Sungguh menarik jika dicermati solah tingkah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang sebelumnya pernah ditunjuk dalam kabinet kerja pemerintahan presiden Jokowi sebagai Menko Polhukam itu. Pada awal masa menjabat ia terkesan menunjukkan sikap garang tetapi
semenjak namanya tercantum dalam dokumen Panama Papers sikapnya berubah sedikit melunak, tenang dan murah senyum. Sekalipun sikap temperamental itu tiba-tiba kembali muncul dan ia 'pasang badan' ketika menjawab dan menanggapi kritik tajam dari Amin Rais yang cenderung arogan dalam kasus 'bagi-bagi' sertifikat tanah oleh Jokowi yang dinilai sebagai 'pengibulan'. Peran atau mungkin lebih tepat jasa LBP yang paling besar adalah dalam upaya 'menjinakkan' partai Golkar di bawah ketua umum Abu Rozal Bakri sekaligus sebagai pendukung utama kelompok 'MD3' yang selama tahun pertama berupaya mendelegitimasi kepemimpinan dan pemerintahan presiden Jokowi. Menjelang dan menghadapi pencalonan kembali sebagai presiden untuk periode kedua saat Jokowi memilih dan menggandeng KH Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya. Tak ubahnya seperti LBP, dalam konteks dan spirit yang berbeda, peran cawapres kali ini pun dapat diibaratkan jimat (azimat) 'jamus kalimosodo' dalam kisah mithologi wayang dengan lakon
Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja), jika menilik kisah perjalanan Jokowi yang menapak karier politik benar-benar dimulai dari bawah.
Ketika seni pewayangan masih diminati bahkan menjadi bagian yang penting dan dominan dari kebudayaan masyarakat Jawa, tampaknya tidak banyak dari mereka yang mengetahui atau menyadari bahwa mitologi itu berasal dari negeri India. Mungkin karena pengaruh globalisasi dalam beberapa dekade terakhir ini pagelaran wayang tak lagi diminati atau malah nyaris dilupakan orang. Namun sebagaimana dialami oleh bangsa-bangsa lain yang lebih maju sekalipun, kerinduan pada warisan leluhur budaya lama yang sarat makna dan nilai-nilai luhur, suatu ketika akan muncul serta direnungkan kembali. Tak dapat dipungkiri bahwa kisah Mahabarata karya pujangga besar Walmiki itu bukanlah sekadar episode drama biasa, tetapi adalah sebuah hasil karya seni luar biasa yang sarat dengan makna dan pelajaran yang dalam tentang watak atau karakter manusia secara utuh dan lengkap berlaku untuk segala tempat dan zaman seperti benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Sebagaimana diriwayatkan bahwa pada awal masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara khususnya di tanah Jawa semasa Wali Songo, kisah Mahabarata yang merupakan induk cerita seni pewayangan sempat mengalami sedikit modifikasi atau gubahan, konon untuk kepentingan dakwah. Salah satu fragmen yang tersohor hasil karya Raden Mas Said atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijogo, salah seorang wali dari Wali Songo yang fenomenal dan paling mendalam pengalaman batinnya, adalah sebuah kisah yang dalam dunia pewayangan lazim disebut sebagai “lakon carangan” berjudul
Petruk Dadi Ratu. Lakon “Petruk Dadi Ratu” berbentuk satire tersebut dapat dianalogikan dengan kisah perjalanan karir politik seorang Joko Widodo menjadi presiden Republik Indonesia ketujuh untuk periode kedua.
