PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Januari 26, 2020

Siapa Menabur, Menuai


Banjir Monas 2020









Peribahasa siapa menabur angin, menuai badai sempat mencuat dan populer pada era pasca tuntuhnya pemerintahan otoriter rezim Soeharto. Maksud intinya adalah barangsiapa yang melakukan sesuatu maka suatu saat ia akan memetik dan merasakan akibat dari perbuatannya. Dalam peribahasa Jawa disebut
sebagai ngunduh wohing pakarti, artinya seseorang akan memetik "buah" dari perbuatan dan perilakunya sendiri. Dalam sistem kepercayaan agama Hindu dikenal hukum karma yang maksud pokoknya tak jauh berbeda dengan pernyataan dan ungkapan-ungkapan tersebut. Dalam ajaran Islam juga dikenal prinsip yang mengandung spirit bertanggung jawab tersebut. Artinya setiap orang harus dan pasti mempertanggungjawabkan atas semua perilaku dan perbuatannya sendiri, seraya tidak akan (mungkin) dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain atau di luar dirinya. Hanya bedanya, ungkapan ataupun ajaran yang disebutkan sebelumnya lebih bernuansa profan atau duniawai, sedangkan ajaran Islam lebih bersifat sakral atau metafisik.

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai

Al-Isra 7

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ إِنَّمَا تُنذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَمَن تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ ۚ وَإِلَى اللَّـهِ الْمَصِيرُ

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)

Fatir 18

Banjir yang melanda lapangan tugu Monas menjelang peraaan tahun baru Imlek yang jatuh pada awal tahun 2020, selain merupakan kejadian luar biasa juga menuai banyak komentar miring dan kritik dari sebagian warga, bahkan ada yang melontarkan sumpah serapah sebagai "azab akibat penebangan sebanyak 190 batang pohon penghijauan "yang tak berdosa" di kawasan tersebut. Hanya saja kalau anggapan dan penilaian itu benar, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menebang siapa yang menerima akibat(azab)nya. Dalam kehidupan nyata di dunia ini seringkali dijumpai banyak peristiwa yang tidak mencerminkan keadilan. Dalam kasus banjir Monas, pihak yang menebang ratusan pohon boleh jadi sama sekali tidak merasakan secara langsung ataupun kontan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya. Atau kalau ditarik agak lebih luas, berbagai kekecewaan yang dirasakan warga DKI Jakarta akibat kebijakan dan langkah yang diambil oleh otoritas pemerintahan provinsi DKI Jakarta boleh jadi tidak dirasakan oleh warga yang memilih orang nomor satu di provinsi tersebut pada Pilkada tahun lalu. Atau banyak kasus lain seperti peristiwa banjir bandang dan atau longsor yang diakibatkan oleh penggundulan hutan dan penebangan liar pohon-pohon pelindung menunjukkan kenyataan "ketidakadilan", yakni boleh jadi pihak atau orang (orang) yang melakukan pengrusakan hutan lindung tidak merasakan, baik secara langsung maupun seketika, bencana banjir bandang atau longsor yang diakibatkan oleh perbuatan mereka. Pemandangan dan fenomena "ketidakadilan" tersebut kian nyata terlihat dan dirasakan pada tingkat negara, sebagaimana dialami dan dirasakan negara-negara tertindas sebagai korban dari arogansi dan dominasi politk dari negara (negara) adikuasa.

Dalam ajaran Kristen (Perjanjian Baru) seperti dalam ajaran Islam juga "masih" mengenal atau percaya pada hidup sesudah mati. Namun dalam ajaran itu hanya dikenal ("kerajaan") sorga, dan tidak dikenal neraka. Mereka menganut sistem kepercayaan bahwa pada dasarnya manusia menanggung dosa turunan dari nabi Adam as. Dan kemudian dosa tersebut praktis telah lebur karena sudah dihapus dan "ditebus" oleh kedatangan dan pengorbanan "kristus" atau "yesus" di dunia, yang menurut ajaran Islam tak lain adalah nabi Isa as. Dalam pandangan Islam konsep tersebut dianggap menyimpang, setidaknya karena dua alasan:

  1. Konsep theologi trinitas yang dibangun kemudian telah melenceng jauh dari ajaran agama samawi (langit), yakni tauhid atau monotheisme menjadi syirik atau polytheisme,
  2. Selain itu konsep penebusan dosa juga berimplikasi mendidik umatnya memiliki sikap jiwa yang tidak bertanggung jawab, berbeda dengan ajaran Islam.
ذَ
... وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ا قُرْبَىٰ

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya...

Fatir 18

Oleh karenanya, dalam ajaran Islam dikenal konsep kepercayaan dan mengimani adanya kehidupan sesudah mati yang merupakan hari perhitungan di depan Hakim Tertinggi dan Maha Adil atas perbuatan baik dan perbuatan buruknya. Sehingga ayat 7 surat Al-Isra tersebut lebih tepat dipahami bahwa ketentuan tersebut tidak sepenuhnya berlaku di dunia, namun lehih pasti adalah berlaku untuk kehidupan di akhirat kelak. Karena di dunia berlaku sifat Tuhan Maha Pengasih (ar-Rahman), dalam arti Tuhan memberi kepada siapa saja dan setiap makhluknya "tanpa pandang bulu" apakah dia taat atau ingkar kepadaNya. Sedangkan di akhirat berlaku sifat Tuhan Yang Maha Penyayang (ar-Rahim), yakni sifatNya Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ *وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya *Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Az-Zalzalah 7-8


Simak Juga:




Posting Komentar