Produk hukum yang masih berlaku di Indonesia sebahagiannya masih merupakan warisan semasa penjajahan bangsa Belanda, salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hingga kini rencana untuk
menyusun penggantinya belum juga berhasil dan masih sebatas wacana. Kitab Undang-Undang Hukum Acata Pidana (KUHAP) yang telah cukup lama berhasil disusun dan diundangkan itu yang jelas semangatnya bukan bersumber dari Islam, karena meskipun diketahui mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam namun berdasarkan konsensus para pendiri bangsa Indonesia bukanlah negara agama Selain faktor pengaruh masa pejajahan Belanda selama tiga setengah abad, ketika bangsa Indonesia baru saja merdeka bangsa-bangsa di benua Eropa berada dalam periode Zaman Modern Kontemporer di penghujung masa sebelum Perang Dunia II, melewati berbagai pergulatan pemikiran yang rumit dengan ciri pokoknya kebebasan berpikir dan sekularisme. Hingga hasilnya sampai pada filsafat, ilmu dan theologi (dianggap) mempunyai kedudukan sejajar, dan jauh dari pemikiran keagamaan yang berimbas kuatnya dorongan pemisahan antara agama dan negara. Di antara berbagai paham yang tumbuh, aliran Positivisme dan Materialisme yang paling dominan dan memandang hanya pemikiran ilmiah (scientific) sajalah --dalam pengertian natura sciencesl-- yang memiliki bobot kepastian (dan kebenaran). Meski kemudian salah kaprah, pandangan itu menegaskan bahwa yang tidak ilmiah (ilmu-ilmu non-eksakta, seperti filsafat, theologi, ilmu sosial) dianggap tidak memiliki hak untuk mengklaim atas kebenaran dan kepastian.
Di tengah situasi perkembangan pemikiran dunia semacam itulah Indonesia harus membangun sistem hukumnya. Sudah dapat ditebak bahwa supaya disebut modern maka Indonesia tak mungkin berkiblat pada hukum-hukum Islam yang notabene berdasarkan wahyu, tetapi lebih merasa benar dan pasti bila mengadopsi hasil akal pikiran manusia yang dikatakan ilmiah itu. Puncak dari bentuk jiwa inferior bekas anak jajahan itu ditunjukkan oleh serombongan anggota DPR yang terhormat pada tahun berselang dengan mengadakan studi banding ke Yunani untuk belajar tentang etika. Mungkin tidak banyak yang mengira bahwa tokoh utama sekaligus bisa disebut sebagai “bapak” demokrasi asal negeri Prancis, Voltaire dengan slogannya yang masyhur “vox populei vox dei” yang banyak dikutip itu sesungguhnya juga seorang atheis ”setengah hati”.
Sebagai bahan perbandingan di dalam salah satu ketentuan hukum Islam disebutkan bahwa untuk menuduh seseorang (muslim) telah melakukan perbuatan zina harus bisa mendatangkan dua orang laki-laki atau alternatifnya empat orang perempuan sebagai saksi (kunci). Dan itupun dengan ketentuan atau syarat bahwa para saksi tersebut harus benar-benar telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri --masuknya kelamin lelaki ke dalam kelamin perempuan-- menurut istilah orang Jawa-- diibaratkan sebagai sebilah keris masuk ke dalam rangkanya. Karena yang disebutkan terakhir itulah sebenarnya yang merupakan pokok inti perbuatan sekaligus sebagai sumber atau dasar definisi perbuatan yang dituduhkan, maka kadar kesaksiannya pun harus jelas dan langsung, bukan hasil dari penafsiran atas bukti tambahan. Dengan kemajuan teknologi ketentuan syarat kesaksian itu bisa atau mungkin saja digantikan fungsinya oleh alat sejenis kamera yang kebenaran dan kepastiannya dapat diteliti dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah, misalnya. Tetapi tidak boleh menyimpang dari prinsip pembuktian tersebut di atas. Dalam kasus pembunuhan Mirna, untuk mengungkapkan siapa pelakunya sebagaimana secara luas sudah diketahui bahwa analog dengan kasus tuduhan perzinaan dalam hukum Islam, pembuktiannya sangatlah sederhana yakni siapa yang menaburkan bubuk racun cyanida ke dalam secangkir kopi yang kemudian diminum Mirna. Dari rekaman CCTV yang sempat beredar di media menggambarkan sosok Jessica yang sudah cukup lama mendekam di ruang tahanan Polda Metro Jaya sebagai tersangka tengah duduk di sebuah bangku restoran sepertinya sambil menanti kedatangan Mirna di atas meja di depannya terletak secangkir kopi tetapi agak terhalang oleh secarik kertas semacam folder yang menghalangi pemandangan dari arah CCTV ketika kedua tangan Jesisica tampak bergerak-gerak seperti sedang melakukan sesuatu. Hanya itu. Dan itulah satu-satunya “peluang” untuk dapat dijadikan bukti perbuatan “telah menaburkan” racun cyanida ke dalam secangkir kopi. Hanya saja, kalau pihak penyidik “berani” menetapkan hasil rekaman itu sebagai bukti, maka mereka telah melanggar dalil apa yang dalam epistemologi disebut “petition principii”, yaitu membuktikan sesuatu dengan alat bukti yang (masih) harus dibuktikan itu sendiri, dan terperangkap ke dalam apa yang disebut “circulus viciosus”. Betapa tidak? Kalau saja gerak-gerik tangan Jessica tidak terhalang oleh secarik kertas sejenis folder, toch masih harus dibuktikan apakah yang ditaburkan itu benar racun cyanida.
