Kebanyakan para ulama besar dari angkatan tabi'in (sekitar abad 0.9H/7 M) dalam memahami Alquran cenderung menganut ilmu Tafsir Alquran metode pendekatan hukum atau syariat (fikih). Dalam perkembangannya, penafsiran Alquran juga dilakukan oleh sebagian ulama
dengan menggunakan pendekatan lain, yaitu pendekatan filsafat dan pendekatan sain dan teknologi.
Tafsir Alquran metode pendekatan yang berbeda-beda tersebut meskipun tujuannya sama, yakni mencoba menyelami serta memahami maksud dan tujuan sesungguhnya dari firman Tuhan, tetapi dengan sendirinya akan menghasilkan praktik dan implikasi yang berbeda.
Sebagai contoh misalnya tentang perbuatan mencuri:
- Pendekatan syariat sebagaimana paham aliran wahabi di Saudi Arabia yang kemudian diadopsi oleh Muhammadiyah, sebuah ormas keagamaan terbesar kedua setelah NU, dan dipromosikan di wilayah Nusantara pada awal pendiriannya, hasil ijtihadnya adalah potong tangan.
- Pendekatan filsafat (ethica), hasil ijtihadnya adalah ojo milik barang liyan (Jawa, jangan berpikir --apalagi untuk menguasai tanpa hak-- tentang barang atau apa yang menjadi milik orang lain).
- Pendekatan iptek (sain dan teknologi), hasil ijtihadnya memasang cctv.
Sebagaimana telah terbukti dan diterapkan selama berbabad-abad bahwa pendekatan syariat, sehingga antara lain melahirkan jargon 'menegakkan syariat' sesungguhnya merupakan penjelmaan dari sistem khilafah yang berorientasi pada kekuasaan absolut dengan pendekatan 'top-down' adalah bentuk lain dari sistem monarchi atau kerajaan yang sudah kuno dan lama ditinggalkan. Dan satu hal yang tak kalah penting dari metode pendekatan tafsir syariat ini, disadari atau tidak disadari, melahirkan paham dan konsep 'takfiri' (mengkafir-kafirkan') yang berpotensi menimbulkan perpecahan umat, yang pada gilirannya melemahkan kekuatan umat muslim itu sendiri. Karena dalam praktiknya, metode pendekatan tafsir Alquran tersebut lebih banyak diarahkan dan digunakan untuk kepentingan politik dari pada kepentingan syiar dan dakwah.
Sementara pendekatan filsafat (ethic), dengan jargonnya 'membangun pribadi yang berakhlak mulia' dan berorientasi dengan pendekatan 'bottom-up', selain sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat modern sekaligus sesungguhnya sejalan dengan manhaj (metode) yang dijalankan Nabi saw.
Untuk mengamankan diri dari kemungkinan melakukan kealpaan dan kesalahan, hendaknya perhatikan pesan Alquran berikut.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
Al-Isra 36
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan
Ash-Shaaf 3