Rasa takut (khauf) akan ancaman neraka (dan berharap kenikmatan surga) di dalam kehidupan akhirat sebagai tujuan akhir perjalanan hidup manusia, menurut pemikiran dan pendapat Al-Ghazali harus menjadi instrumen dan motif utama dalam beramal. Percaya pada kehidupan akhirat sebagai bagian dari rukun iman memang sesungguhnya memiliki kedudukan dan
peran yang sangat penting, terbukti hal tersebut dicantumkan di awal-awal ayat pada permulaan surat Alquran.
Cara Terbaru Menghadapi Dunia
Namun seiring perkembangan pemikiran manusia, terutama dengan kemajuan ilmu astronomi dan biologi yang berhasil mengungkap tabir rahasia alam semesta, rupanya telah mengubah manusia cenderung berperilaku dan bersikap sekular. Salat sunat gerhana sebagai ungkapan kekaguman akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan kini jarang dilakukan, satu dan lain hal karena melalui ilmu astronomi orang mengetahui bahwa peristiwa gerhana dianggap sesuatu hal yang biasa saja. Salat istisqa (meminta hujan) jarang dilakukan bila menghadapi kemarau panjang. Orang sekarang lebih percaya kepada usaha melalui proses teknologi hujan buatan. Percaya kepada nilai (pembalasan) di kehidupan akhirat, analog dengan membeli polis asuransi. Mengeluarkan uang sekarang untuk sebuah nilai (value) yang akan diterima di masa yang akan datang. Ini saja, tidak banyak orang berminat mengikuti program asuransi. Agama sepertinya telah kehilangan makna sakralnya. Pantaslah kalau manusia yang lidahnya mengaku beragama tetapi bisa dan berani melakukan apa saja, karena konsep “rasa takut” yang ditawarkan Al-Ghazali sudah tidak lagi relevan.
Dulu, pada abad pertengahan, sebelum pemisahan urusan dunia dari gereja (agama) orang-orang Eropa tak pernah berani melakukan bedah kepala, karena khawatir melanggar “dosa asal” (kualat). Pada dekade limapuluhan, banyak petani di Indonesia yang tidak mau memberikan pupuk tanaman, karena dianggap “kufur nikmat”. Pada dekade yang sama, kabar tentang manusia telah berhasil menginjak bulan dengan kendaraan angkasa luar (sputnik milik Uni Soviet) dianggap “melawan kekuasaan Tuhan”. Alquran mengingatkan betapa susah payah seorang ibu mengandung dan menyusui anaknya (sebahagian ada yang menyerahkan kepada pembantu), meski tak disebutkan saat melahirkannya, agar anak berbakti kepada orang tua. Sekarang kemajuan teknologi seolah memanjakan, ibu melahirkan dengan cara sesar (sedikit2 sesar… !! “sesar koq sedikit?!), bahkan bayi masih dalam kandungan sudah bisa diketahui jenis kelaminnya, adalah hal yang lumrah. Kemajuan pesat dalam berbagai ilmu pengetahuan telah membuat manusia kian “pandai berhitung”. Monolog ini tidak dimaksudkan untuk individu/ kelompok yang menjadikan agama sebagai kedok untuk sekadar menangguk keuntungan dunia semata.