Salah satu ajaran etika agama Kristen adalah mengasihi sesama yang diungkapkan dalam sebuah kalimat sangat terkenal, yakni “bila ditampar pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”. Pada saat ajaran tersebut diturunkan kaum Bani Israil sedang berada dalamcengkeraman penindasan bangsa Romawi, sehingga mereka menolak ajaran tersebut karena dianggap sebagai melegitimasi kaum penjajah. Pada abad ke-19 pengingkaran terhadap ajaran tersebut dengan alasan yang sama tetapi dengan modus pertentangan kelas sosial telah menginspirasi lahirnya gerakan politik komunisme. Ajaran askestisme (hidup sederhana) dari agama Kristen Katholik yang melahirkan kapitalisme justru semakin mendorong gerakan komunisme karena dianggap menjadi sumber penyebab jurang antara kaya dan miskin, antara buruh dan majikan kian menganga. Di Indonesia dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia, meski jurang kaya dan miskin itu seharusnya dapat terjembatani dan tereliminasi melalui mekanisme zakat, sedekah dan infak, namun dalam pelaksanaannya potensi zakat yang konon jumlahnya mencapai 250 triliun rupiah hanya dapat terkumpul sebanyak 10% per tahun menjadi persoalan dan tantangan tersendiri. Banyaknya umat muslim yang lebih gemar mendahulukan atau mengutamakan ibadah sunah, seperti pergi haji (dan umrah) lebih dari satu kali dari pada membayar kewajiban zakat mal sebagaimana seringkali diungkapkan, di samping ibadah sunah yang berorientasi pada “ganjaran dan kuburan” dan kesalihan individu dinilai menjadi salah satu sebab pokok rukun Islam ke empat itu tidak berjalan efektif.
Lagi pula, paradigma sebahagian ahli dan pemimpin umat muslim yang cenderung dogmatis, skriptualis, tekstual, dan monolog --disadari atau tidak-- berpotensi melahirkan sikap sektarian, bahkan lebih parah lagi menjadi bibit radikalisme yang tumbuh subur seperti disinyalir akhir-akhir ini. Ambil contoh misalnya, sederet atau sejumlah ayat Alquran tentang kepemimpinan dikatakan agar tidak memilih pemimpin dari golongan kafir, maksudnya kalangan Nasrani dan Yahudi yang ditafsirkan secara “kaca mata kuda” dengan memanfaatkan issu SARA setiap kali jelang Pemilu, bukannya melakukan introspeksi dan belajar dari sejarah kerapkali justru hanya akan melemahkan posisi umat muslim itu sendiri. Karena untuk menghadapi perkara (agama) yang bersifat “syubhat” (samar) perlu kajian yang lebih cermat, mendalam dan tidak sebaliknya hanya “ditelan” mentah-mentah dan dipahami secara serampangan. Di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata akan kenyataan banyaknya umat muslim khususnya pemimpin (penguasa) yang mengaku baragama Islam namun perilakunya jauh dari standar ajaran agama yang dianutnya, seperti melakukan tindak pidana korupsi dan miskin rasa empati pada kaum lemah. Bukankah seringkali dijumpai orang yang mengaku Islam tetapi akhlaknya tidak Islami, sebaliknya orang non-muslim perilakunya justru Islami? Satu hal yang harus tetap disadari dan dicatat bahwa firman Tuhan mutlak benarnya, sedangkan pemahaman manusia atas firman tersebut bersifat relatif.
Tiap kali acara peringatan hari Isra Mi’raj agaknya umat muslim perlu merenungkan ulang dan tidak berhenti bahkan terjebak pada pemikiran yang tak sejalan dengan perkembangan zaman. Peristiwa Isra Mi’raj yang merupakan salah satu mu’jizat acapkali pemahamannya dimaknai sebatas sebagai bukti kerasulan Muhammad saw di antara sejumlah mu’jizat lain semisal membelah bulan dan air memancar dari celah jemari. Padahal lebih dari itu peristiwa Isra Mi’raj selain dialamatkan kepada generasi sepeninggal beliau juga mengandung makna sebagai legitimasi terhadap ketetapan ibadah salat yang jumlahnya lima waktu dalam sehari semalam sebagai kewajiban individual (fardu 'ain) sekaligus merupakan tiang agama.
