Di tahun politik khususnya di musim kampanye menjelang Pileg dan Pilpres 2019 kali ini hampir seluruh lapisan masyarakat terlibat dan melibatkan diri dalam politik praktis, tak terkecuali para pemuka seperti dai, kiai dan ustad. Sekalipun telah dikeluarkan imbauan agar menjauhi politik identitas dan larangan untuk menggunakan issu SARA, namun dalam praktik dan kenyataannya sebagian dari para penganjur agama (Islam) tersebut seperti 'tidak kekurangan akal' untuk 'memainkan' issu agama sebagai jalan untuk mempengaruhi masyarakat yang pada gilirannya diharapkan dapat meraih kemenangan dan kekuasaan dalam ajang kontestasi politik lima tahunan tersebut. Salah satu issu yang digulirkan dan dikembangan oleh kubu oposisi atau penantang dalam hal ini kelompok Capres nomor 02 Prabowo-Sandi sebagai kritik adalah tentang politik penegakan hukum yang dinilai 'tajam kebawah dan tumpul keatas' dalam pemerintahan petahana, yakni Jokowi-Ma'ruf Amin. Ditinjau dari kaca mata agama kebijakan tersebut dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan sebagaimana juga diamanatkan dalam salah butir sila dari Pancasila. Bahkan lebih jauh dari itu kebijakan tersebut dinilai pemerintahan Jokowi tidak memiliki komitmen untuk menegakkan syariat Islam.
Sebagaimana diketahui sekaligus belajar dari pengalaman pada saat Pilkada DKI Jakarta tahun lalu yang secara jelas menunjukkan bahwa membawa issu agama dalam politik atau dalam bahasa populernya disebut mempolitisasi agama, selain sangat sensitif dan 'seksi', juga memang merupakan jalan pintas dan mudah untuk mengundang spontanitas masyarakat (baca: (sebagian) umat muslim) secara sukarela terlibat dan atau melibatkan diri dalam gerakan atas dasar solidaritas dan persudaraan agama. Selama masa kampanye ini pun para penganjur agama yang pro dan mendukung pasangan capres cawapres nomor 02 Prabowo-Sandi dalam berbagai kesempatan, seperti khutbah jumat, forum taklim dan pengajian, baik 'di darat' maupun 'di udara' (radio, televisi atau media sosial), atau arisan bahkan acara pernikahan, mereka beramai-ramai dan secara sukarela mencari dan 'menguliti' sisi dan titik lemah pemerintah khususnya dari sisi penegakan hukum tersebut sebagai upaya untuk mendelegitimasi pemerintahan petahana dan dalam waktu yang sama ingin membangun citra positif calon penantang. Sejauh sikap kritis dari sudut pandang agama tersebut dilakukan secara benar dan proposional kiranya dan sesungguhnya sah-sah saja. Namun yang sedikit menjadi masalah adalah ketika dalam uraian dan penjelasan pada kritik tentang politik penegakan hukum di era pemerintahan Jokowi para dai dan kiai tersebut mengutip dan merujuk pada sebuah hadist yang menyebutkan bahwa intinya: "Seandainya anakku (baca: Fatimah) mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya".
Merujuk hadis tersebut untuk menunjukkan sebuah praktik pemerintahan dalam menegakkan hukum pastinya sangatlah tidak tepat bahkan bisa jadi keliru. Mengapa? Karena dalam hadis tersebut Nabi saw baru hanya 'akan' memotong tangan anaknya jika kedapatan melakukan perbuatan mencuri. Dalam hal itu Nabi saw 'baru sebatas' menunjukkan dan menyatakan komitmen untuk menegakkan hukum, sementara perbuatan mencuri dimaksud juga belum atau tidak sungguh-sungguh terjadi. Hadisnya atau sabda Nabi saw itu sendiri tidak salah, tetapi yang salah adalah para dai dan kiai yang mengambil rujukan hadis tersebut. Kesannya jadi seperti dipaksakan. Barangkali malah lebih tepat dan faktual jikalau mereka merujuk pada komitmen dan praktik penegakan hukum khususnya tentang pemberatasan korupsi dalam pemerintahan Tiongkok yang telah terbukti dan benar-benar melaksanakan eksekusi hukuman tembak sampai mati pada para koruptor. Toch Nabi Muhammad saw menganjurkan agar umat muslim menuntut ilmu, sekalipun harus sampai ke negeri Cina. Jadi untuk lebih jelasnya, merujuk hadis tersebut untuk menunjukkan contoh tauladan tentang praktik penegakan hukum pada umumnya dan upaya pemberantasan korupsi pada khususnya sungguh kurang tepat. Karena apa yang dikatakan atau sabda Nabi saw 'baru sebatas' komitmen atau dalam bahasa politiknya 'good will' atau iktikad dan kemauan baik. Di Indonesia khususnya sejak pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta fenomena dan sinyalemen politisasi agama semakin diperburuk dengan metode penafsiran yang terkesan lebih sarat dengan kepentingan politik ketimbang upaya untuk menggali kebenaran ajaran agama secara sungguh-sungguh. Memang mereka tidak dapat diperbandingkan dan dipersandingkan misalnya dengan para ulama zaman mutakallimun dalam memahami agama yang melahirkan berbagai aliran paham seperti khawarij, murjiah, jabbariyah, mu'tazilan atau ahli sunnah waljama'ah, meski dilatarbelakangi kekuatan politik tetapi dalam berijtihad dan berfatwa mereka melakukannya dengan penuh kesungguhan dan kejujuran serta bertanggung jawab dengan menggunakan nalar yang sehat.