PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Maret 27, 2022

Tuhan Maha Demokratis


Cikal Bakal Demokrasi

Untuk memahami demokrasi secara lebih utuh ada baiknya menyimak kembali secara ringkas sejarah perkembangan demokrasi di dunia. Gagasan demokrasi muncul sejak abad ke-2 sebelum masehi. Saat itu flilsuf terkemuka dari Yunani, Aristoteles membagi sistem pemerintahan ke dalam dua penilaian, yakni sistem yang baik dan sistem yang buruk. Penilaian itu lebih didasarkan pada teknis bagaimana pemerintahan itu diperoleh dan dilaksanakan. Menurutnya, demokrasi langsung dinilai bukan sistem pemerintahan yang baik, karena keputusan yang buruk dapat diambil akibat turut sertanya warga yang nirkapasitas. Contohnya, dalam sistem demokrasi yang menerapkan prinsip “one man one vote” keputusan seorang profesor dengan emak-emak tukang gado-gado di dalam bilik suara pada saat pemilihan umum nilainya sama. Lebih lanjut Aristoteles membandingkan antara pemerintahan oleh satu orang dengan bentuk monarki dinilai lebih baik dari pada bentuk tirani. Sementara pemerintahan oleh sedikit orang dengan bentuk aristokrasi berkarakter baik, sedangkan oligarki buruk. Berabad abad sesudah itu demokrasi menghilang hingga muncul kembali pada abad 15 dalam bentuk teori-teori kekuasaan. Pada masa abad pertengahan itu kekuasaan negara yang super kuat dan disokong oleh legitimasi dari gereja dikritik. Lahirlah teori kontrak sosial yang dicetuskan oleh John Locke dan Thomas Hobbes, lalu ada pula teori kekuasaan oleh Voltaire dan J.J.Rosseau. Dalam perkembangannya pada abad berikutnya, seorang tokoh pejuang demokrasi sekaligus presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, menjelaskan tentang pengertian demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Disebutkan bahwa demokrasi menghendaki kebebasan bagi tiap-tiap individu untuk menyampaikan kepentingannya, serta memberikan ruang tanpa kecuali untuk turut menentukan keputusan dalam pemerintahan.

Islam dan Khilafah

Ketika datang Islam sehingga sempat membuat jazirah arab yang gersang dan tandus berubah menjadi pusat kekuasaan dan peradaban dunia, pemerintahan kaum muslim saat itu berbentuk khilafah, kata lain dari monarki di bawah bimbingan atau berlandaskan agama (Islam) atau disebut teokrasi. Dan setelah dunia Islam mengalami kemunduran bahkan keruntuhan, pada medio abad 20 tampil sejumlah pemikir dari kalangan ulama dari Timur Tengah, salah satu di antaranya adalah Dr Hasan Asy Syarqawi yang masih terobsesi romantisme zaman keemasan dan kejayaan khilafah. Dalam bukunya berjudul “Manhaj Ilmiah Islam” (manhaj=metode, pen) ia menjelaskan dan dengan gigih mempropagandakan atau mengkampanyekan sistem pemerintahan khilafah seraya menolak bahkan mengecam sistem demokrasi yang dikatakannya sebagai metode buatan manusia yang sesat dan menyesatkan, karena menganut sekularisme dan menghamba materialisme. Pengaruh pemikirannya sampai di Indonesia sehingga belakangan muncul kelompok muslim garis keras menyebut pemerintahan dengan sistem demokrasi sebagai kafir, toghut, musuh Islam dan sebagainya. Dalam keterangannya, hanya Tuhanlah pemilik hak dan wewenang untuk membuat peraturan serta perundang-undangan bagi manusia di jagat raya ini, dengan mendasarkan dalil Alquran.

“...keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah...”

Yusuf 40

Padahal pandangan tersebut tanpa disadari secara langsung atau tidak langsung sesungguhnya telah mengabaikan sabda Nabi saw yang artinya “kalian lebih mengetahui dengan urusan duniamu”. Karena mengelola kehidupan masyarakat dalam tatanan negara termasuk urusan dunia.

