Menjelang dan memasuki bulan Rajab pada tahun itu Nabi Muhammad saw menghadapi cobaan dan ujian yang berat, terutama terhadap kelangsungan dan kelancaran kegiatan dakwah yang dilakukan. Selama itu meskipun missi dakwah beliau mendapat penolakan bahkan perlawanan
dari sebagian besar petinggi kaum Quraisy yang merupakan suku penguasa dan terpandang saat itu, namun berkat dukungan pamannya Abu Thalib ra dan istrinya Hatijah rah yang juga memiliki pengaruh kuat di kalangan elite, kegiatan dakwah beliau dapat berjalan lancar tanpa gangguan yang berarti, Akan tetapi kedua sosok dan figur benteng dan 'pelindung' tersebut secara hampir bertutut-turut belum lama itu wafat dan meninggalkan Nabi saw untuk selama-lamanya. Selain ditimpa rasa sedih karena kehilangan anggota keluarga, yang tak kalah penting adalah beliau kehilangan pengayom dan pelindung dalam menghadapi aksi penolakan dan perlawanan dari para tokoh kaum Quraisy. Kini beliau terpaksa harus berjuang hanya didampingi dan ditemani oleh para sahabat setia yang relatif masih usia muda dan belum memiliki pengaruh yang cukup kuat, di antaranya seperti Ali bin Abu Thalib sekaligus sebagai menantu beliau.
Dalam kondisi dan situasi Nabi saw mengalami kesedihan yang mendalam itulah kemudian Allah swt 'menghibur' dengan 'mengundang' beliau untuk menempuh perjalanan secara fisik dan rohani menuju Arsy persemayaman Tuhan di Siddratul Muntaha, hingga menghadap dan bertemu langsung dengan Tuhan. Peristiwa perjalanan tersebut dikabarkan dalam Alquran sebagai Isra dan Mi'raj.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا نَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Al-Israa 1
Autentitas dan Kredibelitas Isra dan Mi'raj
Pada umumnya para dai dan penceramah agama ketika menguraikan tentang peristiwa Isra dan Mi'raj lebih menekankan pada kehebatan dan kemampuan Nabi Muhammad menempuh perjalanan 'gaib' yang dikatakan tak terjangkau akal manusia. Bahkan sebagian di antaranya peristiwa luar biasa dan gaib tersebut lagi-lagi seakan semakin menguatkan 'hasrat' dan keyakinan mereka yang mengarah dan menjurus kepada paham kultus individu. Padahal kalaupun mau dilihat dari perspektif diri prinadi Nabi saw sendiri, selain latar belakang terjadinya peristiwa Isra Mi'raj sebagaimana dijelaskan di awal, kehebatan dan keistimewaan beliau adalah bahwa hanya beliaulah satu-satunya manusia di dunia sampai akhir zaman yang diberikan sekaligus mendapatkan kesempatan melakukan 'trip' perjalanan gaib dan spiritual tersebut. Sedangkan lebih dari itu, dari peristiwa Isra Mi'raj sebenarnya pesan yang paling fundamental adalah merupakan batu ujian bagi sekalian manusia untuk mempercayai atau tidak mempercayai Nabi Muhammad saw secara total. Sebab cerita mengenai kedahsyatan dan keluarbiasaan perjalanan Isra Mi'raj itu sendiri sesungguhnya menjadi salah satu dari banyak sekali tanda-tanda ke-Maha Besar-an serta ke-Maha Kuasa-an Tuhan yang sesungguhnya dapat disaksikan kapanpun dan dimanapun.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa berita tentang peristiwa perjalanan Nabi saw tersebut ketika disampaikan kepada khalayak khususnya umat muslim sendiri saat itu sebagian dari mereka sempat meragukan kebenaran dari kejadian tersebut. Maklum pada waktu itu baik ilmu pengetahuan maupun perkembangan teknologi khususnya di bidang transportasi jauh dari kemungkinan jarak dari Masjid Al-Haram di kota Mekah ke Masjid Al-Aqsha di kota Jerusalem dapat ditempuh dalam tempo satu malam pergi pulang. Sampai-sampai untuk menunjukkan akan kebenaran peristiwa perjalanan malam tersebut Nabi saw harus menyebutkan banyaknya jumlah pintu Masjid Al-Aqsha untuk membuktikan melalui penalaran sehat bahwa malam itu beliau benar-benar telah berkunjung ke sana. Padahal sebelumnya satu kali pun beliau belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Hanya saja, peristiwanya bukan hanya Isra sebagaimana disebutkan dalam Alquran dan paling sering dijadikan rujukan utama untuk mengenang kembali kajadian luar biasa tersebut, melainkan ada peristiwa berikutnya, yakni Mi'raj, yang sesungguhnya merupakan hal yang gaib (QS 2:3) namun selama ini rujukan dan uraian yang kerapkali dikembangkan justru lebih banyak mengacu pada Hadist yang notabene autentitas dan kredibelitasnya tentu saja tidak seperti Alquran. Padahal dalil naqly yang memaparkan tentang peristiwa mi'raj sesungguhnya Alquran juga mencantumkan dan memberitakannya. Hanya saja, di ayat tersebut tidak disebutkan secara spesifik dan jelas, Mi'raj, sebagaimana halnya Isra.
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ* عِندَ سِدْرَةِ الْمُنتَهَىٰ* عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ* إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰمَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ* لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَىٰ
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain* (yaitu) di Sidratil Muntaha* Di dekatnya ada surga tempat tinggal* (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya* Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya* Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar
An-Najm 13-18
Akan halnya peritiwa Mi'raj dikaitkan dengan perintah salat wajib lima waktu, dari manapun sumber dan latar balakangnya sesungguhnya sudah sesuai dengan dan memenuhi fungsi Hadist sebagai penjelas dan penafsir Alquran. Karena perintah salat itu sendiri secara garis besar memang disebutkan dalam Alquran.
إِنَّنِي أَنَا اللَّـهُ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku
Thoha 14