Banyak orang yang mengaku atau menyatakan diri sebagai muslim dan menganut ajaran Islam, akan tetapi tidak jelas apa yang diikuti dan diperjuangkan. Menggunakan otak, akal dan pikiran jelas-jelas merupakan nilai kebaikan yang diajarkan Islam, namun mereka itu alih-alih mengikuti dan mengamalkan kerapkali malah tidak mau mempelajari dan
memahami ajaran agama yang dianutnya. Bahkan mereka seringkali lebih suka mengedepankan emosi daripada memakai otak dan akalnya. Jika sedang menderita sakit misalnya, mereka merasa telah sempurna dalam beriman dan beriman dengan lebih mempercayai (ilmu) tabib, hanya karena nama profesinya disebutkan dalam bahasa Arab daripada mempercayai ilmu dan mengikuti nasihat dokter. Atau lebih parah lagi jika alasannya karena menganggap ilmu kedokteran merupakan produk golongan non-muslim atau jelasnya mereka suka menyebut kaum kafir. Lebih dari itu, penggunaan issu sara serta aksi provokasi pasang spanduk, ceramah dan khutbah oleh kalangan (muslim) tertentu untuk mencapai tujuan dan ambisi pribadi dan atau golongan tiada lain kecuali merupakan suatu sikap dan tindakan yang mengedepankan emosi sekaligus anti-demokrasi yang sungguh tidak Islami dan cenderung pada munafik. Sebaliknya, masyarakat yang mendapat intimidasi semacam itu seyogianya tidak perlu merasa khawatir atau panik. Cukuplah bila disikapi dengan sebuah kalimat, meminjam istilah Pak Harto, “tidak disalatkan kelompok seperti itu juga tidak PATEKAN (kudisan)”. Sebab, mungkinkah orang yang munafik dan tidak takut kepada Tuhan doanya dikabulkan Tuhan?
memahami ajaran agama yang dianutnya. Bahkan mereka seringkali lebih suka mengedepankan emosi daripada memakai otak dan akalnya. Jika sedang menderita sakit misalnya, mereka merasa telah sempurna dalam beriman dan beriman dengan lebih mempercayai (ilmu) tabib, hanya karena nama profesinya disebutkan dalam bahasa Arab daripada mempercayai ilmu dan mengikuti nasihat dokter. Atau lebih parah lagi jika alasannya karena menganggap ilmu kedokteran merupakan produk golongan non-muslim atau jelasnya mereka suka menyebut kaum kafir. Lebih dari itu, penggunaan issu sara serta aksi provokasi pasang spanduk, ceramah dan khutbah oleh kalangan (muslim) tertentu untuk mencapai tujuan dan ambisi pribadi dan atau golongan tiada lain kecuali merupakan suatu sikap dan tindakan yang mengedepankan emosi sekaligus anti-demokrasi yang sungguh tidak Islami dan cenderung pada munafik. Sebaliknya, masyarakat yang mendapat intimidasi semacam itu seyogianya tidak perlu merasa khawatir atau panik. Cukuplah bila disikapi dengan sebuah kalimat, meminjam istilah Pak Harto, “tidak disalatkan kelompok seperti itu juga tidak PATEKAN (kudisan)”. Sebab, mungkinkah orang yang munafik dan tidak takut kepada Tuhan doanya dikabulkan Tuhan?
Demokrasi dalam Islam
Jika ditarik inti yang paling dasar dari ajaran Islam sesungguhnya adalah nilai kebaikan (hasanah). Dan prinsip demokrasi bisa disebutkan adalah merupakan salah satu dari nilai dan ajaran Islam. Bila segolongan ahli (ulama) selama ini mengira atau menganggap bahwa demokrasi bukan merupakan nilai kebaikan dari ajaran Islam, itu barangkali karena mereka kurang jeli dan obyektif saja dalam meneliti makna dasar sebuah ajaran Islam. Sikap dan pandangan demikian boleh jadi karena jika ditilik dari sejarah demokrasi memang muncul pertama kali berasal dari peradaban Yunani kuno abad 6 SM dan kemudian dipopulerkan oleh filosof asal Prancis, Voltaire, sehingga oleh karenanya sebagian ulama (konsevatif) menganggapnya sebagai ide kufur.
