Kejadian luar biasa dan dugaan pembunuhan atas dua orang pengikut di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur yang berbuntut ditahannya pemimpin padepokan tersebut oleh pihak kepolisian merupakan apa yang kerap dalam istilah disebut sebagai puncak gunung es. Disebut demikian karena berbagai kejadian yang berpangkal pada
kepercayaan masyarakat kepada hal-hal yang gaib tetapi tidak masuk akal sebenarnya sudah menjadi fenomena umum yang menyebar di hampir semua
penjuru tanah air, hanya saja tidak terungkap dan muncul ke permukaan. Secara umum pada dasarnya hampir semua kejadian tersebut berakar pada dua hal, yakni (1) hasrat semua masyarakat modern untuk menjadi kaya atau memiliki harta yang banyak. (2) kekosongan atau kegelapan jiwa dan akal mereka dari cahaya petunjuk ilahiyah, bahkan paling parah adalah berupa peningkaran atau setidaknya pengabaian atas petunjuk tersebut.
Hasrat dan keinginan semua manusia untuk menjadi kaya dalam batas tertentu boleh jadi masih dianggap wajar. Masalah kemudian muncul ketika untuk memenuhi hasrat dan keinginan tersebut dilakukan dengan menempuh jalan pintas atau cara cepat dan instan oleh sebahagian masyarakat yang tak jarang berisiko tinggi dan merugikan, baik diri sendiri maupun masyarakat luas. Kondisi tersebut diperparah oleh ketiadaan atau pengabaian mereka pada petunjuk ilahiyah, sehingga lengkaplah sudah bila disebut sebagai masyarakat yang tengah sakit.
Untuk kasus Padepokan Dimas Kanjeng yang menggegerkan dengan terungkapnya kejadian pembunuhan dan dugaan praktik penipuan diakui memang sangat luar biasa, lebih-lebih dengan kemunculan Marwah Daud Ibrahim selaku seorang cendekiawan muslimah sekaligus Ketua Yayasan Padepokan tersebut dengan “gagah berani” tampil di berbagai kesempatan, seperti misalnya dalam program berkala yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun televisi ia menyatakan bahwa “tidak seorang pun berhak mengklaim kebenaran --yang dikatakan merupakan hak prerogatif Tuhan-- dan menuduh sesat apalagi mengkafirkan seseorang atau golongan” sambil mempertontonkan sikap pandang bahwa manusia “boleh suka-suka menafsirkan dalam memahami sebuah petunjuk dan tanda ilahiyah”, sedangkan benar atau salah sepenuhnya dikembalikan dan menjadi tanggung jawab masing-masing kepada Tuhan. Hal ini sama artinya menisbikan kebenaran agama dan mungkin saja memang terinspirasi atau meng-copy paste” dari apa yang dikenal dalam sistem hukum pidana sebagai prinsip “presumption of innocent” atau praduga tak bersalah. Jika demikian halnya maka Al-Quran yang dinyatakan sebagai petunjuk bagi manusian untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat atau dalam bahasa sufi mencari keridaan Tuhan tak lagi berfungsi. Sehingga dengan bahasa yang lebih gamblang muncul pertannyaan apakah hendak mengatakan bahwa sebahagian (besar) manusia sepakat ramai-ramai untuk mengembalikan (saja) wahyu Al-Quran kepada Tuhan?