Tulisan tentang Pemahaman Islam menurut Megawati ini bukan pledoi atau pembelaan, apalagi mencari pembenaran atas satu hal. Artikel ini hanya ingin membedah secara keilmuan dan berupaya untuk membaca apa yang ada dalam benak, pikiran dan hati Megawati Soekarnoputri, sekaligus mencoba
mengerti dan memahami perkataannya tentang ramalan masa depan, terutama kehidupan sesudah mati atau akhirat. Sehingga hanya karena pengungkapannya tidak menggunakan istilah dan bahasa santri --dia memang bukan seorang satri-- ia kemudian dicap sebagai orang yang tidak percaya pada adanya hari akhirat.
Pertama yang perlu dan harus disimak dan digarisbawahi adalah sebagian orang muslim bahkan mereka yang mengaku dirinya sebagai ahli yang mendalami ilmu agama, perilaku mereka ternyata sungguh jauh dari sebutan berakhlak mulia sebagaimana diajarkan agama yang dianut. Kenyataan tersebut tentu selain sangat tercela tetapi juga berakibat menimbulkan rasa tidak atau kurang respek pada diri dan hati Mega sebagai orang yang merasa memang tidak tekun di bidang agama terhadap ulama seperti itu.
Tambahan pula, sang pembicara dalam rekaman video yang menurut pengakuannya merupakan ulama mantan bajingan bersama sejumlah kawan "seprofesi", di samping juga mantan pastur mempertontonkan perilaku sebagaimana layaknya seorang ulama yang seharusnya berakhlak mulia. Bermodal kata 'mantan' tersebut memang ada sebagian orang yang mencoba melihat sisi positif dan mencari semacam apologi dan pembenaran dengan mengatakan bahwa 'lebih baik menjadi mantan preman dari pada mantan ustadz'.Padahal sebenarnya yang paling penting adalah setelah insaf apakah yang bersangkutan benar-benar telah melakukan hijrah dan perubahan dalam berperilaku. Sedangkan faktanya sebagaimana tampak dalam rekaman video tersebut, baik konten maupun cara bicaranya mantan bajingan tetsebut masih belum mampu meninggalkan kebiasaan lamanya sebagai preman karena jiwa preman telah terlanjur merasuk dan meresap ke dalam aliran darahnya. Dari sisi itu saja bagaimana dapat dipercaya apa yang keluar dari mulutnya?
Berikutnya, ketika Megawati S. dijegal untuk maju menjadi presiden dengan dalih dan dalil agama bahwa dalam islam kaum perempuan diharamkan menjadi pemimpin khususnya presiden, saat itu para ulama politik masih terbilang santun dan berakhlak, tidak sebrutal seperti ulama politik sekarang. Sehingga ketika kemudian Gus Dur digusur dan terpental dari kursi presiden "berkat kepiawaian" Amin Rais dalam berpolitik, dan kemudian Mega naik juga dalam tampuk kepemimpinan nasional menggantikan posisi Gus Dur sebagai presiden, tidak satu pun ulama yang melakukan protes dan meributkan, sekalipun sebelumnya menentang dan menurut mereka hukumnya haram. Saat itu pulalah Mega seperti tersadar dan muncul penilaian bahwa fatwa ulama (dapat) dibuat semata-mata atas dasar kepentingan politik, bukan murni atas kebenaran agama. Fakta tersebut seakan kian memperdalam rasa skeptis bahkan sinisme Mega pada ulama politik yang haus kekuadaan itu. Sementara ia sendiri bisa jadi justru lebih mengerti dan percaya pada ajaran Islam yang benar berkat kedekatannya dengan Gus Dur.
Klimaksnya adalah skenario licin yang dipertontonkan oleh para pengusung dan pendukung capres Prabowo-Sandi yang justru secara lugas mencerminkan sikap tidak mempercayai adanya kehidupan di akhirat dalam kasus produksi dan penyebaran hoax oleh Ratna Sarumpaet yang merupakan salah satu tim suksesnya.
Lebih dari itu, jajaran pendukung yang menyebut diri ulama penganut paham 'takfiri', gemar mengkafir-kafirkan dan mengkapling-kapling di akhirat pada pihak yang dianggap menentang dan menghalangi ambisi politik kekuasaan mereka, seraya menganggap diri mereka yang 'paling', paling benar, paling baik, paling dekat dengan Tuhan dan pemilik sorga. Sementara pihak lain dianggap salah dan menjadi penghuni neraka, seakan-akan mereka lebih tahu dari Nabi saw bahkan Tuhan. Padahal ayat berikut secara jelas menyatakan bahwa Nabi saw sendiri pun tidak (banyak) mengetahui tentang hal yang gaib dan rahasia Tuhan.