Betapapun kepolisian adalah atau hanyalah pelaksana Undang-Undang dalam bidang penegakan hukum. Sedangan undang-undang ada lembaga tersendiri yang diberi wewenang untuk menyusun, mengubah atau mencabut dan mengundangkannya. Nah, akhirnya kembali kepada persoalan yang diuraikan pada awal tulisan ini, yakni semangat (bangsa ini). Kalau semangat bangsa ini berkiblat pada bangsa Barat pada mulanya hanya karena silau akan keberhasilan mereka dalam ilmu-ilmu eksakta (natural sciences) yang berujung pada penguasaan teknologi itu, lalu dalam bidang ilmu-ilmu non-eksakta, seperti ilmu sosial, hukum mereka pun membebek saja, sepertinya bangsa ini menjadi naïf sekali. Pasalnya, kalau sama-sama berada dalam proses pencarian dan penggalian ilmu non-eksakta, orang Barat sepenuhya mengagulkan bahkan mendewakan akal pikiran, sementara bangsa Indonesia yang mayoritas muslim sudah memiliki “modal” dan sumber yang tak pernah kering, yakni ajaran Islam. Seharusnya umat muslim khususnya bangsa Indonesia berada di depan. Semoga!
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia sebahagiannya masih merupakan warisan semasa penjajahan bangsa Belanda, salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hingga kini rencana untuk menyusun penggantinya belum juga berhasil dan masih sebatas wacana. Kitab Undang-Undang Hukum Acata Pidana (KUHAP) yang telah cukup lama berhasil disusun dan diundangkan itu yang jelas semangatnya bukan bersumber dari Islam, karena meskipun diketahui mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam namun berdasarkan konsensus para pendiri bangsa Indonesia bukanlah negara agama Selain faktor pengaruh masa pejajahan Belanda selama tiga setengah abad, ketika bangsa Indonesia baru saja merdeka bangsa-bangsa di benua Eropa berada dalam periode Zaman Modern Kontemporer di penghujung masa sebelum Perang Dunia II, melewati berbagai pergulatan pemikiran yang rumit dengan ciri pokoknya kebebasan berpikir dan sekularisme. Hingga hasilnya sampai pada filsafat, ilmu dan theologi (dianggap) mempunyai kedudukan sejajar, dan jauh dari pemikiran keagamaan yang berimbas kuatnya dorongan pemisahan antara agama dan negara. Di antara berbagai paham yang tumbuh, aliran Positivisme dan Materialisme yang paling dominan dan memandang hanya pemikiran ilmiah (scientific) sajalah --dalam pengertian natura sciencesl-- yang memiliki bobot kepastian (dan kebenaran). Meski kemudian salah kaprah, pandangan itu menegaskan bahwa yang tidak ilmiah (ilmu-ilmu non-eksakta, seperti filsafat, theologi, ilmu sosial) dianggap tidak memiliki hak untuk mengklaim atas kebenaran dan kepastian.
Di tengah situasi perkembangan pemikiran dunia semacam itulah Indonesia harus membangun sistem hukumnya. Sudah dapat ditebak bahwa supaya disebut modern maka Indonesia tak mungkin berkiblat pada hukum-hukum Islam yang notabene berdasarkan wahyu, tetapi lebih merasa benar dan pasti bila mengadopsi hasil akal pikiran manusia yang dikatakan ilmiah itu. Puncak dari bentuk jiwa inferior bekas anak jajahan itu ditunjukkan oleh serombongan anggota DPR yang terhormat pada tahun berselang dengan mengadakan studi banding ke Yunani untuk belajar tentang etika. Mungkin tidak banyak yang mengira bahwa tokoh utama sekaligus bisa disebut sebagai “bapak” demokrasi asal negeri Prancis, Voltaire dengan slogannya yang masyhur “vox populei vox dei” yang banyak dikutip itu sesungguhnya juga seorang atheis ”setengah hati”.
