PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Agustus 18, 2019

Makna Tata Kata dalam politik di Indonesia










Selama musim kampanye menjelang diselenggarakan pemilihan presiden pada tahun 2014 lalu calon presiden Jokowi mendapat serangan kampanye hitam yang sangat massif dan brutal, khususnya melalui sebuah penerbitan tabloid Obor Rakyat dengan cara mempolitisasi issu agama. Dalam perkembangan situasi politik yang kurang menguntungkan tersebut tampil
Anies Baswedan yang dikenal sebagai seorang cendekiawan muda muslim menjadi relawan sekaligus juru bicara bagi pihak Jokowi untuk meluruskan berbagai issu SARA (suku, agama dan ras) yang dialamatkan kepada calon presiden Jokowi dengan maksud untuk membangun opini yang dapat mempengaruhi agar tidak memilih Jokowi. Berbagai ucapan dan kata yang diucapkan dan meluncur dari mulut Anies Baswedan dalam kapasitas sebagai cendekiawan yang dianggap obyektif, rasional dan netral serta jauh dari kepentingan pribadi atau kelompok pada waktu itu ternyata cukup ampuh dan sakti, terbukti rangkaian kata itu telah 'menyelamatkan' Jokowi sehingga akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang dalam kontestasi tersebut.

Selang beberapa tahun kemudian pasca Jokowi dilantik sebagai presiden RI ke-7 untuk masa jabatan periode pertama, menjelang diselenggarakan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada tahun 2017 telah terjadi drama politik gegara gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama atau yang akrab dipanggil AHOK telah malakukan 'keseleo lidah' dalam issu SARA berkaitan dengan Alquran surat Al-Maidah 51. Dari peristiwa tersebut kemudian dengan cepat berubah menjadi kasus hukum tentang penistaan agama, alih-alih memenangi kentestasi pemilihan gubernur malah mengantarkan AHOK ke dalam deruji bui selama 2 tahun. Sementara Anies Baswedan sebagai pesaingnya berhasil memenangi kontestasi tersebut dan menduduki kursi jabatan nomor satu di provinsis DKI Jakarta.

Drama politik di ibukota rupanya belum usai, ketika wakil gubernur terpilih Sandiaga Uno maju untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden RI dalam Pilpres 2019 seraya meletakkan jabatan wakil gubernur DKI Jakarta. Dalam pada itu Anies Baswedan yang ditinggalkan bekerja sendiri tanpa wakil gubernur harus melaksanakan tugasnya secara 'one man show' ternyata tidak memperlihatkan kinerja sebagaimana diharapkan dan lebih-lebih sebagaimana dijanjikan selama musim kampanye. Banyak janji politik yang disampaikan tidak dapat dipenuhi, sehingga ia dinilai tidak mampu bekerja dan dengan nada sindiran bahkan sinisme di mata para nitizen dia disebut sebagai hanya pandai menata kata tetapi tidak mampu menata kota. Dari rangkaian peristiwa dan pengalaman empiris tersebut dapat ditarik hikmah dan memberikan pelajaran bahwa rupanya orang yang sama dengan kapasitas yang berbeda memberikan dampak yang berbeda pada makna dan nilai kata yang keluar dari mulut seseorang. Yakni perbedaan makna dan nilai kata yang diucapkan Anies Baswedan dalam kapasitas sebagai cendekiawan pada tahun 2014 dan Anies Baswedan sebagai gubernur yang dianggap sarat dengan kepentingan pribadi dan ataupun kelompok, Dalam konteks tersebut dapat dikemukakan contoh lain adalah pengalaman politik seorang tokoh reformasi Amin Rais. Saat ia berbicara untuk melancarkan gerakan reformasi untuk menghentikan dan menggantikan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto tahun 1998 yang lalu, ia berbicara dan kata-kata yang keluar dari mulutnya dalam kapasitasnya selaku cendekiawan yang konotasinya adalah obyektif, rasional dan netral. sehingga ia dipercaya dan banyak diikuti rakyat. Namun dalam Pilpres 2019 ia berbicara dalam kapasitas sebagai politisi yang dianggap sarat dengan kepentingan (subyektif), sehingga ia banyak dimaki dan ditinggalkan rakyat.

Simak Juga:




Posting Komentar