Pada umumnya sistem khilafah secara garis besar berpijak pada satu ayat Alquran sebagai landasan utama pemikirannya, yang artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

al-Maidah 45.

Dari ayat tersebut logika yang dibangun kemudian adalah hanya ulama yang mumpuni dalam ilmu agamalah yang mengetahui “apa yang diturunkan Allah” sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut. Sehingga dengan demikian pemimpin tertinggi sebuah negara harus dipegang oleh seorang ulama. Jika diikuti alur logika tersebut, maka arahnya semakin mengerucut (jelas), khususnya di Indonesia, bahwa pemimpin tertinggi dalam sistem khilafah yang dianggap paling sahih dan otoritatif tak lain hanyalah etnis Arab (habib), utamanya yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi saw.

Semenjak Indonesia bebas dari belenggu rezim tirani presiden Soeharto lalu memasuki fase transisi menuju demokrasi di satu sisi, ideologi khilafah hampir tidak mendapatkan tempat untuk berkembang dan mewujudkan impiannya. Namun di sisi lain, dalam iklim demokrasi pula mereka seakan menemukan ruang bebas untuk mengkampanyekan ideologi tersebut melalui dakwah terselubung dengan agenda politik. Sehingga banyak ustad “kampung” Jakarta yang termakan propaganda tersebut lalu ikut menyebarkannya kepada umat tingkat akar rumput dengan jargon buatan sendiri yang berbunyi “kitab suci di atas konstitusi”. Alam pikiran masyarakat akar rumput yang sudah terpapar indoktrinasi dengan mudah berubah menjadi sebuah orkestrasi gerakan politisasi agama seperti yang terjadi pada musim Pilkada DKI Jakarta periode lalu, sehingga terjadi polarisasi dan membelah masyarakat secara tajam, mengikuti kedua kubu pasangan calon gubernur Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil AHOK. Dalam perkembangannya, sistem demokrasi semakin jamak digunakan oleh dan dipraktikkan di banyak negara pasca Perang Dunia II. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa demokrasi mengglobal? Jawabnya adalah karena inilah temuan sekaligus merupakan karya besar manusia yang dinilai paling sedikit menistakan kemanusiaan. Namun demikian, sebagian ahli dan pemikir dari kalangan umat muslim alih-alih berminat dan berniat untuk menggali nilai dan spirit demokrasi dalam Islam, malah masih berkutat dan memaksakan ideologi khilafah, khususnya di Indonesia, karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman, seraya mengecam demokrasi. Padahal bila diteliti dan ditelisik lebih jauh, sistem dan semangat demokrasi telah ada dan dikenal justru malah sebelum nabi Adam as diciptakan sebagaimana diriwayatkan dalam kitab suci Alquran. Nampak dalam dialog tersebut Tuhan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada makhlukNya untuk menyatakan pendapat dan berekspresi sambil menghargai dengan cara melayani dan menanggapi atau menjawab apa yang disampaikan hambaNya.

Islam dan Demokrasi

Prinsip utama demokrasi adalah penghormatan terhadap kebebasan individu meliputi hak hidup, hak menyatakan pendapat dan berekspresi. Dari perspektif tersebut, dapat disimak beberapa kutipan dialog monumental berikut yang mengisyaratkan sekaligus sebagai bahan kajian tentang nilai dan spirit demokrasi yang terkandung dalam Alquran.

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya Aku Pencipta (manusia) di bumi sebagai khalifah". Malaikat berkata: "Apakah Engkau ciptakan makhluk yang akan merusak dan menumpahkan darah (sesamanya) di muka bumi, sementara kami senantiasa bertasbih dengan pujianMu dan menyucikanMu?".(Tuhan menjawab): "Sesungguhnya Aku lebih mengetahui segala yang tidak kalian ketahui". Kemudian dialog antara Tuhan dan iblis itu berlanjut.

Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah"

Al-A'raf 12

Mendengar keterangan demikian, dialog masih berlanjut.

