PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Januari 09, 2020

Sejarah Agama untuk Mobilisasi Umat










Agama untuk mobilisasi umat pertama kali digagas dan diamalkan oleh pendiri organisasi massa Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, seorang cendeiakawan muslim pembaharu untuk melawan kejahatan kemanusiaan, dalam hal ini penjajahan Inggris atas negerinya, Mesir. Model gerakan yang mengeksplorasi interaksi antara agama dan politik ini kemudian mengilhami banyak gerakan perlawanan penjajahan di Aljazair, Tunisia, Yordania, Sudan dan Palestina. Demikian pula pengalaman bangsa Indonesia ketika melawan penjajah Belanda semasa revolusi (1945) memanfaatkan sentimen agama (Islam) untuk memobilisasi massa dengan mengobarkan semangat "perang sabil" atau jihad fi sabilillah. Dan benar saja, bangsa Indonesia akhirnya juga mengenyam manisnya perjuangan untuk mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara dengan menggenggam kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia yang dijajah selama lebih dari tiga abad. Namun sangat disayangkan, khusus di Indonesia pengalaman baik dan menarik tersebut, yakni Agama untuk Mobilisasi Umat tersebut oleh kelompok tertentu rupanya hendak diulang --mungkin karena ketagihan-- dan dimanfaatkan untuk mencapai maksud dan tujuan sempit dan berjangka pendek. Fenomena dan kecenderungan itu dalam sejarah Indonesia tercatat pertama kali digagas dan dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo dengan mendirikan dan membentuk gerombolan yang menamakan dirinya Darul Islam (DI) yang berbasis di wilayah Jawa Barat untuk melakukan pemberontakan dan melawan pemerintah yang sah di bawah pimpinan presiden Soekarno. Gerakan politik tersebut kemudian disusul dan diikuti gerakan politik lain yang memanfaatkan sentimen agama oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh. Di Mesir muncul gerakan politik berbasis dakwah, Ikhwanul Muslimin, dipimpin oleh Sayyid Qutb, seorang cendekiawan muslim beraliran politik praktis yang perjuangannya berakhir dan meninggal di penjara. Selama bertahun-tahun kemudian Ikhwanul Muslimin melakukan gerakan politik bawah tanah dan kadang meletus aksi kekerasan yang dihadapi dan dibalas dengan kekerasan dari pemerintah Mesir. Dan klimkasnya adalah insiden pemberondongan presiden Mesir Anwar Saddat hingga tewas oleh oknum pasukan pengawal presiden yang terungkap kemudian sebagai simpatisan gerakan Ikhwanul Muslimin.


Dalam perkembangannya, apa yang disebut sebagai post-truth dan pesatnya perkembangan internet telah membawa dunia perpolitikan di Indonesia memasuki babak baru dalam iklim demokrasi liberal. Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengadopsi gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan terinspirasi oleh gagasan Pan Islamisme sebuah gerakan internasional berbasis keagamaan yang didirikan oleh Djamaluddin al-Afghani, seorang cendekiawan asal Afghanistan, sejak "insiden politik" dalam kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta, seakan menemukan momentumnya untuk melakukan gerakan politik praktis yang selama ini berselubung di bawah panji-panji dakwah yang mengarah pada tujuan untuk menggulingkan atau minimal merongrong kekuasaan pemerintah yang sah. Namun semua yang disebutkan dan dipaparkan tersebut berkat "kesaktian falsafah Pancasila" sebagai landasan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada akhirnya bak bunga layu sebelum berkembang dan berguguran, termasuk HTI yang telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Itulah profil dan keunggulan sebuah kepemimpinan yang menghadapi batu (kekerasan) dengan karet (kelembutan) seperti yang dilakukan oleh Jokowi yang telah teruji selama ini.


Simak Juga:




Posting Komentar