PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

April 18, 2018

Sakit Hati Sang Tokoh Reformasi






Dulu, belum lagi genap sepuluh tahun negara Republik Indonesia  merdeka, pada dekade 1950-an di Lebo, kampung penulis sekitar empat kilometer arah barat kota kecil Weleri, Jawa Tengah, diselenggarakan pilihan Lurah. Sebelum itu, lurah merupakan jabatan seumur hidup. Setelah hasil pemilihan diumumkan, salah seorang dari tiga orang calon lurah protes sembari marah2 dan mencaci maki warga, khususnya pada mereka yang tidak memilih dan memenangkan dia. Menyaksikan ulah calon lurah gagal tersebut, warga hanya tersenyum dan merasa kasihan
karena sikap seperti itu dianggap kekanak-kanakan. Padahal kalau dipikir-piki justru  tindakan demikian  menunjukkan sikap yang dewasa dan rasional. Analoginya  dua anak kecil, yang satu diberi permen sementara anak yang lain tidak. Pada umumnya, anak yang tidak diberi permen akan protes dengan cara memusuhi anak yang diberi permen, bukan pada orang yang memberi permen.

Manuver politik yang dilakukan tokoh reformasi Amin Rais selama ini, khususnya akhir2 ini, dalam sebuah tausiah agama mengidentifikasi dan mendikotomikan antara partai Allah dan parpol syaiton, menuai protes dari banyak kalangan. Banyak pihak yang tidak sepahaman menilai sikap dan cara Amin Rais yang kerap melontarkan kritik kontroversial terhadap pemerintah dilatarbelakangi perasaan iri hati dan dengki (pada presiden terpilih). Penilaian dan anggapan seperti itu sesungguhnya salah besar.  Yang benar  adalah dia berkubang dalam perasaan kecea dan sakit hati (bahasa pasaran, keqi)  kepada rakyat yg tidak mau memilihnya ketika ia mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres yang telah berlalu. Berbeda dengan calon lurah kalah seperti pada ilustrasi cerita di atas, ia melampiaskan rasa kekecewaan dan sakit hatinya secara kekanak2an dengan cara memusuhi dan menyerang orang yg *diberi* (mandat), *bukan* orang yg *memberi* (mandat, dalam hal ini rakyat). Namun yang lebih janggal dan lucu adalah rakyat yang dianggap telah membuatnya kecewa dan sakit hati tidak merasa dan mengetahui kalau sang tokoh reformasi kecewa dan sakit hati kepada mereka, sehingga membuat sang tokoh kian menderita. Terbukti ia menambah "dosis" dalam manuver dan sikap protesnya dengan "ulah" yang lebih tajam guna menarik perhatian, seperti membuat garis pemisah (pemecah belah) rakyat menjadi partai Allah dan partai syaiton, tanpa ia sadari bahwa sesungguhnya ia sedang melampiaskan rasa kecewa dan sakit kepada rakyat yang notabene merupakan "induknya".
Kalau jaman Orba dulu ia dikenal dengan high politics-nya, rupanya ia sudah bosan atau sampai pada batas kesabaran, sehingga kini ia beralih haluan dan lebih menekuni politik vulgar, bahkan kekanak2an. Suatu sikap manusiawi sesuai dengan sunnatullah sebagaimana disebutkan dlm Alquran bahwa manusia lahir dari anak-anak kemudian tumbuh menjadi dewasa, dan akhirnya bisa kembali seperti kanak-kanak.


Simak Juga:




Posting Komentar