Seperti tak sabar lagi menghitung hari
Para calon penantang AHOK itu mengantri
Ingin segera mempecundangi dan mengganti
Menduduki kursi Gubernur DKI
Begitulah kira-kira kalau penyair menjumput sebait puisi untuk menggambarkan suasana hiruk pikuk politik Pilkada serentak 2017 mendatang, khususnya di Pemprov DKI yang memiliki magnet paling besar
di antara provinsi lain di Indonesia. Timbulnya daya tarik magnet yang besar itu bisa dimengerti selain karena Jakarta merupakan ibu kota Negara juga memiliki APBD yang relatif besar, hingga 60 T lebih. Maka pantas saja kalau calon yang bernafsu untuk memperebutkan posisi DKI 1 tersebut tak tanggung-tanggung (atau tanpa malu-malu meski turun jabatan?) di antaranya pernah menjabat sebagai menteri. Pertanyaannya, Jakarta sebagai ibu kota dengan APBD yang aduhai sesungguhnya telah lama disandang dan diketahui banyak orang --tidak ada larangan memang-- tetapi mengapa baru sekarang rame-rame mereka ingin mengambilnya bahkan seperti tak sanggup menyembuyikan nafsunya lagi untuk segera “mendepak” AHOK dari kursinya? Bukankah sebelumnya warga Jakarta pernah disuguhi calon Gubernur agar memilih dan “menyerahkan Jakarta kepada ahlinya”? Lalu, setelah terpilih sekian lama memimpin DKI Jakarta hampir tak ada gebrakan terdengar yang manfaatnya dapat dirasakan dan dinikmati rakyat kecil kecuali kerajinannya dalam menyambangi majelis-majelis “Habaib” dan kabar friksi dengan wakilnya. Jawabannya hanya satu bahwa setelah menyaksikan sepak terjang AHOK sekian lama memimpin DKI Jakarta dalam hati mereka berkata (logat Betawi): “Kalau begitu mah gua juga bisa!!”. Kalau memang benar demikian kata hati mereka (hanya mereka sendiri dan Tuhan Maha Mengetahui), maka sesungguhnya mereka itu hanyalah “follower” atau Pak Turut, bukan Pelopor seperti dipertunjukkan Sang Proklamator yang pidatonya diperingati di Bandung baru-baru ini.
Sulit dipungkiri bahwa Jokowilah sesungguhnya yang memiliki jiwa kepoloporan itu sekaligus inspirator, sehingga kemudian ia layak naik pentas dalam penggung politik nasional menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia bagaikan Damarwulan dalam lakon ketoprak panggung kerajaan Majapahit. Dan inspirasi itu ditangkap dan diadopsi oleh AHOK dengan segala ciri khasnya yang mampu serta memiliki nyali untuk mendobrak kebekuan dan kemapanan (Sang Pendobrak). Sekadar catatan bahwa berkat keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki AHOK dalam dunia bisnis dan wirausaha (survival) yang mengalir dalam tubuhnya sebagai manusia berdarah Tionghoa (dulu Cina) diakui atau tidak memang berbeda dengan “warga Melayu” --zaman penjajahan Belanda dulu disebut “Inlander”. Ironisnya, setelah 70 tahun merdeka mental “Inlander” itu masih saja bercokol, seperti misalnya perilaku oknum-oknum di jajaran hakim pengadilan yang seringkali dapat disaksikan selama ini.
Pelopor disebut juga perintis atau pioner yang berarti pembuka jalan, pendahulu, atau orang yang berjalan di depan. Derajat dan nilainya tentu saja berbeda dengan sekadar pemimpin. Posisi pelopor dan pengikut analoginya seperti menonton sulapan. Ketika belum mengetahui atau diberi tahu rahasianya, penonton terheran-heran. Sebaliknya, setelah mengetahui atau diberi tahu rahasianya, dalam hati akan berkata: “ Kalau begitu mah gua juga bisa!!”<
di antara provinsi lain di Indonesia. Timbulnya daya tarik magnet yang besar itu bisa dimengerti selain karena Jakarta merupakan ibu kota Negara juga memiliki APBD yang relatif besar, hingga 60 T lebih. Maka pantas saja kalau calon yang bernafsu untuk memperebutkan posisi DKI 1 tersebut tak tanggung-tanggung (atau tanpa malu-malu meski turun jabatan?) di antaranya pernah menjabat sebagai menteri. Pertanyaannya, Jakarta sebagai ibu kota dengan APBD yang aduhai sesungguhnya telah lama disandang dan diketahui banyak orang --tidak ada larangan memang-- tetapi mengapa baru sekarang rame-rame mereka ingin mengambilnya bahkan seperti tak sanggup menyembuyikan nafsunya lagi untuk segera “mendepak” AHOK dari kursinya? Bukankah sebelumnya warga Jakarta pernah disuguhi calon Gubernur agar memilih dan “menyerahkan Jakarta kepada ahlinya”? Lalu, setelah terpilih sekian lama memimpin DKI Jakarta hampir tak ada gebrakan terdengar yang manfaatnya dapat dirasakan dan dinikmati rakyat kecil kecuali kerajinannya dalam menyambangi majelis-majelis “Habaib” dan kabar friksi dengan wakilnya. Jawabannya hanya satu bahwa setelah menyaksikan sepak terjang AHOK sekian lama memimpin DKI Jakarta dalam hati mereka berkata (logat Betawi): “Kalau begitu mah gua juga bisa!!”. Kalau memang benar demikian kata hati mereka (hanya mereka sendiri dan Tuhan Maha Mengetahui), maka sesungguhnya mereka itu hanyalah “follower” atau Pak Turut, bukan Pelopor seperti dipertunjukkan Sang Proklamator yang pidatonya diperingati di Bandung baru-baru ini.
Sulit dipungkiri bahwa Jokowilah sesungguhnya yang memiliki jiwa kepoloporan itu sekaligus inspirator, sehingga kemudian ia layak naik pentas dalam penggung politik nasional menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia bagaikan Damarwulan dalam lakon ketoprak panggung kerajaan Majapahit. Dan inspirasi itu ditangkap dan diadopsi oleh AHOK dengan segala ciri khasnya yang mampu serta memiliki nyali untuk mendobrak kebekuan dan kemapanan (Sang Pendobrak). Sekadar catatan bahwa berkat keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki AHOK dalam dunia bisnis dan wirausaha (survival) yang mengalir dalam tubuhnya sebagai manusia berdarah Tionghoa (dulu Cina) diakui atau tidak memang berbeda dengan “warga Melayu” --zaman penjajahan Belanda dulu disebut “Inlander”. Ironisnya, setelah 70 tahun merdeka mental “Inlander” itu masih saja bercokol, seperti misalnya perilaku oknum-oknum di jajaran hakim pengadilan yang seringkali dapat disaksikan selama ini.
Pelopor disebut juga perintis atau pioner yang berarti pembuka jalan, pendahulu, atau orang yang berjalan di depan. Derajat dan nilainya tentu saja berbeda dengan sekadar pemimpin. Posisi pelopor dan pengikut analoginya seperti menonton sulapan. Ketika belum mengetahui atau diberi tahu rahasianya, penonton terheran-heran. Sebaliknya, setelah mengetahui atau diberi tahu rahasianya, dalam hati akan berkata: “ Kalau begitu mah gua juga bisa!!”<