Sejak Indonesia memasuki era reformasi, seolah-olah menjadi ciri kredo politik khas Indonesia, khususnya setiap kali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memenangi Pemilihan Umum setiap kali itu pula issu dikotomis kelompok agamis dan nasionalis kembali
mencuat ke permukaan. Issu demikian sebenarnya sengaja ditiupkan dan digulirkan oleh pihak tertentu untuk menggiring dan membentuk opini dalam rangka untuk memenangi kontestasi dalam sebuah kegiatan Pemilu. Dalam perkembangannya, pemahaman dikotomis antara agamis dan nasionalis tersebut menggiring suatu opini bahwa seseorang atau kelompok yang menganut dan mendukung paham nasionalis seakan-akan tidak ada urusan atau dianggap tidak beragama atau bahkan lebih jauh dari itu adalah anti agama. Sebaliknya kelompok penganut agama dianggap tidak memiliki semangat dan jiwa nasionalisme. Inilah bentuk sesungguhnya dari paradigma politisasi agama yang paling sophisticated dan mendasar. Karena dampak yang ditimbulkan sangat serius sehingga berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bahkan mengancam keutuhan bangsa. Pandangan dikotomis demikian secara vulgar dipertontonkan dan direpresentasikan dua pasang capres dan cawapres, yakni Jokowi dan Yusuf Kalla dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang berhadapan secara frontal pada Pilpres 2014. Saat itu pasangan Jokowi dan Yusuf Kalla "dibombardir" serangan sebagai kelompok nasionalis yang dianggap identik dengan kelompok 'abangan' bahkan anti agama. Pola dan strategi yang hampir sama dilakukan di Pilakada DKI Jakarta dan ternyata berhasil mengantarkan Anies Baswedan menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, meskipun issu yang diangkat bukan anti agama tetapi agama lain, dalam hal ini Kristen. Dari pengalaman Plkada DKI tersebut terkuak dan terbukti maksud dan tujuan sesungguhnya dari pihak yang berpendapat 'tidak boleh dipisahkan antara politik dan agama' tak lebih dan tak kurang adalah untuk kepentingan politik kekuasaan semata, dan sama sekali bukan untuk maksud dan tujuan dakwah. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa paham pencampuran politik dan agama hanya dijadikan alat propaganda untuk politik kekuasaan. Jika hubungan antara urusan politik dan agama dapat disandarkan pada hadis berikut:
انتم اعلم باموردنياكم
Kalian lebih mengetahui dengan urusan dunia kalian
Maka pertanyaannya kemudian adalah apakah ilmu politik dan politik praktis itu urusan dunia atau akhirat? Apa dalil dan landasannya? Sebuah persoalan mendasar antara dogma dan logika yang tak pernah jelas dan tuntas hingga hari ini.
Simak juga: Harga Sebuah Demokrasi
Senafas dengan itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap sikap Golongan Putih (Golput) di gelaran Pemilu, khususnya Pemilihan Presiden 2019 yang menuai kritik dari sejumlah kalangan. Ditinjau dari sisi etimologi saja fatwa haram sikap golput itu sudah mengundang kontroversi. Sebab bila sikap golput diartikan atau sinonim dengan sikap 'abstain', maka fenomena tersebut merupakan hal yang biasa dan lumrah terjadi, sebagaimana halnya dalam rapat-rapat kerja para wakil rakyat di DPR yang notabene sama-sama merupakan kiprah di ranah politik. Sementara hal-hal yang lebih mendasar, seperti misalnya perlu atau tidaknya dipisahkan antara agama dan urusan pilitik, apa manfaat dan mudaratnya sampai hari ini masih menjadi hal yang problematik dan kontroversial. Yang jelas kedua pendapat tersebut sama-sama tidak cukup memiliki referensi ataupun dalil 'naqly', melainkan hanya landasan dalil 'aqly', yang dalam ushul fikih biasa disebut 'jumhur ulama', yakni hasil kesepakatan dari sebagian ulama. Sementara kesepakatan itupun sesungguhnya tidak melalui suatu forum resmi seperti halnya forum simposium dalam ilmu kedokteran.