Salah satu program dan langkah awal yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika hijrah dan memimpin umat pengikut di Medinah adalah membangun dan mengembangkan keluarga masyarakat muslim sehingga dapat menjadi pilar kekuatan umat dalam bangunan persaudaraan sesama mukmin sebagaimana disebutkan dalam Alquran yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai masyarakat madani atau civil society. Dan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut secara teknis basisnya adalah melalui mekanisme berjamaah dalamformat salat berjamaah.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu..
Al-Hujurat 10
Namun di Indonesia khususnya dalam kurun waktu satu dekade terakhir ini, alih-alih timbul dampak positif dari 'berjamaah' yang merupakan 'embel-embel' dan kata sifat, dampak 'default' dari salat itu seperti 'mencegah dari perbuatan keji dan munkar' pun kerapkali masih dipertanyakan bahkan diragukan. Sehingga dari fenomena tersebut muncul ungakapan dikotomis antara 'kesalihan pribadi versus kesalihan sosial'. Maksudnya, khusyu beribadah (ritual) dan alim secara pribadi mencerminkan sifat dan sikap egoisme, demikian pula di lingkungan sosial kemasyarakatan. Bahkan ungkapan yang lebih keras bernada menyindir bahwa 'rajin ibadah, maksiat jalan terus..' Pertanyaannya, benarkah demikian? Dan kalau benar, apa atau di mana letak kekurangan atau kesalahannya, selain bisa jadi karena kurangnya para penganjur agama menyosialisasikan persoalan dampak salat berjamaah tersebut atau dampak salat itu sendiri dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari. Bukankah acapkali sudah menjadi pemandangan biasa sehari-hari, terutama di lingkungan perkotaan yang mobilitas warganya lebih dinamis dibandingkan dengan warga di perdesaan, setiap kali sebagian umat muslim usai melaksanakan berjamaah dalam salat berjamaah lalu masing-masing membubarkan diri tanpa mengenal apalagi melakukan interaksi antara satu dengan lainnya? Memang, sosialisasi dan praktik salat berjamaah yang berdampak signifikan boleh jadi telah dilakukan di sementara kalangan umat muslim, namun sangat disayangkan dengan tujuan ahistoris, seperti misalnya hendak mengubah Indonesia menjadi negara agama.
Ahistoris merupakan sikap yang tidak sesuai dengan anjuran Islam
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّـهَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّـهَ
..Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah..
Al-Hashr 19
Al-Hashr 19
Pertanyaan sederhananya adalah bagaimana mungkin relasi antar individu yang demikian dapat menciptakan masyarakat yang saling mengenal dan tolong menolong sebagaimana dimaksudkan Alquran berikut.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّـهَ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dal..am berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah..
Al-Maidah 2
Salat Berjamaah yang Berdampak Islami
Jika dibandingkan dengan kondisi psikologis masyarakat kaum 'anshor' dan 'muhajirin' semasa Nabi saw hijrah dari Mekah ke Medinah, masyarakat kini sangat menonjolkan ego. Mengapa demikian? Karena tuntutan dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dewasa ini terasa semakin meningkat, lebih-lebih ketika negara-negara di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia, sulit membendung derasnya pengaruh globalisasi dengan segala eksesnya, terutama dalam hal pergeseran tata nilai. Egoisme dan budaya konsumerisme seakan-akan telah menjelma menjadi “agama” baru di mana harta dianggap segala-galanya dan menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan. Kebaikan hanya ditakar sebatas atau terletak pada nilai ekonomi semata.
Bagaikan histeria, sekarang ini semua orang memimpikan harta, semua berlomba- lomba ingin menjadi orang kaya. Kondisi dan perkembangan psikologi sosial yang demikian diperburuk oleh suatu penafsiran dari sementara ahli agama atas beberapa firman Tuhan yang agaknya kurang tepat. Sebut saja misalnya, tentang “perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya bagaikan menanam satu butir buah yang tumbuh dan berkembang menjadi tujuh ratus kali lipat”. Al-Baqarah 261
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّـهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui
Al-Baqarah 261
Masalah muncul ketika firman tersebut ditafsirkan secara terlampau kreatif dan harfiah, bahwa hasil tanaman itu akan diterima “kontan” di dunia, dalam bentuk fisik pula. Setidak-tidaknya demikian yang dicerna dan dipahami umat. Pemahaman seperti itu boleh jadi akan meningkatkan gairah bersedekah. Namun disadari atau tidak, berpotensi mendidik atau mendorong masyarakat bermental transaksional dan pragmatis yang dalam jangka panjang dampaknya akan lebih merugikan. Lagi pula penafsiran semacam itu sama halnya memperhadapkan dikotomi sain dan agama secara aksiomatis. Bahayanya, bila suatu saat dihadapkan pada suatu kenyataan tidak seperti yang diharapkan, justru dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan frustasi dan goyahnya iman.
Padahal kalau saja umat muslim bisa dan mau sedikit menanggalkan dorongan ego seraya kembali memahami bahwa inti ajaran Islam adalah membangun dan menyempurnakan akhlak mulia, dan ketika umat muslim berjumpa dalam kesempatan salat berjamaah harus memperbaiki pola komunikasi dengan ukuran atau pedoman lingkungan publik yang islami dan berlaku universal, yakni muda usia mau proaktif menghormati dan silaturahim kepada tua usia, sementara tua usia menyayangi muda usia. Spiritnya, mereka yang kuat melindungi mereka yang lemah. Ajaran akhlak Islam yang sederhana tersebut tampaknya telah lama dilupakan bahkan ditinggalkan. Terbukti belakangan, sipirit ajaran tersebut gencar dikampanyekan di ruang-ruang publik.