Berikut adalah kisah dua orang paman dari dua orang nabi besar dalam satu garis keturunan kakek dan cucu, yakni Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw. Pengalaman hidup sebagai anak yatim piatu telah menempa jiwa seorang anak kecil bernama Muhammad menjad
i pribadi yang lembut dan sederhana sekaligus teguh dan tegas dalam pendirian, juga penuh pengertian, kasih sayang dan penolong kepada sesama makhluk. Karakter dasar itulah yang tertanam dalam jiwanya selama ia harus berpindah dan berganti orang tua asuh karena satu demi satu mereka meninggal dunia. Sampai akhirnya ia jatuh di tangan sosok orang tua asuh sekaligus pengayom, penolong dan pembelanya bukan saja hanya dalam perjuangan kerasulannya kelak, melainkan juga ikut mengguratkan garis nasib dan kehidupan pribadinya. Dialah Abu Thalib yang merupakan paman dan telah berjasa besar pada pribadi Muhammad. Namun demikian nasib apa yang diterima sang paman, ternyata telah menyisakan sebungkah pertanyaan di kalangan pengikut keponakannya kemudian, apakah Abu Thalib, sang paman meninggal dalam keadaan kafir atau tidak beriman. Kendati pada akhirnya hanya Tuhanlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
i pribadi yang lembut dan sederhana sekaligus teguh dan tegas dalam pendirian, juga penuh pengertian, kasih sayang dan penolong kepada sesama makhluk. Karakter dasar itulah yang tertanam dalam jiwanya selama ia harus berpindah dan berganti orang tua asuh karena satu demi satu mereka meninggal dunia. Sampai akhirnya ia jatuh di tangan sosok orang tua asuh sekaligus pengayom, penolong dan pembelanya bukan saja hanya dalam perjuangan kerasulannya kelak, melainkan juga ikut mengguratkan garis nasib dan kehidupan pribadinya. Dialah Abu Thalib yang merupakan paman dan telah berjasa besar pada pribadi Muhammad. Namun demikian nasib apa yang diterima sang paman, ternyata telah menyisakan sebungkah pertanyaan di kalangan pengikut keponakannya kemudian, apakah Abu Thalib, sang paman meninggal dalam keadaan kafir atau tidak beriman. Kendati pada akhirnya hanya Tuhanlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Artikel tentang status kematian Abu Thalib bukan bermaksud alih-alih mau main vonis takfir atau mengkapling-kapling neraka untuk orang lain atau menghibah kerabat dekat Nabi saw. Sebab sebagaimana diketahui bahwa Abu Lahab mati kafir, karena Allah mencela habis di surat al-Lahab, meskipun Abu Lahab adalah paman Rasulullah saw. Tulisan ini hanya ingin menyoroti lebih pada sisi manusiawi antara dua insan, antara keponakan dan paman yang telah cukup banyak berbuat baik dan menanamkan jasa, guna menarik hikmah dan pelajaran hidup yang berharga
Tidak seperti Abu Lahab, para ulama tidak satu pendapat mengenai akhir hayat Abu Thalib. Tetapidalam masalah tersebut terdapat tiga pendapat dengan argumen dan analisis masing-masing. Satu pendapat mengatakan bahwa ia mati dalam keadaan inkar dan kafir, bahkan musyrik. Pendapat kedua meyakini bahwa ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah dan muslim. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa ia telah masuk Islam dan beriman tetapi menyembunyikannya, karena alasan taktis dan sebagai bagian dari siasat untuk mendukung perjuangan dakwah Nabi saw (untuk lebih jelasnya baca riwayat awal perjuangan dakwah Nabi saw).
