PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

November 09, 2019

Sejarah Rivalitas NU dan Muhammadiyah



Aliran Wahabi







Gagasan pembuatan film "Jejak Langkah 2 Ulama" yang menceritakan perjalanan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, khususnya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurutnya, saat ini banyak yang memandang dan menempatkan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari hanya sebagai tokoh primordial, tanpa mengetahui lebih jauh sejarah berbagai kiprah perjuangan dan kedekatan hubungan keduanya dalam membangun bangsa. Padahal kedua ulama tersebut telah mengajarkan kepada kita untuk berdakwah dengan cara yang santun, menyejukkan, menyegarkan, damai, dinamis, dan penuh toleransi dalam rangka membangun dan mempersatukan bangsa Indonesia. Masih menurut Haedar, kedua ulama tokoh bangsa tersebut tidak pernah saling merendahkan, atau berseberangan apalagi bermusuhan sebagaimana anggapan banyak pihak selama ini, sebaliknya justru saling menghormati sekalipun ketika mereka memiliki pandangan yang berbeda. Keduanya juga memiliki visi dan misi yang sama untuk membangun karakter bangsa. Dengan mendirikan dua organisasi yang besar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), kedua ulama itu telah berhasil menanamkan ajaran Islam yang damai dan toleran.
Para ahli sejarah pada umumnya mengingatkan bahwa dalam penulisan sejarah, idealnya harus mengungkapkan fakta yang benar dengan sejujurnya. Sebagaimana dicatat dalam sejarah bahwa NU didirikan sebenarnya lebih karena dipicu atau setidaknya dilatarbelanjangi oleh "rasa gerah" dan sikap penolakan (resistensi) yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama di kalangan muslim tradisional, utamanya keluarga kraton yang memang masih memiliki pengaruh besar di masyarakat luas, baik secara langsung maupun tak langsung, merasa menjadi "target" atau sasaran tembak visi n misi dakwah Muhammadiyah cq KH Ahmad Dahlan karena mereka mempraktikkan sinkretisme Islam. Hal itu dapat dilacak dari perjalanan KH Ahmad Dahlan sebelum Muhammadiyah didirikan, seringkali belajar di Jamiatul Khair yang berpusat di Kampung Jawa, Krukut, Jakarta Barat. Namun keberangkatannya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji juga dimanfaatkan untuk lebih mendalami ilmu agama Islam nampaknya lebih menentukan arah pandangan dan perjuangannya. Hal itu dapat dilihat ketika ia mengenal dan mendalami paham Wahabi yang secara resmi dianut pemerintah Saudi Arabia kemudian diadopsi dalam menyusun visi dan misi Muhammadiyah yang didirikan. Aliran atau paham Wahabi dikenal dengan mengusung visi pemurnian agama secara "strict", dengan misi pemberantasan praktik musyrik, bid'ah dan khurafat secara murni dan konsekuen. Dalam pada itu, KH Hasyim Asy'ari dalam usianya yang masih relatif muda (28 tahun), yakni pada tahun 1899 telah mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur, sebuah wilayah yang dihuni banyak pelaku maksiat, di antaranya perjudian dan pelacuran. Namun seiring berjalannya waktu para pelaku maksiat tersebut berubah menjadi pengikut sang kiai yang setia dan taat beragama. Tak hanya itu, pengaruh sang kiai bahkan menjangkau hingga wilayah lain yang semakin luas. Sementara KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi massa (ormas) keagamaan Muhammadiyah pada tahun 1912, persisnya 14 tahun lebih dahulu sebelum menyusul kemudian KH Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926.

Dari fakta sejarah, menurut kategorisasi Aristoteles, siapa sesungguhnya di antara keduanya yang lebih memiliki strong mind?

  • KH HASYIM ASY'ARI pada umur 28 tahun telah mendirikan pondok pesantren Tebu Ireng (1899) yang kemudian memiliki pengaruh luas
  • KH AHMAD DAHLAN pada umur 42 tahun mendirikan Muhammadiyah (1912);
  • KH HASYIM ASY'ARI memilih dan mengambil sikap nonkooperatif (tidak mau kompromi dan berani menentang penjajah Belanda, yang berujung pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya);
  • KH AHMAD DAHLAN memilih dan mengambil sikap kooperatif (berkompromi dengan kaum penjajah, yang berpotensi memunculkan politik devide et impera atau politik adu domba dari pihak penjajah Belanda);
  • Pada periode sebelumnya (1835-an) mbah Penatus, seorang mantan prajurit Pangeran Diponegoro selama dalam pengungsian berhasil mendirikan kawasan hunian di desa Lebo, kecamatan Gringsing memilih dan mengambil sikap INDEPENDEN (tidak nonkooperatif dan tidak pula kooperatif) dalam menghadapi penjajah Belanda. Sikap politik yang diambil tersebut dilatarbelakangi posisinya sebagai mantan prajurit P. Diponegoro yang masih terus dicari dan diburu pihak Belanda tanpa kehilangan jiwa penjuangnya. Dengan sikap itu ia bak harimau yang dengan sabar menunggu dan mengintai mangsa (Belanda), dan bila saat yang tepat tiba ia melompat dengan segenap tenaga seraya mengaum keras menerkam mangsa. Analogi itulah yang diwakili sosok sang cicit bernama Margono yang jasadnya dikubur di Lebo sebagai pahlawan tak dikenal.


Halaman:  


Simak Juga:




Posting Komentar