PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 30, 2016

Agama di Tengah Gempuran Paham-paham







Tak dapat dipungkiri bahwa agama Islam merupakan agama besar terakhir yang turun dalam rekam sejarah yang terang, bebas dari selubung kabut dongeng atau khayalan. Wahyu yang pertama-tama turun dimulai dengan kata: ‘Bacalah!” dan empat ayat berikutnya menegaskan bahwa agama ini sangat menjunjung tinggi nalar dan akal karena menyadari posisinya sebagai agama yang
harus berhadapan dengan manusia yang akalnya semakin maju dan berkembang. Kenyataan itu diperkuat dengan pesan-pesan berbentuk pertanyaan “apakah engkau tak berpikir?” atau “apakah engkau tidak berakal?” yang tersebar di berbagai ayat Alquran, yang pada intinya menganjurkan bahkan mewajibkan untuk belajar dan mengajarkan ilmu. Di saat yang bersamaan sebagaimana akan diuraikan dalam artikel Agama di Tengah Gempuran Paham-paham ini agama harus berhadapan sekaligus dapat menjawab berbagai tantangan pemikiran yang berkembang jauh dari lingkungan yang mempengaruhi pemikiran para ulama besar terdahulu. Bertolak dari spirit ajaran itu, dari kebanyakan masyarakat yang semula buta baca-tulis berubah dan kemudian mempelopori gerakan ilmu sehingga dunia Islam mencapai puncak tangga tertinggi dan menjadi pusat perbendaharaan serta perkembangan ilmu. Salah satu jasa dunia Islam paling penting dalam keilmuan misalnya tentang temuan metode ilmiah, sehingga seorang frater Katholik Roma anggota Ordo Fransiskan, Roger Bacon (1214-1292M), tertarik untuk mempelajarinya. Termasuk –yang di dunia Barat diakui sebagai-- “penemu” (sejatinya lebih tepat plagiator) empirisme sebagai metodologi ilmiah, Francis Bacon (1561-1627M) dari Inggris, yang merupakan asal muasal tercapainya kemajuan pesat di bidang IPTEK dewasa ini. Jasa lain yang tak kalah pentingnya adalah upaya menggali perbendahaaran ilmu Yunani yang telah lama terkubur melalui kegiatan penerjemahan dari bahasa Suryani, karena aslinya telah dibakar, pada saat Barat sendiri belum lagi berminat kepadanya.

Mengenali dan Memahami Gerakan Radikal


Dalam perkembangannya, Islam telah membidani gerakan-gerakan kesejarahan penting sekaligus mengubah wajah kebudayaan Eropa, bahkan dunia, sekalipun telah terlepas dari spirit keagamaan, menurut pandangan sebagian cendekiawan, dan berubah menjadi paham yang bersifat anthroposentris (berpusat pada manusia) dan sekuler. Suatu gerakan budaya dan pemikiran yang berorientasi dan berlandaskan pada metodologi empirik, kuantitatif, dan eksperimental, yang secara langsung atau tidak langsung menggugat eksistensi atau meragukan kebenaran agama. Meskipun hal tersebut tidak mengurangi fakta bahwa agama sebagai wahyu Ilahiah bukanlah medan bagi pembuktian secara induktif-deduktif dan eksperimental, namun pencarian kebenaran-kebenaran objektif ilmiah tetap dapat dicapai, hanya berbeda dalam cara. Sejak saat itu di Eropa secara bertubi-tubi muncul berbagai paham atau aliran pembaharuan, antara lain seperti gerakan Renaissance, Reformasi gereja yang dimotori Luther dan Calvin, Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes dan John Locke, kemudian Aufklarung dengan tokoh utamanya Voltaire, kemudian muncul ideologi Komunisme dengan tokohnya Marx dan Lenin yang beranggapan bahwa agama adalah opium atau candu yang hanya berguna untuk menghilangkan rasa sakit.

