PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Agustus 26, 2016

AHOK dan AJI PENGAWURAN









Supaya pembaca dapat lebih memahami konteks tulisan ini, sebelumnya silakan menyimak artikel berikut ini Jokowi dan Jimat Kalimasodo dan Nasihat untuk (Lawan) AHOK


Cara Terbaru Membaca Fenomena Politik



Aji atau jimat serapan dari asal kata azimat menurut kosa kata bahasa Jawa bermakna hikmah atau mantera yang mengandung konotasi kesaktian. Bahkan kata jimat

seringkali diplesetkan sebagai akronim dari “siji dimat-mat (dieman-eman)” dalam bahasa Jawa, artinya satu yang disayang-sayang. Aji mumpung adalah merupakan kata kiasan, salah satu contoh penggunanan kata aji yang sangat populer dan maknanya sudah dipahami masyarakat luas. Lain lagi dengan Ajisoko. Ia adalah nama seorang tokoh sakti pemimpin koloni menduduki dan mendiami tanah Jawa yang kelak menjadi leluhur orang Jawa setelah menundukkan dan menyingkirkan masyarakat penghuni sebelumnya yang dikuasai oleh seorang raja raksasa bernama Dewoto Cengkar. Kata Ajisoko itu sendiri konon atau bisa jadi juga merupakan sebuah akronim ataupun nama samaran yang terdiri dari dua suku kata, yakni aji dan soko. Kata soko bisa bermakna asal usul atau bisa juga berarti tiang penyangga utama. Akan halnya kata “Aji Pengawuran” yang disandingkan dengan sosok AHOK adalah satu cara dan sudut pandang lain untuk mencoba membedah serta memahami sepak terjang politik AHOK -- sebagian pengamat menyebut akrobat politik-- yang dibahas dalam tulisan ini barangkali berguna, baik kelompok pendukung dan simpatisan AHOK maupun kubu ABA (Asal Bukan AHOK) dengan seonggok rasa kecewa bahkan dibarengi dengan hujatan, mulai dari yang kecil dan “dicari-cari” hingga sederet label tuduhan serius yang disematkan di pundak AHOK seperti antek investor, pemimpin ganas, tukang adu domba, tukang gusur dan sebagainya.

Panggung drama politik nasional AHOK memasuki babak baru berawal ketika dengan getas dan keras ia menyatakan keluar dari Partai Gerindra menyusul sebuah pertikaian politik yang mengindikasikan praktik kecurangan bahkan cenderung kelicikan dalam tubuh partainya. Dan bila ditelisik lebih jauh sebenarnya --sesuai dengan hukum alam-- “ledakan” AHOK itu tidak terjadi tiba-tiba, tetapi itu adalah buntut akumulasi kekecewaan dalam rentetan perisiwa panjang yang terjadi sebelumnya. Peristiwa itu berawal saat ia berhasil terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI bersanding bersama Jokowi sebagai Gubernur. AHOK tidak memerlukan waktu lama, setelah bergaul lebih dekat sejak saat itu pula ia menyadari telah “jatuh hati berat” pada pesona sosok Jokowi yang layak ia hargai dan hormati. Sosok pribadi Jokowi yang berwatak rendah hati, bersahaja dan berpembawaan tenang itu teruji --AHOK ingat benar itu-- meski hujan fitnah dan berbagai kampanye hitam menimpa dirinya dalam Pilpres 2014 lalu, mulai dari serangan membabi buta Tabloid Obor hingga lahirnya Undang-undang “curang” MD3. Jokowi secara sadar atau tidak sesungguhnya telah menunjukkan dan mengamalkan ajaran lama masyarakat Jawa “wani ngalah luhur wekasane” yang artinya “berani mengalah untuk menang” telah mengusik hati AHOK yang semula “jatuh hati berat” menjadi mengagumi. Rasa empati yang muncul merupakan sebuah keniscayaan yang kemudian membuat AHOK bersedia “pasang badan” untuk membalaskan “sakit hati” Jokowi dengan mengeluarkan “aji pengawuran”(pengawuran asal kata awur) alias jurus mabok ala pendekar “the drunken master” dalam cerita dunia persilatan. Lepas dari soal hasil dan manfaatnya, langkah semacam itu dalam istilah umum sering disebut sebagai tindakan melawan arus. Dapat dicatat misalnya, Nabi Muhammad saw datang ke dunia untuk merombak tatanan yang mapan dan salah kaprah di tengah masyarakat jahiliyah. Atau Amien Rais yang dijuluki sang lokomotif reformasi itu tampil “dengan berani” untuk mendobrak kemapanan dan salah kaprah rezim Orde Baru yang otoriter dan korup. Terakhir AHOK dengan “aji pengawuran” dan jurus mabok (berat) tampil dan melakukan aksi tunggal melawan arus sehingga membuat sekumpulan pemabok (kekuasaan) terbengong dan siuman sempoyongan dari maboknya. Beda di antara ketiga contoh tokoh pelawan arus tersebut, jika sang lokomotif reformasi berjuang hanya dengan kata-kata, sedangkan kedua tokoh lainnya bergerak selain dengan kata juga dengan aksi nyata.

Sebagai sosok berdarah Cina (Tionghoa) AHOK memang berpotensi memiliki pembawaan ekstrim, dalam arti kalau perilakunya jahat maka jahatnya tidak “ketulungan” (tanggung-tanggung), demikian pula sebaliknya bila kelakuannya baik maka kebaikannya bisa melebihi sang Budha Gautama. Lihat saja itu tembok raksasa di negeri Tiongkok, satu-satunya bangunan kuno buatan manusia yang terlihat dari planet bulan, lalu jembatan kaca tertinggi di dunia yang baru-baru ini selesai dibangun merupakan bentuk manifestasi dari karakter tersebut. Tinggal lagi nantinya keputusan akhir terserah dan terpulang di tangan masyarakat dan warga Jakarta yang konon sudah “melek politik”, apakah mau mempercayakan pengelolaan Jakarta kepada sosok pemimpin “pelawan arus” dan pendekar pemabok (berat) yang mengandalkan dan mengagulkan “Aji Pengawuran” alias pendekar mabok (kekuasaan) yang terkenal kesaktiannya karena memiliki “Aji Musang Berbulu Ayam" dan “Aji Comot Ambil Langkah Seribu”.

Simak Juga:




Posting Komentar