Sebagai bahan perbandingan di dalam salah satu ketentuan hukum Islam disebutkan bahwa untuk menuduh seseorang (muslim) telah melakukan perbuatan zina harus bisa mendatangkan dua orang laki-laki atau alternatifnya empat orang perempuan sebagai saksi (kunci). Dan itupun dengan ketentuan atau syarat bahwa para saksi tersebut harus benar-benar telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri --maaf-- masuknya kelamin lelaki ke dalam kelamin perempuan --menurut istilah orang Jawa-- diibaratkan sebagai sebilah keris masuk ke dalam rangkanya. Karena yang disebutkan terakhir itulah sebenarnya yang merupakan pokok inti perbuatan sekaligus sebagai sumber atau dasar definisi perbuatan yang dituduhkan, maka kadar kesaksiannya pun harus jelas dan langsung, bukan hasil dari penafsiran atas bukti tambahan. Dengan kemajuan teknologi ketentuan syarat kesaksian itu bisa atau mungkin saja digantikan fungsinya oleh alat sejenis kamera yang kebenaran dan kepastiannya dapat diteliti dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah, misalnya. Tetapi tidak boleh menyimpang dari prinsip pembuktian tersebut di atas. Dalam kasus pembunuhan Mirna, untuk mengungkapkan siapa pelakunya sebagaimana secara luas sudah diketahui bahwa analog dengan kasus tuduhan perzinaan dalam hukum Islam, pembuktiannya sangatlah sederhana yakni siapa yang menaburkan bubuk racun cyanida ke dalam secangkir kopi yang kemudian diminum Mirna. Dari rekaman CCTV yang sempat beredar di media menggambarkan sosok Jessica yang sudah cukup lama mendekam di ruang tahanan Polda Metro Jaya sebagai tersangka tengah duduk di sebuah bangku restoran sepertinya sambil menanti kedatangan Mirna di atas meja di depannya terletak secangkir kopi tetapi agak terhalang oleh secarik kertas semacam folder yang menghalangi pemandangan dari arah CCTV ketika kedua tangan Jesisica tampak bergerak-gerak seperti sedang melakukan sesuatu. Hanya itu. Dan itulah satu-satunya “peluang” untuk dapat dijadikan bukti perbuatan “telah menaburkan” racun cyanida ke dalam secangkir kopi. Hanya saja, kalau pihak penyidik “berani” menetapkan hasil rekaman itu sebagai bukti, maka mereka telah melanggar dalil apa yang dalam epistemologi disebut “petition principii”, yaitu membuktikan sesuatu dengan alat bukti yang(masih) harus dibuktikan itu sendiri, dan terperangkap ke dalam apa yang disebut “circulus viciosus”. Betapa tidak? Kalau saja gerak-gerik tangan Jessica tidak terhalang oleh secarik kertas sejenis folder, toch masih harus dibuktikan apakah yang ditaburkan itu benar racun cyanida.
Betapapun kepolisian adalah pelaksana Undang-Undang dalam bidang penegakan hukum. Sedangan undang-undang ada lembaga tersendiri yang diberi wewenang menyusun, mengubah atau mencabut dan mengundangkannya. Nah, akhirnya kembali kepada persoalan yang diuraikan pada awal tulisan ini, yakni semangat (bangsa ini). Kalau semangat bangsa ini berkiblat pada bangsa Barat pada mulanya hanya karena silau akan keberhasilan mereka dalam ilmu-ilmu eksakta (natural sciences) yang berujung pada penguasaan teknologi, lalu dalam bidang ilmu-ilmu non-eksakta, seperti ilmu sosial, hukum mereka pun membebek saja, sepertinya menjadi naïf sekali. Pasalnya, kalau sama-sama berada dalam proses pencarian dan penggalian ilmu non-eksakta, orang Barat sepenuhya mengagulkan bahkan mendewakan akal pikiran, sementara bangsa Indonesia yang mayoritas muslim sudah memiliki “modal” dan sumber yang tak pernah kering, yakni ajaran Islam. Seharusnya umat muslim khususnya bangsa Indonesia berada di depan. Semoga!