Apa yang dikatakan oleh Rocky Gerung, mantan dosen jurusan filsafat dari Universitas Indonesia dalam suatu kesempatan bahwa 'kitab suci itu fiksi' tak lebih sebenarnya adalah merupakan duplikasi pemikiran dari komunisme. Tudingan atau hujatan demikian sesungguhnya akibat dari kegagalan penafsiran dan pemahaman sementara ahli agama (khususnya Islam) atas ayat-ayat tertentu yang kesannya memang kotradiktif, bukan kebenaran kitab suci itu sendiri. Itu adalah perdebatan atau diskusi lama tentang pengertian dan hubungan antara takdir dan ikhtiar atau usaha manusia. Contohnya, di satu sisi mengesankan kekuasaan
Tuhan yang absolut, namun di sisi lain Tuhan memberikan 'konsesi' pada kemampuan akal pikiran manusia. Padahal perbedaan tersebut sesungguhnya hanyalah terletak pada pengertian antara hakikat (prinsip) dan makrifat (empiris).

قُلِ اللَّـهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu

Ali Imran 26

إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ ..

..sesungguhnya Allah tak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri

Ar-Ra'd 11

Jika komunisme melakukan serangan secara langsung ke 'ulu hati' dari kebenaran agama, tidak demikian dengan Sigmund Freud dengan teorinya Psikoanalisis dan Perkembangan, serta Charles Darwin dengan teorinya Survival of the Fittest atau Natural Selections, secara tak langsung hendak menggugurkan kebenaran wahyu berturut-turut melalui teori ilmu jiwa dan teori evolusi tentang asal usul manusia. Di samping itu muncul aliran Positivisme dari filsuf asal Prancis, Auguste Comte yang berpendapat bahwa agama adalah merupakan hasil dari pemikiran manusia purba, yang pada ujungnya hendak mengatakan bahwa agama dan metafisika sebagai hal yang tak ada harga dan gunanya. Lebih dari itu muncul aliran Determinisme, dan Pragmatisme yang mengatakan bahwa segala keterangan atau anggapan, termasuk dari agama, baru dapat diakui kebenarannya jika telah dibuktikan atau sesuai dengan kenyataan, seperti misalnya tentang adanya kehidupan sesudah mati atau akhirat. Terakhir adalah Materialisme Orgy, sebuah paham tak berbeda jauh dengan Komunisme yang menganggap ekonomi merupakan pokok kehidupan dan uang menguasai dunia. Suatu paham yang pernah berkembang di zaman Imperium Romawi, yang juga pernah berkembang dan belakangan dicoba dibangkitkan kembali justru oleh sebagian kalangan agama untuk kepentingan dan tujuan politik sesaat di Indonesia. Perselisihan pendapat bahkan pertentangan aliran-aliran lebih ekstrem sesungguhnya sudah lebih dulu dan lama terjadi di internal agama (Islam) sendiri. Fenomena tersebut yang paling mutakhir adalah munculnya gerakan Irak Syuriah Islamic States (ISIS) yang berbasis di Syuriah, dimana mereka memaknai 'jihad' semata sebagai perang fisik dengan mengacu pada ayat Alquran yang jumlahnya cukup banyak itu. Selain karena semua ayat tersebut konteksnya adalah zaman Nabi saw yang tentu saja dapat diyakini kebenaran dan misi kepemimpinannya (bagi yang mempercayai), tetapi makna jihad apalagi zaman sekarang yang sarat dengan kepentingan politik bahkan ambisi pribadi untuk kekuasaan pemimpinnya, sehingga keputusan untuk melibatkan diri dalam 'jihad' memerlukan pemahaman dan pendalaman yang benar-benar cermat dan tidak sekadar tekstual.


رَضُوا بِأَن يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

At-Taubah 87

Berbagai serangan dan tantangan dari luar agama, khususnya dari dunia sain sungguh memerlukan perhatian dan pemikiran yang lebih serius lagi. Ilmu pengetahuan dan agama harus bekerja dalam sinergisme. Agama akan menjadi tahayul dan hanya akan dianggap sebagai astrologi bila tidak menerima metode penyelidikan yang dikemukakan sain yang menghendaki naturalisme. Sebaliknya sain akan menjadi pengetahuan yang dangkal bahkan berbahaya jika tidak memperhatikan prinsip-prinsip moral dan keagamaan yang menghendaki supranaturalisme. Sebagai gambaran, orang sekaliber Albert Einstein dalam bidang ilmu fisika dan matematika umpamanya, acapkali mengeluarkan keterangan dan pendapat yang amat keliru tentang agama dan sejarah, karena kedua bidang itu bukan keahliannya.


Simak Juga:




Posting Komentar