Iblis berkata (memohon kepada Tuhan): "Berilah aku kesempatan hingga hari kebangkitan kelak"

Al-A'raf 14

Dan seperti diketahui, pada ujung dialog Tuhan pun mengabulkan permohonan Iblis. Tak hanya itu, sifat dan sikap demokratis Tuhan itu lagi-lagi ditunjukkan dalam sebuah dialog dengan Nabi Ibrahim as. Bahkan nabi Ibrahim as dapat dibilang terlalu "lancang” karena telah berani “mengkritisi" atau “mempertanyakan” eksistensi dan atau kekuasaan Tuhan. Namun alih-alih murka, Tuhan malah dengan “telaten” dan “murah hati” memperlihatkan buktinya.

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "(Bukan begitu, Tuhan). Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap kokoh (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Al Baqarah 260

Terakhir nilai dan spirit demokrasi itu juga dipraktikkan nabi Ibrahim as sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran yang monumental karena kemudian menjadi dasar perintah ibadah kurban itu. Diriwayatkan, pada suatu saat Ibrahim as hendak melaksanakan mimpi benarnya untuk menyembelih Ismail as, anaknya sendiri yang amat disayanginya. Sekalipun ia yakin bahwa mimpinya itu merupakan perintah dari Tuhan untuk dilaksanakan, namun ia tetap terlebih dahulu bertanya kepada anaknya untuk mendengarkan dan meminta pendapatnya.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur bertanggung jawab) berusaha bersama nabi Ibrahim, Ibrahim pun berkata: "Wahai anakku, sesungguhnya aku telah melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?". Ia menjawab: "Aduhai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah ayah akan mendapatkan aku termasuk orang-orang bersabar".

As-Saaffat 102

Jadi, kandungan nilai dan spirit demokrasi itu, baik tersurat maupun tersirat, sesungguhnya cukup berserak dalam Alquran. Selama berabad-abad bahkan di kalangan ulama besar Timur Tengah, jika berbicara tentang sistem demokrasi dalam Islam, para ulama selalu dan hanya mengacu pada Alquran surat as-Syura 3
…sedang urusan mereka (didasarkan pada) musyawarah antara mereka..

Ayat tersebut sesungguhnya lebih merujuk pada implementasi dan praktik sistem demokrasi. Sebagai contoh, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah merupakan hasil final dari kesepakatan (musyawarah dan mufakat) di antara seluruh pemangku kepentingan yang mewakili segenap komponen bangsa Indonesia sebagai negara kebangsaan. Mengubah kesepakatan itu sama saja artinya melanggar ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut.

Tuhan Maha Demokratis

Jika sejauh ini dalam penelitian para ulama terdahulu telah berhasil menyusun kompilasi sifat-sifat Tuhan yang utama sebanyak 99, yang dikenal sebagai asmaul husna, maka dari paparan dalam tulisan ini nyatalah bahwa kompilasi asmaul husna itu dapat digenapkan menjadi 100, sebuah angka sakral yang menggambarkan keparipurnaan. Untuk sekadar catatan bahwa dari hasil kompilasi para ulama terdahulu sifat-sifat Tuhan itu sesungguhnya mencapai hingga ratusan ribu jumlahnya. Hanya saja, tidak diketahui dari sekian banyak sifat Tuhan tersebut apakah salah satu di antaranya terdapat sifat Tuhan Maha Demokratis. Jika tidak ada, maka benarlah temuan Mohammed Arkoun, guru besar ilmu sejarah di Universitas Sorbone, Paris, Prancis, yang menyebutkan bahwa para ulama pada zaman keemasan dunia Islam dahulu, dalam kegiatan penelitian sesungguhnya telah mengalami apa yang disebut sebagai “bias (rentang) waktu dan politik”. Akibatnya, cukup banyak (juga) hasil penelitian mereka karena pengaruh kondisi lingkungan, sosial dan budaya pada puluhan abad silam bisa jadi tidak relevan (lagi) dengan perkembangan kondisi saat ini. Dari pengaruh sealiran pemikiran Arkoun itu pula di Indonesia pernah muncul gagasan untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi Alquran yang diprakarsai oleh KH Munawir Sadzali, Menteri Agama era Orde Baru, namun entah mengapa rupanya gayung kurang bersambut di kalangan cendekiawan muslim dan ulama, sehingga ide itu layu sebelum berkembang.

Simak Juga:




Posting Komentar