Siasat pemasaran menggunakan nama (-nama) tokoh penting untuk menarik minta dan menggaet sebanyak mungkin target (pembeli lebih tepatnya calon korban) dengan cara mengundang mereka untuk hadir di “markas” pelaku sesungguhnya sudah dikenal sejak terbongkarnya kasus penipun berkedok investasi paa tahun awal milenium 21 yang lalu. Ketika itu
banyak bank yan mengalami “collaps” sebagai akibat dari krisis moneter yang terjadi pada tahun sebelumnya. Krisis tersebut berimbas pada situasi kebingungan masyarakat untuk menyimpan dan menyelamatkan uangnya. Situasi “chaos” tersebut telah dimanfaatkan oleh orang-orang yang jeli melihat peluang pasar dengan manawarkan usaha kerjasama investasi di bidang agrobisnis dengan pemberian keuntungan yang tinggi dan tentu saja sangat menggiurkan masyarakat luas. “Qisar” adalah sebuah nama perusahaan di bidang investasi agrobisnis yang berkedudukan dan beroperasi di kawasan Sukabumi, Jawa Barat, merupakan salah satu di antara sejumlah perusahaan lain sejenis yang bermunculan kala itu dan konon berhasil menggaet uang nasabah hingga mencapai satu triliun dan berkibar serta "meledak" tak lama setelah tokoh nasional Amien Rais dan Hamzah Haz menyambangi kantor perusahaan tersebut.
Cara Menilai dan Menghadapi Tawaran Investasi Bodong
Nama besar dari seorang tokoh penting acapkali dianggap identik dengan kebenaran dan kebaikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Anggapan yang sesungguhnya telah menjadi salah kaprah ini, di mana masyarakat sepertinya tak juga sadar dan jera, akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang jeli melihat peluang namun memiliki rencana buruk dan jahat yang merugikan masyarakat banyak. Padahal masyarakat telah cukup mendapat pelajaran bahwa gelar doktor atau professor tidak dapat sepenuhnya menjadi jaminan sebagai sumber kebenaran dan kebaikan. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang telah menyandang deretan gelar yang sangat tinggi dan terhormat tersebut ternyata juga dapat melakukan tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan bahkan menyengsarakan orang banyak itu. Dalam kontes yang berbeda, dapat ditegaskan bahwa derajat sebuah predikat tinggi tidak serta merta mencerminkan ketinggian, baik dari segi ilmu maupun sebagai sumber kebaikan dan kebenaran. Asumsi tersebut dapat dibuktikan pada riwayat Nabi Musa as yang notabene memiliki status dan kedudukan tertinggi (di hadapan Tuhan) selaku nabi dan rasul “harus” berguru dan menimba ilmu kepada seseorang (tak dikenal) namun memiliki ilmu “linuwih” (unggul, Jawa), yakni ilmu “ngerti sadurunge winarah” (kemampuan melihat masa depan, namun bukan peramal, Jawa).
Menyimak kasus dengan modus penggandaan uang yang dilakukan Dimas Kanjeng Ta’at Pribadi yang menggegerkan itu, di mana disebutkan bahwa ketua yayasannya adalah seorang bergelar professor doktor, persisnya Prof Dr Marwah Daud Ibrahim, lalu disebutkan pula tokoh sekelas Prof Dr Mahfud MD yang konon sempat juga “dipaksa” untuk menyambangi padepokan Dimas Kanjeng tersebut, dengan mudah dapat disanggah dan dipatahkan argumentasinya sekaligus menjadi titik introspeksi melalui riwayat Nabi Musa as dan Khaidir tersebut di atas, karena kebetulan ketua yayasannya notabene adalah seorang muslimah bukan sembarang muslimah tetapi juga merupakan anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).