Padahal spirit dan nilai demokrasi dalam pengertian yang paling mendasar, yakni menghormati hak individu dan kebebasan untuk menyatakan pendapat sesungguhnya justru dengan amat terang dan gamblang diajarkan dalam Islam, bahkan dicontohkan oleh Tuhan sendiri. Ajaran mengenai prinsip demokrasi tersebut setidaknya dapat dirunut dalam dua peristiwa besar sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran berkaitan dengan asal usul penciptaan manusia(genesis) dan peristiwa pengurbanan Nabi Ibrahim as https://doa-logika.blogspot.com/2018/09/sejarah-arab-habib-di-indonesia.html atas putranya Nabi Ismail as. Patut dicatat bahwa demokrasi adalah merupakan sebuah pilihan dan konsesus nasional dalam pemerintahan era reformasi, setelah melewati pengalaman masa kelam pada era pemerintahan Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin dan pada rezim Orde Baru dengan sistem pemerintahan otoriter.
Pada riwayat kejadian dan penciptaan manusia, sebagaimana dapat disimak dalam Alquran berikut.Voltaire |
Padahal spirit dan nilai demokrasi dalam pengertian yang paling mendasar, yakni menghormati hak individu dan kebebasan untuk menyatakan pendapat sesungguhnya justru dengan amat terang dan gamblang diajarkan dalam Islam, bahkan dicontohkan oleh Tuhan sendiri. Ajaran mengenai prinsip demokrasi tersebut setidaknya dapat dirunut dalam dua peristiwa besar sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran berkaitan dengan asal usul penciptaan manusia(genesis) dan peristiwa pengurbanan Nabi Ibrahim as https://doa-logika.blogspot.com/2018/09/sejarah-arab-habib-di-indonesia.html atas putranya Nabi Ismail as. Patut dicatat bahwa demokrasi adalah merupakan sebuah pilihan dan konsesus nasional dalam pemerintahan era reformasi, setelah melewati pengalaman masa kelam pada era pemerintahan Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin dan pada rezim Orde Baru dengan sistem pemerintahan otoriter.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?"
Al-A’raf 12
Tuhan Yang Maha Demokratis telah mengajarkan sekaligus menunjukkan contoh sikap demokratis dengan memberi kebebasan serta keleluasaan kepada Iblis untuk menyatakan pendapat dan mengambil sikap atau menetapkan (sendiri) pilihan jalan --sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran surat Al-Balad ayat 10-- dalam sebuah dialog antara Tuhan dan Iblis sebagaimana tersebut di atas.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan
Selain itu, pada ayat berikutnya disebutkan bahwa pada akhirnya Tuhan juga “menghormati” sikap dan pilihan jalan bahkan mengabulkan permohonan Iblis agar diberi kesempatan (konsesi) untuk hidup hingga hari kebangkitan kelak agar dapat menjerumuskan manusia kepada kesesatan. Sebab kalau Tuhan mau dan Dia Maha Kuasa dapat (saja) menentukan lain secara otoriter.Sudah dapat dipastikan bahwa seorang Ibrahim as yang dijuluki bapak sekalian nabi, secara sadar mendengarkan dan mengamalkan sikap demokrasi yang diajarkan bahkan dicontohkan sendiri oleh Tuhan, ketika menghadapi ujian hidup harus merelakan putra kesayangan Nabi Ismail as, namun beliau tidak melaksanakan perintah Tuhan tersebut tanpa terlebih dahulu menanyakan pendapat dan sikap putra kesayangannya tersebut:
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ
“…--hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah APA PENDAPATMU?--…“
As-Shaffat 102