan dan kejahatan manusia, sehingga harus direbut atau diperjuangkan melalui pendekatan konsep pertentangan kelas (sosial). Dan untuk mewujudkan cita-cita tersebut satu-satunya cara dan jalan yang harus ditempuh adalah melalui jalan kekuatan dan kekuasaan politik (negara) atau apa yang disebut sebagai pendekatan top down, yang tak jarang dilakukan dengan menciptakan ketegangan dan disharmoni serta mengajak bahkan menghasut rakyat mulai dari merongrong hingga mengambil alih pemerintahan yang sah secara tidak sah, minimal tidak sesuai dengan etika agama. Terlepas dari soal tujuan yang hendak diraih, dengan kemasan "demi menegakkan syariat Islam", dengan jargon-jargon provokatif --sebagaimana dilakukan Komunisme-- seperti "aksi bela agama. aksi bela ulama" dan sebagainya, metode dan strategi politik yang dilakukan oleh gerakan politik khilafah tak jauh berbeda dengan cara-cara yang dilakukan komunisme. Dan satu hal yang menjadi catatan penting adalah bahwa tak berbeda jauh dengan komunisme, ideologi khilafah sesungguhnya adalah juga hasil dari pemikiran manusia yang bisa saja salah dalam konsep ataupun implementasinya.
Peran Manusia dalam Konsep Penciptaan Dunia
Teraleniasinya umat muslim di puncak kekuasan rezim Orde Baru di bawah pimpinan presiden RI ke-2 Soeharto seakan menyimpan blessing in disguise
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
Adh-Dhariyat 56
Padahal di ayat lain Tuhan memberikan pesan dan kesan yang menegaskan tentang berbagai pemikiran yang bersifat anthroposentris tersebut dengan menyatakan bahwa Tuhan telah memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah di bumi.
...وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"...
Al-Baqarah 30
Perubahan dasar pandangan tersebut mirip pemahaman manusia tentang alam semesta dengan teori galaksi atau tata surya. Dulu manusia beranggapan bahwa bumi merupakan pusat sistem galaksi sebelum akhirnya diketahui secara ilmiah bahwa pusat sistem galaksi adalah matahari.
Simak juga: Agama di Tengah Gempuran Paham-paham
Hasil ijtihad dan penafsiran dari para cendekiawan muslim muda atas ayat tersebut seolah seperti sebuah 'fatwa' noninstitusional yang diyakini kebenarannya dan dijadikan landasan beramal bagi umat muslim khususnya di Indonesia sampai hari ini. Sekilas pemahaman dan penafsiran tersebut kelihatannya memang benar dan tidak keliru. Namun jika dicermati dan direnungkan lebih dalam seraya merujuk pada ayat lain menunjukkan bahwa pengabdian manusia kepada Tuhan itu sama sekali bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan semata-mata untuk kepentingan atau kebutuhan manusiaitu sendiri. Pendapat ini juga diperkuat oleh sebuah hadist yang menyebutkan bahwa seorang manusia masuk sorga itu sesungguhnya bukan karena amal perbuatannya selama di dunia, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan pada manusia.
وَقَالَ مُوسَىٰ إِن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّـهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"
Ibrahim 8
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّـهِ
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji
Fatr 15
Jadi, penafsiran dan pandangan para cendekiawan muslim Indonesia tentang teori anthroposentris tersebut tidak sepenuhnya tepat. Karena pengabdian manusia kepada Tuhan tersebut bukan tujuan atau sasaran akhir, tetapi lebih tepat disebut sebagai sasaran antara dan secara fungsional menjadi 'mekanisme kontrol' bagi manusia dalam melaksanakan visi dan misi kekhalifahan di bumi sesuai dengan pesan dan kehendak Tuhan. Pendapat tersebut dikuatkan dengan sebuah hadist yang meriwayatkan pertemuan dan dialog antara malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw tentang berbagai hal yang mendasar dari agama. Salah satunya adalah tentang definisi "ihsan". Berikut cuplikan terjemah hadist tersebut.
...Malaikat Jibril (bertanya kepada Nabi saw): 'Sampaikan kepadaku tentang apa itu ihsan!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ihsan itu, engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihatNya. Jika engkau tidak bisa (melihatNya), maka sesungguhnya Allah melihatmu.’ (HR Muslim)
Kesemua rencana dan kehendak Allah swt dalam kerangka besar penciptaan manusia sehingga dikirimkan rasul Muhammad saw itulah sesungguhnya yang dimaksudkan dan makna yang paling mendekati kebenaran dari frasa 'rahmatan lil alamin' yang belakangan ini menjadi diskursus luas di tengah masyarakat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
Al-Anbiya 107
Dampak Sosial-Politik Teori Hubungan Manusia dan Tuhan
Puncak dari KEBERAGAMAAN adalah ketika manusia mengerjakan atau melakukan suatu kebajikan BUKAN KARENA DISURUH, akan tetapi karena yakin bahwa kebajikan itu adalah sebuah perbuatan kebajikan yang bermanfaat bagi kehidupan dunia (dan akhirat bagi yg percaya).
- Hubungan yang bersifat theosentris berpotensi bagi manusia dapat dan merasa sah melakukan apa saja, termasuk mengorbankan kemanusiaan dengan alasan demi mengabdi kepada Sang Pencipta, yang sesungguhnya tidak Ia kehendaki. Jadi, alih-alih agama menawarkan solusi, proses dehumanisasi malah kian meluas dengan berkembang nya kapitalisme, baik di lingkungan swasta maupun pemerintahan, sebagaimana diprediksi dalam teori sosialisme oleh "bapak" komunisme, Karl Mark.
- Hubungan yang bersifat anthroposentris berpotensi bagi manusia bersikap takabur seraya melupakan asal kejadiannya dan kemana hidupnya hendak berlabuh.
Puncak dari KEBERAGAMAAN adalah ketika manusia mengerjakan atau melakukan suatu kebajikan BUKAN KARENA DISURUH, akan tetapi karena yakin bahwa kebajikan itu adalah sebuah perbuatan kebajikan yang bermanfaat bagi kehidupan dunia (dan akhirat bagi yg percaya).
Kembali mengenai ideologi khilafah yang bercita-cita hendak mendirikan negara Islam dengan dalih dan dalil 'membela agama Allah' atau 'menegakkan syariat Islam' (theosentris) seraya cenderung tidak nguwongke (memandang manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya), selain tidak memiliki landasan theologis juga tidak sesuai dan sejalan dengan kehendak Tuhan. Jadi, teori atau pandangan theosentris tentang relasi antara Khalik dan makhluk, selain tidak memiliki dalil dan landasan logika yang kuat ternyata juga rentan disalahgunakan untuk tujuan sempit dan kepentingan politik yang semata berorientasi pada kekuasaan.