Cara Terbaru Memaknai Isra Mi'raj
Lagi pula, paradigma sebahagian ahli dan pemimpin umat muslim yang cenderung dogmatis, skriptualis, tekstual, dan monolog --disadari atau tidak-- berpotensi melahirkan sikap sektarian, bahkan lebih parah lagi menjadi bibit radikalisme yang tumbuh subur seperti disinyalir akhir-akhir ini. Ambil contoh misalnya, sederet atau sejumlah ayat Alquran tentang kepemimpinan dikatakan agar tidak memilih pemimpin dari golongan kafir, maksudnya kalangan Nasrani dan Yahudi yang ditafsirkan secara “kaca mata kuda” dengan memanfaatkan issu SARA setiap kali jelang Pemilu, bukannya melakukan introspeksi dan belajar dari sejarah kerapkali justru hanya akan melemahkan posisi umat muslim itu sendiri. Karena untuk menghadapi perkara (agama) yang bersifat “syubhat” (samar) perlu kajian yang lebih cermat, mendalam dan tidak sebaliknya hanya “ditelan” mentah-mentah dan dipahami secara serampangan. Di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata akan kenyataan banyaknya umat muslim khususnya pemimpin (penguasa) yang mengaku baragama Islam namun perilakunya jauh dari standar ajaran agama yang dianutnya, seperti melakukan tindak pidana korupsi dan miskin rasa empati pada kaum lemah. Bukankah seringkali dijumpai orang yang mengaku Islam tetapi akhlaknya tidak Islami, sebaliknya orang non-muslim perilakunya justru Islami? Satu hal yang harus tetap disadari dan dicatat bahwa firman Tuhan mutlak benarnya, sedangkan pemahaman manusia atas firman tersebut bersifat relatif.
Tiap kali acara peringatan hari Isra Mi’raj agaknya umat muslim perlu merenungkan ulang dan tidak berhenti bahkan terjebak pada pemikiran yang tak sejalan dengan perkembangan zaman. Peristiwa Isra Mi’raj yang merupakan salah satu mu’jizat acapkali pemahamannya dimaknai sebatas sebagai bukti kerasulan Muhammad saw di antara sejumlah mu’jizat lain semisal membelah bulan dan air memancar dari celah jemari. Padahal lebih dari itu peristiwa Isra Mi’raj selain dialamatkan kepada generasi sepeninggal beliau juga mengandung makna sebagai legitimasi terhadap ketetapan ibadah salat yang jumlahnya lima waktu dalam sehari semalam sebagai kewajiban individual (fardu 'ain) sekaligus merupakan tiang agama.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
Al-Baqarah 3
Mengenai kedudukan salat ini Nabi Muhammad saw juga menegaskan bahwa:
اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدّيْنِ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدّيْنِ
Salat merupakan tiang agama. Barang siapa yang menegakkan salat, maka berarti ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan salat, maka berarti ia telah merobohkan agama”. (HR Bukhari Muslim)
Bagaimanapun secara nalar sehat, tidak mungkin ibadah salat (wajib) yang perintahnya langsung datang dari Tuhan tetapi kemudian ketentuan jumlah waktunya yang merupakan bagian pokok atau batang tubuh dari perintah itu “hanya” cukup disampaikan melalui pesan wahyu "reguler" dari seorang Nabi saw, tanpa "legetimasi" yang istimewa seperti dalam peristiwa Isra Mi'raj tersebut. Namun lebih itu, sudah selayaknya manusia merasa bersyukur, karena melalui ibadah salat manusia dapat berkomunikasi langsung tanpa perantara siapapun dan apapun kepada Tuhan hampir setiap waktu selama sehari semalam penuh. Rasa gembira dan syukur tersebut dapat dianalogikan dengan betapa beruntung dan bahagianya jika seorang warga negara dapat berhubungan dan bertemu langsung dengan presiden Jokowi misalnya, kapan saja dan di mana saja seraya dapat meminta sesuatu yang diinginkan dan dibutuhkan serta dikabulkan permintaannya.