Belum habis cerita Cina totok, kali ini kejadiannya di sebuah kota kecil di wilayah Pantura juga, dan pada zaman minyak tanah apalagi gas belum dipakai masyarakat, melainkan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Dalam waktu-waktu tertentu,
terutama saat musim paceklik tiba, para petani sebagian di antaranya yang beralih profesi dengan mencari kayu bakar dari ranting-ranting kering di dalam hutan yang letaknya tak begitu jauh dari pemukiman, sekadar cukup untuk menyambung hidup. Biasanya mereka berangkat secara berkelompok, berempat kadang berenam. Setelah mendapatkan kayu yang dimaksud lalu dikumpulkan dan diikat menjadi dua onggokan agar bisa dipikul. Selanjutnya sambil memikul kayu tersebut mereka berjalan bersama-sama menuju kota terdekat dengan maksud untuk dijual. Prioritas sasaran utama adalah deretan pertokoan. Setiba di kota mereka menyebar, menawarkan dagangannya masing-masing, dan berjanji akan berkumpul kembali di tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk pulang bersama-sama. Waktu yang dijanjikan pun tiba. Semua telah berkumpul kembali dan barang dagangannya sudah laku terjual, kecuali satu orang yang barang dagangannya masih utuh. Rupanya dia baru kali ini mengikuti kegiatan usaha itu. Iba juga hati kawan-kawan lain saat melihat satu kawan ini. Mereka ingin tahu apa gerangan yang dialaminya. Ia bercerita, setiap toko yang disambangi selalu menolak untuk membeli dan mengatakan: “Tidak..!”. Mendengar cerita itu teman-temannya menyergah seraya berkata: “Kamu dikatain babi koq diam aja..?!!”. Mereka sengaja mengggoda teman yang tidak paham berbahasa Indonesia itu dengan menerangkan bahwa “tidak” itu artinya “babi”. Tak dinyana teman satu ini spontan tampak meradang. Sambil mengepalkan tinju menahan amarah, dengan langkah lebar sontak ia bergegas berjalan menuju toko di mana ia merasa dihina tadi. Setiba di sana ia menyeruak di tengah kerumunan pembeli untuk menemui pemilik toko, lalu berkata lantang dalam bahasa Jawa dengan maksud membalas makiannya: “Kowe dewe kuwi sing “tidak”..!!”. Maksudnya: “Kamu sendiri itu yang “babi”..!!”. Puas melampiaskan dendamnya, ia pun berbalik badan dan berlalu. Orang-orang di sekitar, termasuk pemilik toko hanya bengong saling memandang satu sama lain sambil tersenyum, tak tahu apa maksudnya.
terutama saat musim paceklik tiba, para petani sebagian di antaranya yang beralih profesi dengan mencari kayu bakar dari ranting-ranting kering di dalam hutan yang letaknya tak begitu jauh dari pemukiman, sekadar cukup untuk menyambung hidup. Biasanya mereka berangkat secara berkelompok, berempat kadang berenam. Setelah mendapatkan kayu yang dimaksud lalu dikumpulkan dan diikat menjadi dua onggokan agar bisa dipikul. Selanjutnya sambil memikul kayu tersebut mereka berjalan bersama-sama menuju kota terdekat dengan maksud untuk dijual. Prioritas sasaran utama adalah deretan pertokoan. Setiba di kota mereka menyebar, menawarkan dagangannya masing-masing, dan berjanji akan berkumpul kembali di tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk pulang bersama-sama. Waktu yang dijanjikan pun tiba. Semua telah berkumpul kembali dan barang dagangannya sudah laku terjual, kecuali satu orang yang barang dagangannya masih utuh. Rupanya dia baru kali ini mengikuti kegiatan usaha itu. Iba juga hati kawan-kawan lain saat melihat satu kawan ini. Mereka ingin tahu apa gerangan yang dialaminya. Ia bercerita, setiap toko yang disambangi selalu menolak untuk membeli dan mengatakan: “Tidak..!”. Mendengar cerita itu teman-temannya menyergah seraya berkata: “Kamu dikatain babi koq diam aja..?!!”. Mereka sengaja mengggoda teman yang tidak paham berbahasa Indonesia itu dengan menerangkan bahwa “tidak” itu artinya “babi”. Tak dinyana teman satu ini spontan tampak meradang. Sambil mengepalkan tinju menahan amarah, dengan langkah lebar sontak ia bergegas berjalan menuju toko di mana ia merasa dihina tadi. Setiba di sana ia menyeruak di tengah kerumunan pembeli untuk menemui pemilik toko, lalu berkata lantang dalam bahasa Jawa dengan maksud membalas makiannya: “Kowe dewe kuwi sing “tidak”..!!”. Maksudnya: “Kamu sendiri itu yang “babi”..!!”. Puas melampiaskan dendamnya, ia pun berbalik badan dan berlalu. Orang-orang di sekitar, termasuk pemilik toko hanya bengong saling memandang satu sama lain sambil tersenyum, tak tahu apa maksudnya.