Berbicara mengenai akhlak atau budi pekerti Nabi saw, maka autentitas keluhuran atau keagungan akhlak Nabi saw sesungguhnya tidak dapat diragukan lagi, karena Allah swt sendiri yang mengisbatkan hal tersebut.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Al-Qalam 4
Sehingga olah karenanya kemudian Tuhan
menyatakan bahwa Nabi saw merupakan suatu suri tauladan yang baik.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Al-Ahzab 21
Sumber lain menjelaskan tentang ayat 4 surat Al-Qalam tersebut dengan mengatakan secara garis besar bahwa akhlak Nabi saw adalah Alquran. Hanya saja, sebagian besar ustad jarang atau tidak menjelaskan ataupun memberikan contoh nilai-nilai akhlak dari Alquran mana atau apa yang diimplementasikan dalam peri kehidupan nyata Nabi saw. Kecuali satu atau dua nilai akhlak, seperti sikap sabar dan sifat "pemaaf" dari Nabi saw dalam beberapa kasus dan peristiwa yang kerapkali diangkat dan dikisahkan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi saw adalah orang pertama yang menjenguk seorang perempuan yang sedang menderita sakit panas. Padahal perempuan tersebut yang seringkali meludahi beliau jika beliau sedang berjalan melewati rumahnya. Menyadari bahwa Nabi saw ternyata adalah sosok yang berakhlak mulia dengan telah memaafkan perbuatannya tersebut, perempuan itupun sontak menyatakan masuk Islam. Dalam peristiwa lain diriwayatkan ketika Nabi saw diancam akan dibunuh oleh seseorang bernama Du'stur yang telah siap menghunus sebilah pedang di tangannya, sementara beliau dibuat tersimpuh di depan kedua kakinya, seraya menghardik "siapa yang akan menolongmu. wahai Muhammad..!". Ketika pengancam tersebut mendengar jawaban beliau singkat "Allah swt..!", maka sontak tubuhnya gemetar dan tiba-tiba pedang terjatuh dari genggamannya, lalu Nabi saw pun memungutnya seraya berbalik menghardik "siapa yang akan menolongmu, wahai Du'stur?!". Dengan spontan dan bergetar orang tersebut menjawab "engkau, wahai Muhammad!". Tetapi kemudian Nabi saw pun memaafkannya. Berikutnya dalam riwayat lain yang merupakan peristiwa klimaks dari sifat dan sikap pemaaf Nabi saw adalah dalam peristiwa penaklukan kota Mekah (fathul Makah). Riwayat2 itulah yang sering diulang-ulang dan dijadikan ilustrasi dan referensi untuk menggambarkan "penderitaan" seorang Nabi saw yang seringkali dihina, dicaci bahkan diancam pembunuhan, namun beliau selalu bersikap sabar dan memaafkan.
Tetapi pernahkan kita atau para ustad dan dai itu mendengar dan membayangkan atau mungkin dibilang kurang ajar jika ingin membandingkan fakta dan kisah lain tentang akhlak mulia menyangkut sikap sabar dan sifat pemaaf atas "penderitaan" akibat dari perbuatan orang atau pihak lain? Salah satunya adalah kisah fenomenal yang dialami oleh Nelson Mandela, seorang pemimpin kemerdekaan rakyat Afrika Selatan dari jajahan Inggris dengan politik apartheid (rasialis) di bawah pimpinan PM Botha yang sangat bengis dan kejam. Dipenjarakan selama 25 tahun saja sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk memberikan gambaran betapa penderitaan pemimpin rakyat Afrika Selatan tersebut. Belum lagi perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dialaminya selama di penjara, bukan hanya mengancam jiwanya, tetapi sama saja artinya dengan membunuh secara perlahan-lahan. Kisah perjuangan dan penderitaannya selama di penjara dengan perlakuan sangat hewani telah divisualisasikan dalam bentuk film dokumenter. Singkat cerita, setelah ia dilepaskan dan keluar dari penjara dan rakyatnya berhasil meraih kemerdekaannya, sosok pemimpin yang dikagumi dunia dan menjadi model serta tokoh perdamaian itu karena telah memaafkan warga Inggris mantan penjajah dan penindasnya dan kemudian mereka hidup bersama dalam damai.
Terakhir pantas juga ditampilkan sosok Jokowi yang meski hanya dalam bentuk dibully, tetapi kesabaran dan sikap pemaafnya mungkin dapat "disejajarkan" dengan Nabi saw. Bukankah umat memang disuruh untuk meneladaninya? Sehingga artinya, dalam hal tertentu tak mustahil seseorang dapat menyamai atau bahkan barangkali melebihi dari beliau dalam akhlak.