Petruk adalah salah seorang sosok “punokawan” setia (pembantu rumah tangga sekaligus penghibur karena kejenakaannya) yang mengabdi pada keluarga Pendowo dari kerajaan Amartapura. Dalam lakon tersebut Petruk disebutkan sebagai ratu, bukan raja. Karena dalam terminologi masyarakat Jawa, ratu berkonotasi lembut, mengayomi. Sedangkan raja lebih lekat konotasinya dengan kekuatan dan dominasi. Mungkin itu pula sebabnya muncul atau dipakai istilah “ratu adil” untuk menggambarkan hadirnya sosok pemimpin yang dirindukan dalam masyarakat ‘tempo doeloe’ ketika mengalami ketidakberdayaan dan putus asa. Dalam tatanan masyarakat yang feodalistis, akibat pengaruh ajaran agama Hindu yang membagi masyarakat menjadi beberapa strata sosial, mulai dari strata terendah hingga tertinggi, sehingga hampir mustahil terjadi mobilitas vertikal. Dikisahkan, suatu waktu para pemimpin kerajaan Amartapura tengah terlena dan melupakan kewajibannya untuk mengayomi dan menyejahterakan rakyatnya. Berbagai keluhan dan pengaduan bahkan peringatan telah disampaikan kepada para pemimpin agar mereka memperhatikan (kembali) nasib para “kawulo cilik” (rakyat jelata) yang hidupnya tengah menderita, namun tampaknya mereka abai dan lalai. Sehingga akhirnya hati Petruk tergerak untuk “memberi pelajaran” kepada sang bendoro (majikan) atau sang pemimpin, dalam hal ini adalah keluarga Pendawa, dengan mencuri azimat “Jamus Kalimosodo” guna mengambil alih kekuasaan sang raja Amartapura. Disebutkan bahwa legitimasi kekuasaan keluarga Pendawa atas kerajaan Amartapura itu dapat berdiri tegak karena berpijak dan berpegang pada sebuah azimat yang disebut “Jamus Kalimosodo” (dialek Jawa, dari frasa “kalimat syahadat”, yaitu sebuah kata kunci bagi seseorang untuk memeluk atau masuk agama Islam). Azimat Jamus Kalimosodo itu berbentuk secarik kertas disimpan baik-baik di kamar khusus barang-barang pusaka putra sulung dari keluarga Pendawa bernama prabu Yudhistira, nama lain dari Puntadewa. Apabila azimat itu dilayangkan di atas kepala seseorang, maka seketika itu juga tubuh orang tersebut jatuh lunglai tak berdaya. Demikianlah, Petruk yang telah berubah menjadi super sakti dengan azimat di tangannya menghadapi siapa saja yang mencoba melawan dan membangkang nya, tak terkecuali mantan “bendoro” atau majikannya, dengan gaya kelakar dan menggoda ia pun mengayunkan dan mengipaskan azimat tersebut di atas kepala mereka. Maka seketika itu juga tubuh mereka lemas dan lemah lunglai, lalu jatuh terkulai dan tersungkur di hadapan Petruk. Di sinilah konon kelihaian strategi dakwah Sunan Kalijaga yang berjiwa seni dalam membujuk atau membuka hati masyarakat Jawa yang mayoritasnya masih beragama Hindu-Budha, bahwa dengan memiliki atau memegang azimat Kalimosodo, maka mobilitas vertikal itu bisa terjadi, sehingga rakyat kecil pun dapat naik derajat sampai menjadi raja.
Kesaktian azimat Jamus Kalimosodo dalam lakon
Petruk Dadi Ratu mungkin dapat dianalogikan dengan suara rakyat dalam konsep sistem demokrasi, sejalan dengan pikiran penggagas demokrasi asal Prancis yang mengabadikannya dalam slogan yang termasyhur “vox populei vox dei” (suara rakyat suara tuhan). Jika dirunut dengan seksama selama republik Indonesia berdiri, setidaknya dua kali telah terjadi fenomena “Petruk Dadi Ratu”.
Pertama, ketika Soeharto
merampas mandat rakyat dengan senjata Surat Perintah Sebelas Maret (“
Supersemar”) dan akhirnya berhasil merebut kedudukan sebagai Presiden Republik Indonesia RI ke-2. Kedua, ketika Joko Widodo berhasil “mendapat” mandat rakyat melalui sistem pemilihan berazaskan Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil).
Bedanya, kedua pemimpin tersebut dengan Petruk dalam lakon tersebut adalah bahwa Petruk mencuri mandat kekuasaan tersebut hanya bermaksud untuk mengingatkan kepada para “bendoro” (majikan) atau pemimpin agar memperhatikan (kembali) nasib para “kawulo cilik” (rakyat jelata) dan tidak bersungguh-sungguh bermaksud mengambil alih kedudukan dan kekuasaan itu untuk kepentingan diri sendiri dan atau keluarga atau kelompok untuk jangka waktu yang lama.