Berbulan-bulan sudah masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta, dibuat lelah pikiran dan hatinya karena disuguhi berbagai informasi berkaitan dengan masalah tafsir ayat 21 surat Al-Maidah dan ayat-ayat lain dengan tafsir yang senada, yaitu tentang kepemimpinan politik dalam perspektif ajaran Islam. Ratusan ribu warga muslim dari berbagai penjuru tanah air tumpah
ruah datang memadati sepanjang jalan Thamrin, lapangan Monas, dan sekitarnya bukan karena didorong keinginan untuk memahami makna wahyu Tuhan melalui ayat-ayatNya termasuk Alquran secara paling mendekati kebenaran, melainkan justru mengikuti pemahaman yang mendekati kekeliruan.
Bukti yang paling nyata tentang pemahaman yang mendekati kekeliruan itu dapat ditunjukkan dijelaskan dengan kenyataan sebagai berikut:
1. Pembahasan mengenai ayat-ayat Alquran yang menurut pemahaman (tafsir) kalangan atau kekuatan politik tertentu dianggap dapat “dipakai” untuk menyerang atau melemahkan elektabilitas bahkan kalau mungkin melenyapkan lawan politik justru muncul hanya pada musim Pemilu saja. Pesan-pesan suci mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan sistem kepemimpinan itu disampaikan secara gencar dan massif melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat, ceramah-ceramah agama, dan berbagai kesempatan lain. Sehingga tak dapat dielakkan bahwa kesannya khutbah atau ceramah semacam itu lebih tepat jika disebut sebagai “tafsir musiman” dari pada murni kajian ilmu yang jujur dan bertanggung jawab.
2. Anehnya, umat muslim yang sempat terbawa arus mengikuti aksi-aksi bela membela itu lebih berminat justru pada issu yang tidak substantif perkara dugaan penistaan agama, dari pada mendalami pemahaman atau tafsir ayat (ayat) Alquran itu sendiri.
Gegap gempita persiapan dan proses penyambutan super mewah kedatangan Raja Saudi Arabia, Salman bin Abdulaziz Al Saud, yang masih berlangsung hingga hari ini, bak cerita seribu satu malam dari zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di negeri Baghdad, mengingatkan sebagian umat muslim yang senantiasa mengikuti tuntunan Nab sawi, khususnya pada sebuah riwayat doa Nabi Ibrahim as yang diabadikan dalam Alquran berikut ini:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur
Ibrahim 37
Dengan uraian dan contoh tersebut hendak menunjukkan sekaligus dapat dihitung seberapa besar kira-kira devisa yang dapat diharapkan dan dihimpun dari penyelenggaraan ibadah haji bagi kas kerajaan dan guna menghidupi rakyat Saudi Arabia. Namun seiring dengan perjalanan waktu, sebagaimana dapat disaksikan pada abad ini kerajaan Saudi Arabia, bahkan sebagian negeri-negeri Jazirah Arab di sekitarnya, menikmati kekayaan melimpah ruah justru dari petro dollar, yakni berkah minyak yang mengalir dari kandungan perut bumi padang pasir nan tandus. Dapat dibayangkan bahwa pada saat ini 90% anggaran belanja negeri Saudi bertumpu dan bersumber dari penerimaan sektor petro dollar itu.
Uraian ini ingin menunjukkan dan membuktikan bahwa Islam (Alquran) mutlak benarnya, sedangkan pemahaman dan tafsir manusia atas Islam (Alquran) tidak mutlak benarnya (nisbi). Mengenai kemampuan daya nalar manusia itu, seorang ahli filsafat dunia Ibnu Ruysd berpendapat bahwa mengenal (membuktikan tentang adanya) Sang Pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan jalan melakukan pengamatan terhadap alam wujud ciptaanNya Orang mengenal nama-nama Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei ilmuwan dan fisikawan besar abad lalu yang berhasil mengoreksi dan menunjukkan kekeliruan pendapat limuwan (filosof) yang tak kalah besarnya, yakni Aristoteles dan Phytagoras tentang tata surya. Sekarang orang lalu dapat membayangkan bahwa mengenai dan mengenali obyek yang nyata (fisika) saja bisa keliru, apatah lagi obyek adi-indrawi (metafisika).