PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 11, 2018

Maka Tunggu Saat (Kehancurannya)






Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, maka tunggu saja saat (kehancuran)nya”.
Salah seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan, wahai rasul? ‘
Nabi saw menjawab:


قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ


Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)nya. (BUKHARI)

Berikut ulasan dan penjelasannya:
  • Makna isi dari hadist tersebut masih bersifat sangat umum, normatif dan hipotetis secara operasional. Kata 'ahli' yang digunakan sebagai klausul tidak serta merta dapat diartikan bahwa 'jika diserahkan kepada ahli' dijamin berhasil. Sebagai contoh, gubernur DKI Fauzi Bowo secara akademik diakui memiliki keahlian tata kota, tetapi di bawah kepemimpinannya DKI tidak memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Sebaliknya ketika DKI dipimpin oleh para gubernur sebelumnya yang tidak memiliki label dan kualifikasi ahli, ternyata yang 'saa'ah'nya datang atau berakhir adalah karier dan jabatannya sang gubernurnya (tidak dipilih lagi). Sedangkan kota Jakarta masih tetap berdiri dan eksis. Atau kalau seorang direktur sebuah perusahaan bukan 'ahli', maka yang terlebih dahulu tamat riwayatnya (diberhentikan) adalah sang direktur. Sedangkan perusahaanya tetap eksis dan beroperasi.
  • Kata terakhir dari hadist tersebut adalah 'saa'ah' (waktu). Sedangkan kata 'kehancurannya' hanyalah merupakan tambahan penjelasan (tafsir) dari penerjemah. Dan tambahan kata sebagai penjelas sesungguhnya kurang tepat bahkan ada konotasi mendramatisir. Kata 'kehancurannya' lebih tepat diganti dengan 'berakhirnya' atau 'tamat riwayatnya'.
  • Nabi saw yang salah satu sifatnya adalah fatonah, yakni cerdas bahkan amat cerdas dalam hadis tersebut beliau menggunakan kata dan klausul yang sangat rasional, yaitu 'ahli' yang mengandung makna kompetensi. Beliau tidak menggunakan klausul irrasional dan bukan pula spiritual seperti misalnya mengeksploitasi issu 'iman' sebagaimana kemudian dipraktikkan dalam pilkada DKI Jakarta yang menghadirkan dua pasang calon gubernur muslim dan nonmuslim (tidak pernah dipakai sebutan mukmin dan nonmukmin), Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama atau AHOK. Karena beliau sangat mengetahui dan paham bahwa keimanan atau keislaman seseorang tidak identik atau tidak ada korelasinya secara langsung dengan soal kapabelitas dan kompetensi sebuah jabatan atau amanah. Terbukti, meskipun pemimpinnya nonmuslim, negara seperti Amerika Serikat tetap dapat tegak berdiri kokoh selama lebih dari dua abad.
  • Kata 'ahli' itu sendiri dari sudut etimologi mengandung arti relatif dan hipotetis. Kalau pemakaian dan makna kata tersebut dikaitkan dan ditujukan kepada kedua capres yang hendak berlaga dan berkompetisi dalam suatu perhelatan pesta demokrasi, maka tidak bisa lain issu klausul dan assesment yang diangkat dan diajukan adalah hal-hal yang bersifat rasional dan bukan primodial. Dengan catatan bila ingin mengikuti contoh dan jejak Nabi saw dalam memilih sosok pemimpin.
  • Apa jadinya kalau kata 'ahli' itu ditafsirkan dalam arti ahli dalam soal tindak pidana korupsi seperti yang diusulkan Bawaslu?

Ini hanyalah baru satu contoh kecil tentang bagaimana menyimak dan memahami teks, lebih-lebih teks suci tidak bisa atau persisnya tidak boleh mensimplifikasi pemahaman.

Simak Juga:




Posting Komentar