PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Agustus 18, 2019

Politik Machiavellis: Mencari Kebenaran atau Pembenaran?



Sumber: Wikipedia






Sepanjang periode apa yang disebut sebagai pesta demokrasi dalam pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu, bahkan masih berlanjut meskipun perhelatan nasional tersebut sudah berlalu telah menyisakan sebuah catatan buruk, khususnya dalam masalah politisasi agama yang sangat sistematis dan massif
yang muncul dan berkembang sejak Pemilu 2014 yang lalu. Sebelum mengupas tentang fenomena politisasi agama (di Indonesia), secara ringkas dan mendasar perlu diketahui arti dan pengertian tentang politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional atau inkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam iklim dan sistem demokrasi, salah satu atau bahkan satu-satunya cara untuk dapat meraih kekuasaan adalah mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari warga negara atau rakyat yang memiliki mandat dan hak pilih untuk menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Sebagaimana disebutkan bahwa salah satu aspek paling penting dari politik adalah seni. Dan seni itu identik dengan keindahan. Namun dalam praktiknya, disadari atau tidak disadari, tak sedikit dari para politisi yang memainkan politik dan mengamalkan ajaran Nicollo Machiavelli, seorang diplomat dan politikus sekaligus filofof asal Italia yang mengajarkan tindakan immoral, menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Ironisnya, cara-cara tersebut justru dilakukan oleh kalangan politisi yang memanfaatkan sentimen agama sebagai jalan dan cara untuk meraih simpati dan dukungan massa khususnya umat muslim yang kebanyakan masih sangat awam dalam hal hubungan antara politik dan agama. Para politisi penganut dan pengamal ajaran Machiavelli yang gemar memainkan issu agama mengemas teknik propaganda sedemikian rupa, sehingga umat muslim awam tak mampu lagi membedakan antara apakah informasi yang diterima sebagai kebenaran atau pembenaran.


Politik Mencari Pembenaran (Justifikasi)



Berikut adalah sebuah contoh nyata mengenai teknik atau bisa juga disebut strategi yang sejatinya hanyalah merupakan upaya mencari pembenaran (justifikasi) tetapi dipelintir dan disulap seolah-olah menjadi sebuah kebenaran.




Di sebuah pondok pesantren di Jakarta Selatan seorang penceramah simpatisan ormas FPI (Front Pembela Islam) di hadapan 1.200-an santri dan peserta undangan dari jamaah masyarakat setempat selaku undangan berjumlah sekitar 300 orang. Sang penceramah menguraikan riwayat para nabi yang dalam melaksanakan misi profetik atau kenabiannya kebanyakan berhadapan dengan para elit penguasa yang zalim. Seperti misalnya kisah fenomenal nabi Musa as menghadapi penguasa dan maharaja firaun, tak terkecuali nabi Muhammad saw yang berhadapan dengan para penguasa dari suku Quraisy yang sesungguhnya masih ada hubungan kekerabatan dengan nabi. Tekanan demi tekanan, penindasan demi penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap setiap kegiatan Nabi saw tak sedikit pun menyurutkan langkah beliau untuk melanjutkan missi dakwah, hingga memaksa beiiau untuk melakukan hijrah ke kota Madinah sekaligus dimanfaatkan sebagai momentum untuk membangun kekuatan umat muslim. Ujung dari kisah hijrah Nabi saw adalah penyerbuan kota Mekah oleh kaum muslimin di kota Medinah di bawah pimpinan beliau yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa 'fathul makah' dan menaklukan kota Mekah di bawah kekuasaan kaum muslimin. Riwayat nabi tersebut oleh sang pencerah dari FPI ditafsirkan dan dimaknai dengan cara mempersonifikasikan atau menganalogikan seakan-akan pimpinan FPI adalah sebagai pihak Nabi saw tengah berhadapan dan melawan pihak musuh kaum kafir Quraisy yang zalim dalam hal ini adalah pemerintah Jokowi. Bagi para jamaah sebagai pendengar ceramah yang pada umumnya awam dalam agama apa yang disampaikan oleh sang penceramah tersebut sebagai sebuah kebenaran. Dan dengan semangat militansi mereka mengikuti komando sang penceramah yang mengajak untuk meneriakkan bersama yel kalimat suci "Allahhu akbar..!!" dengan suara keras, serentak dan gegap gempita.

Simak Juga:




Posting Komentar