PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 11, 2016

Jokowi dan "Sabdo Pandito Ratu" Gaya Baru







Monarki atau kerajaan merupakan sistem dan bentuk pemerintahan tertua di dunia, yang pemimpin atau penguasa tertingginya adalah seorang raja atau ratu. Secara spesifik penjabaran kekuasaan dalam sistem kerajaan atau keraton Jawa digambarkan dalam sebuah adagium sabdo pandito ratu yang secara lengkap dirangkaikan dengan
kalimat “tan keno wola-wali berbudi bowoleksono” sebagai pedoman perilaku kepemimpinan. Demikian pula dengan Jokowi dan "Sabdo Pandito Ratu" Gaya Baru . Adapun “sabdo pandito ratu tan keno wola-wali” kurang lebih maksudnya adalah bahwa ucapan pendeta dan raja (raja menurut sistem kepercayaan Jawa merupakan perwakilan Tuhan di bum, Red)) tidak boleh diulang atau diralat. Sedangkan “berbudi bowoleksono” dapat berarti mempunyai sifat teguh dalam memegang janji alias setia pada janji, atau secara populer diartikan sebagai 'satunya kata dan perbuatan'. Berbeda dengan sistem pemerintahan monarki, dalam era modern seperti sekarang banyak negara di dunia menganut sistem demokrasi dengan slogannya yang terkenal “vox populei vox dei" (suara rakyat suara tuhan). Dalam berbagai kesempatan Jokowi (sejak sebelum menjadi Preside RI) kerapkali mengatakan dan mengartikan bahwa demokrasi itu mendengarkan (suara rakyat). Sebuah pemaknaan yang sebenarnya tepat dan bagus sekali jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pertanyaannya, apakah pedoman tersebut benar-benar dilakukan secara konsisten dan konsekuen? Mari kita simak kenyataan berikut ini. Pada awal-awal Jokowi naik ke tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini menjadi Presiden RI, penjabaran dan pelaksanaan demokrasi tampaknya masih sejalan dengan makna dan komitmen yang ia maksudkan dan definisikan. Suatu hal yang tsk mengherankan, karena sesuatu yang baru biasanya memang cenderung bersikap hati-hati. Selain itu hingar bingar dan prahara politik --akibat dari akrobat politik “tak siap kalah” dari kubu “KMP”-- mau tak mau harus dihadapi dengan sikap hati-hati danpenuh kewaspadaan. Sikap tersebut ditunjukkan misalnya, ketika menghadapi drama paling naïf dan menegangkan pada proses pengajuan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri yang tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, ia memilih langkah “wani ngalah luhur wekasane” (ajian ini pula yang diterapkan saat ia menghadapi kasus “papa minta saham” terkait dengan dugaan pencatutan namanya). Di sini seolah-olah ia menerapkan prinsip demokrasi yang didefinisikan sendiri sebagai mendengarkan suara rakyat dalam artian bahwa ia dapat dan mau mengubah keputusan yang telah diambil. Tetapi apakah benar demikian yang terjadi? Ternyata tidak. Keberhasilannya dalam meredam dan menjinakkan gejolak politik telah menempatkan posisi politiknya berada di atas angin dalam percaturan politik di tanah air. Hal ini dapat dianalogikan sekaligus mengingatkan Peristiwa Malari ’74 yang berhasil diredam, sehingga oleh sementara pengamat dianggap sebagai tonggak awal pemerintahan otoriter Presiden RI ke-2 Soeharto.

Demikianlah Jokowi dan "Sabdo Pandito Ratu" Gaya Baru dalam praktinya, melalui jalan memutar akhirnya Komjen Pol Budi Gunawan tetap diangkat, meskipun pada jabatan lain yakni Kepala BIN. Pada tahap ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ia mengambil sikap tidak mau surut dari keputusan yang telah diambilnya. Oleh karena itulah, tak salah kalau ia dikatakan tengah memainkan peran bak seorang raja dengan adagium apa yang disebut sebagai “sabdo pandito ratu gaya baru”.

Simak Juga:




Posting Komentar