Di Indonesia kalimat sakral tersebut mulai dikenal dan populer setelah dikutip oleh mendiang Abdul Haris Nasution seorang Jenderal TNI-AD pada prosesi pemberangkatan menuju pemakaman jenazah para perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) yang menjadi korban pembunuhan berlatar politik termasuk putrinya yang masih kecil, Ade Irma Suryani,
dalam tragedi berdarah peristiwa G30S PKI pada tahun 1965.
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan
Al-Baqarah 191
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh
Al-Baqarah 217
Jika kalimat dan pernyataan tersebut diterima secara dogmatis dan deduktif barangkali orang sulit menggambarkan dan memahami bagaimana suatu fitnah yang boleh jadi hanya dalam bentuk kata atau kalimat dapat memiliki kekuatan dan dampak distruktif yang lebih besar dan keras dibandingkan dengan suatu aksi nyata yang lebih kasat mata berupa pembunuhan. Dalam sebuah riwayat hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah mendapatkan fitnah yang menimpa istrinya, Aisyah. Akan tetapi dampak lebih lanjut dari sebuah fitnah yang dikatakan lebih kejam dari pembunuhan itu sepertinya tidak tampak pada kasus fitnah yang menimpa istri Nabi saw tersebut, melainkan masih terbatas atau berhenti pada ketentuan yang bersifat normatif dan tekstual. Dalam peristiwa yang dialami dan kemudian secara spontan diungkapkan oleh sang jenderal seolah kalimat sakral tersebut menemukan makna sejati, justifikasi dan legitimasinya secara kontekstual dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih kompleks. Sebagaimana diketahui dan tersimpan dalam catatan sejarah bahwa banyak kemudian peristiwa yang menyertai dan menyusul pasca fitnah tersebut mengakibatkan jatuh korban jiwa justru dalam jumlah yang lebih besar --dibandingkan dengan jumlah korban pembunuhan yang dilakukan oleh kreator dan penyebar fitnah-- karena pembunuhan tanpa hak (proses pengadilan) semasa rezim penggantinya (Orde Baru).
Lebih dari itu, satu hal yang perlu dan menjadi catatan penting adalah status hukum dari kedua tindakan hukum tersebut, yakni pembunuhan dan pembuat (kreator) serta penyebar fitnah. Jika dirunut secara historis, larangan terhadap perbuatan membunuh adalah salah satu dari pokok ajaran agama tauhid (montheisme) yang termaktub dalam Sepuluh Perintah Allah sebagai wahyu yang diturunkan melalui Nabi Musa as, di samping perzinaan dan pencurian, yang kemudian diteruskan dan disempurnakan ddalam ajaran Islam setelah datang utusan Nabi Muhammad saw.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّـهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
Al-Isra 33
Jika dalam Sepuluh Perintah Allah kreator dan penebar fitnah tidak dimasukkan dan dicantumkan dalam daftar larangan, maka dalam ajaran Islam perbuatan kreator dan penebar fitnah dimasukkan dan dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang, namun tidak disebutkan secara eksplisit dan hanya secara implisit dalam bentuk perbandingan (qiyas atau analogi) dengan perbuatan membunuh. Sehingga dalam penerapan dan penegakan hukumnya juga tidak sejelas seperti perbuatan membunuh yang dikategorikan sebagai hukum positif normatif yang dalam ilmu fiqih diatur dalam bab qisas. Secara tekstual normatif dalam ajaran Islam tidak ada peringkat antara larangan perbuatan pembunuhan, perzinaan dan pencurian. Namun khususnya di Indonesia tindakan hukum pembunuhan dan pencurian dianggap dan diletakkan pada peringkat lebih tinggi karena kedua perbuatan tersebut dimasukkan sebagai hukum positif dengan ancaman hukuman yang relatif lebih berat dibandingkan dengan perbuatan perzinaan. Sementara perbuatan kreator dan penebaran fitnah, baik secara moral sosial maupun apalagi secara hukum formal, tidak jelas kedudukan hukumnya sebelum disahkan undang-undang ITE. Sehingga wajarlah jika utamanya di tahun politik lebih-lebih di musim kampanye menjelang Pileg dan Pilpres tahun ini sebagian warga masyarakat yang 'melek politik' seakan-akan berlomba-lomba dan dengan ringan serta tanpa beban moral apalagi rasa berdosa untuk menjadi (atau bagian dari) kreator dan penebar fitnah demi memenuhi hasrat sebuah mimpi dan ambisi kekuasaan politik dengan selera dan cara yang rendah.