PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 08, 2016

Kurban vs Hedonisme






Adalah almarhum KH Zainuddin MZ pada tahun 1990-an yang pertama kali menjadi perbincangan publik tentang sah atau tidaknya sebagai seorang dai memiliki dan mempertontonkan gaya hidup mewah. Perbincangan itu berawal ketika sang dai sejuta umat sempat “terungkap” oleh wartawan memiliki sebuah mobil Mitsubishi Pajero. Pasalnya mobil tersebut
bukanlah mobil biasa, melainkan salah satu merk mobil mewah yang tentu saja harganya mahal dan tidak sembarang orang mampu membeli dan memilikinya waktu itu. Ketika hal itu dikonfirmasikan sang dai beralasan bahwa hal tersebut (diakui sebagai pencitraan, Red.) diperlukan merupakan bagian dari strategi dakwah. Karena menurutnya, bila seorang dai datang dan berceramah dengan penampilan “miskin” di tengah jamaah yang kaya atau pejabat (era rezim Orde Baru yang terkenal korup) risikonya adalah selain diremehkan, pemikiran dan pembicaraannya bisa tidak dipercaya. Alasan tersebut jelas bukan berdasarkan dalil agama melainkan hanya berdasarkan improvisasi logika sang dai, bahkan mungkin sekadar sebagai pembenaran (justifikasi) sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi salah kaprah. Mengapa dikatakan demikian? Jawabnya sederhana saja. Sebagai pembawa misi menegakkan kebaikan dan kebenaran profetik, menyontoh langkah dan perilaku Nabi Muhammad saw seharusnya dikedepankan, semisal ketika beliau datang  di tengah masyarakat jahiliyah, maka masyarakat jahiliyahlah yang (akhirnya) harus mengikuti jejak dan ajaran beliau, bukan sebaliknya. Atau dengan kata lain justru beliaulah yang mempengaruhi dan mengubah keadaan, bukan sebaliknya beliau yang terbawa arus keadaan. Selain dari pada itu, mencari harta sebanyak-banyaknya dan menjadi kaya memang tidak dilarang dalam agama Islam. Namun menjadikan harta (kenikmatan duniawiah) sebagai tujuan hidup apalagi dengan mempertontonkan gaya hidup mewah sebagaimana dalam filsafat bangsa Yunani kuno dikenal sebagai aliran Hedonisme yang tentunya tidak sejalan dengan semangat agama. Patut dicatat bahwa Hedonisme merupakan sebuah paham yang muncul ada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Intinya, aliran ini ingin menjawab apa yang menjadi tujuan akhir manusia, dan menurut paham ini jawabannya adalah kesenangan. Orang-orang yang gemar dan asyik memamerkan keberhasilan yang bersifat materi sebagaimana dapat dan banyak disaksikan, baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya seperti seperti FaceBook sesungguhnya merupakan penyumbang terbesar maraknya virus gaya hidup materialistis dan konsumerisme yang sangat berpotensi merusak moral dan akhlak manusia. Ironisnya, di saat yang sama alih-alih menyadari kekeliruan langkahnya tanpa rasa segan dan sungkan-sungkan justru mereka getol menyebarluaskan firman Ilahi dan kata-kata bijak bak orang suci. Sementara dengan terang Alquran sangat mengecam golongan manusia yang mendewakan atau menjadikan harta sebagai tujuan dan ukuran kesuksesan serta keberhasilan hidup.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,  sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Al-Takatsur 1-2

الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ

yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,  dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,

Al-Humazah 2-3

Bahkan lebih keras dari itu Alquran mengingatkan tentang golongan orang-orang yang menunjukkan sifat cinta dunia dan pemburu kenikmatan dunia dikategorikan sebagai golongan orang-orang kafir.

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّـهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.  

Cara Terbaru Berkorban yang Benar


Kisah drama pengorbanan Nabi Ibrahim as atas putranya Nabi Ismail as sesungguhnya merupakan puncak dan bentuk kepasrahan serta pengabdian total dari seorang hamba yang mengandung makna simbolis, baik secara vertikal maunpun horinsontal. Makna simbolis yang paling mendasar dalam mengabdikan dirinya kepada Sang Khalik sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran adalah menempatkan urusan Tuhan dan misi manusia sebagai khalifah di bumi di atas kepentingan diri sendiri dan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat berikut.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku;

Ah-Dhariyat 56


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Al-Baqarah 30

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّـهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّـهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّـهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

At-Taubah 24

Jika agama dipahami sebatas ketentuan dan norma-norma hukum yang dikenal selama ini yang bersifat personal dan individual, sementara hakikat dan peran agama sesungguhnya juga merupakan tuntunan bagi sekalian manusia selaku pengemban misi khalifah di bumi, maka apa yang dipaparkan di atas hanyalah sebagian kecil saja dari persoalan misi besar manusia di bumi. Berbagai masalah lebih besar yang kini membelit bumi, sebut saja misalnya kejahatan besar korporasi di bidang usaha perkebunan kelapa sawit dengan peta persoalannya yang demikian rumit dan kompleks, di mana saling fitnah dan saling tikam terjadi sehingga sulit memilah dan membedah mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sah dan mana yang batil, seakan tak tersentuh lagi dan di luar domain agama. Sehingga lama kelamaan agama tinggal menjadi himpunan doa dan bahan bahasan para lanjut usia yang tak lagi menarik dan bertenaga di sudut-sudut surau dan mesjid.

Simak Juga:




Posting Komentar