Ketika Abu Thalib jelang meninggal dunia dalam keadaan sakaratul maut, Rasulullah saw mendatanginya. Di dekat Abu Thalib, tampak Abu Jahal bin Hisyam, dan Abdullah bin Abi Umayah bin Mughirah, dua orang tokoh Quraisy yang memusuhi dakwah beliau. Rasulullah saw membimbing pamannya: ”Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallah, kalimat yang aku jadikan saksi utk membela paman di hadapan Allah kelak” Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah menimpali, ’Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?’ Rasulullah saw terus mengajak pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid, namun dua orang itu selalu mengulang dan menghalanginya. Hingga Abu Thalib memilih ucapan terakhirnya, mengikuti agama Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan kalimat tauhid. Menyaksikan kejadian tersebut kemudian Rasulullah saw bergumam: ”Demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Allah, selama aku tidak dilarang”.
Suatu ketika Abbas bin Abdul Muthalib menyebut tentang paman Abu Thalib di samping Nabi saw. Sontak beliau bersabda: “Semoga ia mendapat syafaatku pada hari kiamat, sehingga ia (sang paman) diletakkan di permukaan neraka yang membakar mata kakinya, namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan dalam kesempatan lain Nabi saw pernah ditanya oleh seseorang tentang Abu Thalib, apakah status kenabian anda bisa bermanfaat baginya? Beliau menjawab:”Bisa bermanfaat, aku keluarkan dia dari kerak jahanam ke permukaan neraka”. Pertanyaan tersebut muncul karena para sahabat tersebut sangat mengetahui dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa besar jasa Abu Thalib, membantu, membela dan melindungi Nabi saw, sejak remaja hingga selama perjuangannya untuk melaksanakan perintah Tuhan sebagai nabi dan rasul.
Itulah sekelumit riwayat yang melatarbelakangi dan menjadi sebab turun ayat 113 surat at-Taubah dan ayat 56 surat al-Qashas (HR. Bukhari dan Muslim).
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
At-Taubah: 113
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚوَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Al-Qashas: 56
At-Taubah: 113
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚوَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk
Al-Qashas: 56
Ulama peneliti setingkat Imam Syafii saja telah mengantisipasi kemungkinan pendapatnya bisa saja keliru (dalam dunia ilmu dikenal adagium 'ilmuwan bisa salah, tetapi tidak boleh berbohong'). Oleh karenanya, ulama yang berpendapat bahwa Abu Thalib, paman Nabi saw, mati dalam keadaan kafir dengan mendasarkan khususnya pada ayat 113 surat At-Taubah bisa saja keliru dalam menafsirkan dan memahami ayat Alquran. Seperti contohnya, kesimpulan yang ditarik dari kalimat ayat tersebut bersifat implisit, dimana keadaan kematian Abu Thalib tidak disebutkan secara eksplisit seperti pada kasus Abu Lahab. Di samping itu, sebab turunnya ayat tersebut boleh jadi lebih karena hendak "menegor" sikap Nabi saw yang "sok tahu" dan seperti mendahului rencana serta kehendak Tuhan (Jawa, ndisiki kerso), sekalipun demikian besar rasa cinta dan sayang beliau kepada pamannya itu. Memang, bukan hal yang tabu dan perlu disembunyikan ketika beberapa kali Nabi saw pernah "ditegor" oleh Tuhan karena sikap dan keputusannya yang keliru, sejauh bukan menyangkut kebohongan soal penyampaian wahyu. Seperti contoh lain, kejadian sebab turunnya surat 'Abasa, surat Ad-Dhuha, dan insiden di perang Uhud.
Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa paman Nabi saw tersebut mati dalam keadaan husnul khatimah, dalam arti sebagai mukmin dan muslim malah memunculkan tuduhan bahwa tafsir tersebut merupakan kedustaan dari ulama pengikut Syiah yang paham keagamaannya memang sangat menjunjung tinggi kerabat sekaligus dianggap paling berhak sebagai pewaris Nabi saw. Sedangkan pendapat ketiga yang menyebutkan bahwa Abu Thalib sudah sejak awal kenabian Muhammad telah menyatakan masuk Islam, namun hingga akhir hayatnya ia menyembunyikan ketetapan hatinya itu untuk menghindari kecurigaan kaum kafir Qurisy demi menyelamatkan keponakannya yang seorang utusan Tuhan itu (sebagai strategi, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantio mengenakan kopiah putih khas haji saat menghadapi aksi 212 di Monas mendampingi presiden RI Jokowi, disadari atau tidak, sesungguhnya meniru langkah Abu Thalib. Bedanya, sikap dan langka gerakan aksi 212 belum tentu benar kendati mengatasnamakan agama).
Adapun paman Nabi Ibrahim as (sementara sumber riwayat menyebutkan paman bukan ayah), berbeda dengan paman Nabi saw alih-alih mendukung dan turut membantu perjuangan dakwah kenabian, malah menentang dan memusuhi Nabi Ibrahim as, sebagai tertuang dan tercermin dalam riwayat pengahancuran patung Latta dan Uzza di pusaran ka'bah. Tidak disebutkan secara spesifik dan eksplisit keadaan kematian pamannya tersebut. Dan tidak pula disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as memohonkan ampunan kepada Tuhan untuk pamannya yang telah berjasa besar kepadanya tersebut.
Setelah kisah hidup kedua kedua paman tersebut berlalu, mungkin "di luar sana" muncul dan terjadi juga riwayat tentang paman dan keponakan, sudah tentu dengan modus dan versi yang berbeda. Yang pasti, Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir dengan membawa wahyu yang sudah pasti pula mutlak benarnya dan absolut baiknya. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudah itu, meskipun golongan pengikut Ahmadiyah berkata dan percaya pada yang sebaliknya.
Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa paman Nabi saw tersebut mati dalam keadaan husnul khatimah, dalam arti sebagai mukmin dan muslim malah memunculkan tuduhan bahwa tafsir tersebut merupakan kedustaan dari ulama pengikut Syiah yang paham keagamaannya memang sangat menjunjung tinggi kerabat sekaligus dianggap paling berhak sebagai pewaris Nabi saw. Sedangkan pendapat ketiga yang menyebutkan bahwa Abu Thalib sudah sejak awal kenabian Muhammad telah menyatakan masuk Islam, namun hingga akhir hayatnya ia menyembunyikan ketetapan hatinya itu untuk menghindari kecurigaan kaum kafir Qurisy demi menyelamatkan keponakannya yang seorang utusan Tuhan itu (sebagai strategi, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantio mengenakan kopiah putih khas haji saat menghadapi aksi 212 di Monas mendampingi presiden RI Jokowi, disadari atau tidak, sesungguhnya meniru langkah Abu Thalib. Bedanya, sikap dan langka gerakan aksi 212 belum tentu benar kendati mengatasnamakan agama).
Adapun paman Nabi Ibrahim as (sementara sumber riwayat menyebutkan paman bukan ayah), berbeda dengan paman Nabi saw alih-alih mendukung dan turut membantu perjuangan dakwah kenabian, malah menentang dan memusuhi Nabi Ibrahim as, sebagai tertuang dan tercermin dalam riwayat pengahancuran patung Latta dan Uzza di pusaran ka'bah. Tidak disebutkan secara spesifik dan eksplisit keadaan kematian pamannya tersebut. Dan tidak pula disebutkan bahwa Nabi Ibrahim as memohonkan ampunan kepada Tuhan untuk pamannya yang telah berjasa besar kepadanya tersebut.
Setelah kisah hidup kedua kedua paman tersebut berlalu, mungkin "di luar sana" muncul dan terjadi juga riwayat tentang paman dan keponakan, sudah tentu dengan modus dan versi yang berbeda. Yang pasti, Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir dengan membawa wahyu yang sudah pasti pula mutlak benarnya dan absolut baiknya. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudah itu, meskipun golongan pengikut Ahmadiyah berkata dan percaya pada yang sebaliknya.